Senin, 30 November 2015

Origami #2

hai haiiii..
sudah lama gak buka blog ^^
keasikan sama dunia baru kayaknya ya ---->> origamiiiii

hasil berikutnya setelah mawar dan bangau kemarin



gantungan cantik ala-ala jepang guysss~
ini yang katanya sih bunga kusudama (khas jepang) ^^


pot nya udah jadi, tinggal bunganya deh next project ^^

Kamis, 26 November 2015

Bros Cantik | Bros Hijab | Bros Kekinian | Bros Murmeeerrr

Haii.. haaiiii...
i'm comeback ^^
Kali ini aku mau promo untuk siapapun ukhti-ukhti dan princess bros pita cantik yang bisa lebih mempercantik hijab/penampilan kalian semua ya princess ^^
Bros ini bentuk modelnya belum pasaran loh yaa, mungkin udah ada yang jual tapi belum menjamur, tapi yakin deh ini model bros elegan banget buat dipakai pesta, selain itu juga tetap cantik untuk dipakai berpergian sehari-hari.
Bros ini asli homemade, langsung dari produsennya dijual tanpa perantara, jadi harganya tidak melambung tinggi, kualitas bahan juga terjamin berkualitas, ditambah hiasan permata yang bikin terlihat anggun dan mewah. Kelebihan lainnya, bros pita ini juga bisa custom warnanya jika pemesanan >5.

Untuk pemesanan bisa menghubungi di WA : 081957008898 (no call) | BBM: 5a1b3b7a .Update koleksi terbaru silahkan dicek di fb --->>>  http://sh.st/nw1NK  , instagram >> http://sh.st/nr3tr

Berikut contoh beberapa gambar-gambarnya



 best seller






Aku juga pake niihhh, mumpung masih promo yaa.. cantik kan ^^ 




PROMO PROMOOO bulan November ini harga BROS hanya

Rp 25.000/pcs , grab it fast princess!!!



---TRUST SELLER---


Jumat, 20 November 2015

Origami 🌹

Mencoba kegiatan baru, mudah2an berkah dan jadi pakar, wkwkwkwk

Hasil pertamaaa, the first.. kerjaan sore sepoi-sepoi 
--bangau <dari 5menit
--mawar 🔁 2 jam.an brooohh!!!




Mumetnya berasa dari kepala sampe pinggang ⚠⚠ 

Bentuk lain akan dicoba dan segera muncul 🔜😀🙏

Minggu, 08 November 2015

November Ceria #part_2

haiiii..
Kali ini aku mau share wefie kami seharian ini, bingung kebanyakan foto yang disimpen jadi aku post disini aja boleh deh yaaa ^^
Memang tempat terbaik untuk bisa meet up teman lama itu cuma kalo ada acara nikahan dari salah satunya, karena kalau enggak gitu pasti banyak aja alasan untuk sibuk masing-masing, bahkan bisa sampai dibilang sombong karena terlalu asik dengan kehidupannya yang sekarang, walapun tidak bermaksud sombong sebenarnya, dan hari ini adalah salah satu hari dimana kami bisa meet-up dalam skala yang cukup ramai, lalu  karena sudah berkumpul rasanya gateeellll sekali tangan untuk selalu mencet-mencet hp buat saling wefie berkali-kali sampai pegel dan hp lowbat, hahahahahaaa~


Sebelum ketemu Manten





"gak ada lo gak rame"



Kenang-kenangan sebelum pulang 


 Ini dia si MANTEN, Raja dan Ratu sehari kita yang paling cantik dan tampan :))





Baru sampe langsung disempetin :")





Gagal Fokus



Akhirnya Fokus





Congratulation!!!  Happy Birthday to you!! Saeng-il Chukhae!! Happībāsudē!! Buon compleanno!! Joyeux anniversaire!! Felix natalis!! Eid milad saeid!! Selamat ulang tahun!! >>24th-Resty Arintika<<




November Ceria #part_1

Seminar
Pertama liat iklannya di koran sedikit tertarik, lalu menggebu-gebu daftar, setelah itu malah agak ragu karena curiga kok di tempat mewah daftarnya gratis? Akhirnya pulang dari acara yang didapat malah kebanyakan wefie.. tapi tetep seru dan nambah pengalaman kok, hohohooo~~




Pertama datang langsung wefie^^






Setelah pulang pun masih sempet wefie :')






Spesial buat yang ini, jempretnya mesti berkali-kali ya kak, berapa kali pindah-pindah tempat juga yaa  -___-" biar dapet hasil yang maksimal, hhmmmmmm... :D   :))



Sabtu, 07 November 2015

Kenangan


Senior High School


Kalian tahu  ini apa?? Buku tahunan kami angkatan tahun 2010, yang proses terbitnya sangaaatttttt panjang 



College
                         

      Kalian tahu ini apa?? Buku penting yang sangat menentukan  kita bisa pakai toga atau enggak



 
 Kalian tahu ini apa?? Bagian terpenting dari buku penting yang duluan diliat untuk mengontrol foto aneh atau cantik yang tercetak




lanjutan Soal CPNS

Koleksi Soal CPNS 9 -----part 2-----

Jumat, 06 November 2015

Kisi - Kisi Soal CPNS

Haii, kali ini aku mau berbagi file koleksi soal cpns yang aku punya di laptop, sebenarnya agak ragu juga sih karena ini soal aku beli online di salah satu website dan di website itu ada tulisan gede-gede yang katanya jangan asal mencuri file-file soal milik mereka, tapi kan ini soal aku, sudah jadi hak milik aku dong yaaa, kan sudah dibeli, yaa walaupun aku belinya sudah lama ya 2 tahun lalu sebelum penerimaan cpnsd 2013 Lampung, hehehe..
Ohyaa, koleksi soal yang mau aku bagikan ini gak bisa lengkap semuanya loh, karena ada beberapa file yang dikunci pakai pasword dan aku gak bisa kasih tau paswordnya karena itu rahasia dari situs soal online nya ini, maaf yaa :(
Aaahhhh!! dan juga sebenarnya koleksi soal ini sudah agak jadul ya (2 tahun lalu), soalnya aku lupa pasword+username yang dipake di website itu :'( jadi gak bisa login lagi sekarang.. huhuhuuuu~~

aku sih gak bisa janjiin dengan kisi-kisi soal ini 100% bisa jadi pns yaaa, semua itu tergantung takdir kita masing-masing, banyak belajar dan berdoa aja sama Allah SWT, dan soal ini bisa jadi salah satu koleksi tambahan kalian semua yang berminat untuk ikutan tes cpns.
Okeeeee sekian aja dulu cuap-cuap panjang lebarnya, thankyouuu ^^
----part 1----

lanjutan SUNSHINE BECOMES YOU

Bab 34

 "PERHATIAN, para penari. Sepuluh menit lagi geladi bersih akan dimulai. Harap bersiap di posisi yang sudah ditentukan."

Mia menelan obatnya dan menoleh ke arah pengeras suara yang terpasang di langit-langit di sudut ruang ganti pribadinya dalam gedung pertunjukan. Ia memejamkan mata sejenak, mengembuskan napas panjang, lalu membuka matanya dan mengamati bayangan dirinya di cermin. Ia tahu wajahnya pucat pasi di balik riasan wajahnya yang tebal, namun yang penting orang-orang lain tidak tahu.

Ia tidak merasa sehat hari ini. Ia merasa demam. Ia merasa seolah-olah melayang. Kepalanya terasa ringan. Jantungnya juga berdebar tidak beraturan. Dan itu bukan karena ia gugup menghadapi geladi bersih. Ia hanya berharap semoga obat yang diminumnya bisa membuatnya bertahan sampai akhir latihan terakhir ini.

Tepat pada saat itu pintu ruang gantinya terbuka dan Aaron melongokkan kepalanya ke dalam ruangan. "Hei, sudah siap?" tanyanya sambil tersenyum lebar.

Mia berbalik dan memaksakan seulas senyum kepada Aaron. "Ya," sahutnya. "Ayo, kita pergi."

Ketika mereka berjalan berdampingan di koridor yang dipenuhi para penari dan petugas panggung yang sibuk bersiap-siap, Aaron menunduk menatap Mia dan bertanya, "Kau pendiam sekali hari ini. Kau baik-baik saja?"

Tidak. "Ya," sahut Mia dan kembali menyunggingkan seulas senyum kaku yang diharapkannya bisa meyakinkan Aaron. "Hanya gugup."

Aaron tertawa. "Yang benar saja, Mia. Kau tidak pernah gugup," katanya. "Kau tidak pernah gugup karena kau tahu kau akan melakukannya dengan sempurna."

Mia hanya tersenyum lemah."Kulihat banyak pers yang datang memenuhi undangan Dee untuk menyaksikan geladi bersih kita," komentar Aaron. "Sepertinya mereka ingin melihat Mia Clark yang sudah sering disebut-sebut sebagai salah satu penari kontemporer terbaik di Amerika Serikat, kalau bukan di dunia.

"Oh ya?" guman Mia agak gugup.

Selain beberapa tamu undangan, termasuk orangtua para penari, pers juga selalu diundang menghadiri geladi bersih suatu pertunjukan sehingga bisa memberikan ulasan di media yang mereka wakili, yang nantinya akan menentukan kesuksesan pertunjukan secara keseluruhan. Ini berarti Mia harus berusaha sebaik-baiknya sehingga pertunjukan mereka ini mendapat ulasan yang baik di media.

"Apakah orangtuamu datang menontonmu hari ini?" tanya Aaron lagi.

"Ya," sahut Mia pendek. Ia mengundang orangtuanya dan Alex untuk menonton geladi bersih ini. Tentu saja mereka juga akan menonton pertunjukan resminya akhir pekan nanti, bersama kakek, nenek, dan anggota keluarga besarnya yang lain.

"Dua menit lagi!" seru salah seorang petugas panggung ketika Mia dan Aaron mengambil posisi masing-masinh di balik panggung.

Saat itu tangan Mia mulai terasa kebas. Butir-butir keringat mulai bermunculan di keningnya padahal ia belum menari. Kesadarannya mulai kabur. Tetapi ia tidak bisa mundur sekarang. Musik sudah dimulai, layar sudah diangkat. Yang harus dilakukannya sekarang adalah menegakkan tubuh, melupakan penyakitnya untuk sementara, mengangkat dagunya tinggi-tinggi, dan berlari ke tengah panggung, ke arah gemuruh tepuk tangan penonton, dan melakukan apa yang dilakukannya seumur hidupnya.

Ia mulai menari.

*****

Alex melirik Mrs. Clark yang duduk di kursi di sebelah kanannya. Wanita itu menghapus air mata yang mengalir di pipinya dengan tisu yang sudah basah karena sudah digunakan sejak tadi. Mr. Clark, yang menempati kursi di sebelah kanan Mrs. Clark, mengenggam tangan istrinya erat-erat sementara pandangannya tak terlepas dari sosok putrinya yang sedang menari di panggung. Sinar bangga terlihat jelas di matanya, membuat tenggorokan Alex tercekat.

Mrs. Clark bukan satu-satunya orang yang meneteskan air mata di dalam teater itu. Alex melihat beberapa orang penonton wanita juga menekankan tisu dan sapu tangan mereka ke sudut mata atau pipi mereka. Seluruh penonton tersihir pada saat yang sama. Mereka semua tidak mampu melepaskan pandangan dari penari yang mencurahkan segenap jiwa dan raganya di atas panggung itu.

Alex kembali menatap sosok Mia yang kini sedang diangkat dan diputar oleh Aaron Rogers. Walaupun ini kedua kalinya ia melihat Mia menari, ia tetap terpesona. Gadis itu memang terlahir untuk menari. Caranya bergerak sangat berbeda dengan penari lain di atas panggung. Ia bergerak dan menari dengan keanggunan, kelas, dan kehebatan penari tingkat dunia.

Terlebih lagi, ia tidak hanya sekedar menari. Ia bercerita. Ia bercerita melalui gerakan tubuh dan raut wajahnya. Seorang penari harus bisa menyampaikan suatu kisah. Dan kisah yang disampaikan Mia saat itu membuat semua orang terperangkap dalam sihurnya. Ketika geladi bersih itu berakhir, tepuk tangan terdengar bergerumuh memenuhi teater. Alex sendiri bertepuk tangan begitu keras sampai tangannya mati rasa. Bisa dipastikan bahwa produksi Dee Black ini akan mendapat ulasan hebat di media. Alex dan orangtua Mia segera pergi ke belakang panggung yang penuh sesak untuk menemui Mia. Mereka akhirnya menemukan Mia di depan ruang gantinya bersama Dee. Dee terlihat begitu gembira sampai ia nyaris meledak.

"Oh, sayangku, kau benar-benar hebat tadi," seru Dee sambil memeluk Mia erat-erat. "Aku yakin pertunjukan kita akhir pekan nanti akan luar biasa. Aku yakin sekali!"

Mia terlihat lelah, namun ia tersenyum lebar. Dan ketika ia melihat orangtuanya menghampirinya, ia melepaskan diri dari pelukan Dee dan beralih memeluk kedua orangtuanya bergantian. Lalu ia menghampiri Alex yang berdiri di belakang orangtuanya.

"Kau berhasil melakukannya, Clark. Dan harus kuakui kau memang luar biasa tadi. Ibumu menangis terus sepanjang tarianmu," guman Alex sambil tersenyum menatap gadis yang terengah-engah di depannya.

Tanpa berkata apa-apa, Mia berjinjit, dan merangkul leher Alex dan memeluknya erat-erat. "Terimah kasih, Alex," bisiknya sambil tersengal.

Alex juga melingkarkan lengannya memeluk tubuh Mia yang ramping. Namun alisnya berkerut samar ketika ia merasa sekujur tubuh Mia gemetar. "Clark, kau tidak apa-apa?"

Mia melepaskan pelukannya, lalu menatap Alex dan orangtuanya. "Ayo, kita masuk ke ruang gantiku," gumannya irih. "Kurasa aku harus duduk."

"Sayang, ada apa?" tanya ayah Mia ketika menyadari putrinya tidak terlihat baik. Ia menangkup pipi Mia dengan kedua tangannya dan menatap putrinya dengan cemas.

Namun Mia tidak sempat menjawab, karena tepat pada saat itu kepalanya terkulai ke belakang dan ia sudah pasti akan terjatuh ke lantai kalau saja ayahnya tidak segera menahannya.


Bab 35

ORANGTUA Mia mendesak Alex pulang malam itu untuk beristirahat dan membiarkan mereka yang menemani Mia di rumah sakit. Mereka berjanji akan langsung mengabari Alex apabila Mia sudah sadarkan diri. Alex pun pulang dengan enggan setelah berjanji pada orangtua Mia bahwa ia akan kembali besok pagi untuk menggantikan mereka menemani Mia sehingga mereka bisa pulang dan beristirahat sejenak.

Tentu saja Alex sama sekali tidak bisa tidur.

Setiap kali memejamkan mata, ia kembali merasakan ketakutan dingin yang mengcengkram dirinya ketika melihat Mia jatuh pingsan dalam pelukan ayahnya. Dokter memang berhasil menstabilkan keadaannya, tetapi kini mereka harus menunggu sampai Mia sadarkan diri.

Sejak Mia jatuh pingsan, Alex hampir tidak bisa merasakan apa pun kecuali rasa dingin yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Berpikir juga terbukti agak sulit karena otaknya serasa berkabut. Dirinya hanya berfungsi secara otomatis, tanpa benar-benar disadarinya.

Alex berbaring di ranjangnya dan menatap kosong ke arah langit-langit. Sesekali ia melirik ponselnya yang tepat berada di samping kepalanya, memastikan alat itu dalam keadaan menyala. Ia juga terus melirik jam di atas meja di samping tempat tidur, berharap pagi cepat tiba sehingga ia bisa pergi ke rumah sakit. Namun menjelang jam lima pagi, Alex akhirnya terlelap, dan terbangun tiga jam kemudian karena dering ponsel.

Dari orangtua Mia.

Mereka mengabarkan bahwa Mia sudah sadarkan diri.

Setelah mendengar itu, Alex pun akhirnya bernapas kembali.

*****

Ketika masuk ke kamar rawat Mia, ia melihat gadis itu sedanh duduk bersandar di bantal-bantal di atas ranjang sambil mengobrol dengan kedua orangtuanya. Begitu melihat Alex, Mia langsung tersenyum cerah kepadanya. Gadis itu terlihat ceria seperti biasa-walaupun wajahnya tetap pucat-seolah-olah kemarin ia sama sekali tidak jatuh pingsan.

"Nah, Sayang, karena Alex sudah datang, ayah dan ibumu akan pulang sebentar untuk mandi dan berganti pakaian. Kami akan datang lagi nanti siang," kata ayahnya.

"Baiklah, Dad," sahut Mia.

Sementara Mr. Clark mencium kening putrinya, Mrs. Clark menoleh ke arah Alex dan berkata, "Oh, ya, Alex, kuharap kau tidak keberatan aku meminjam kunci apartemenmu dari Mia. Mia butuh pakaian ganti dan kupikir aku akan mampir ke apartemenmu dalam perjalanan kembali ke sini nanti siang untuk mengambil pakaiannya."

Alex menggeleng. "Tidak, Mrs. Clark, aku sama sekali tidak keberatan. Silahkan saja."

Mrs. Clark tersenyum berterima kasih. Lalu ia berbalik ke arah putrinya untuk mencium pipinya dan kali ini Mr. Clark yang menoleh ke arah Alex. "Dr. Schultz sudah memeriksanya tadi," katanya kepada Alex. "Dan katanya anak ini harus beristirahat total sepanjang hari ini."

"Ya, Sir," sahut Alex. "Akan kupastikan dia beristirahat sepanjang hari ini."

Mr. Clark menepuk pundak Alex sambil tersenyum. "Kuserahkan putriku kepadamu."

Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada putri mereka dan Alex, pasangan Clark pun pergi.

"Hei."

Alex mengalihkan pandangan dari pintu dan menatap Mia. "Hei juga," balasnya sambil duduk di kursi di samping ranjang yang sebelumnya diduduki ibu Mia. "Jadi bagaimana perasaanmu hari ini?"

"Jauh lebih baik." Mia menatap Alex dengan alis terangkat. "Tapi kau terlihat kacau."

"Kalau kau mengalami apa yang kualami kemarin malam kau juga akan terlihat seperti aku sekarang," kata Alex sambil tersenyum kecil.

Mia balas tersenyum muram. "Aku membuat kalian semua cemas, bukan?"

Alex meraih tangan kiri Mia dan menggenggamnya sejenak. Matanya masih terpaku pada tangan Mia yang berada dalam genggamannya ketika ia berkata pelan, "Tolong jangan membuatku cemas lagi."

Mia menatapnya, namun tidak menjawab. Sebaliknya ia bertanya, "Jadi bagaimana reaksi semua orang ketika tahu aku jatuh pingsan di belakang panggung? Bagaimana reaksi Dee?"

"Mereka khawatir, tentu saja. Tapi kami meyakinkan mereka bahwa kau kecapekan dan butuh istirahat total selama beberapa hari," sahut Alex. "Dan itulah yang harus kaulakukan. Istirahat."

"Jangan khawatir. Tolong sampaikan pada Dee bahwa aku akan beristirahat sepanjang hari ini dan besok. Aku memang perlu memulihkan tenagaku untuk pertunjukan lusa."

Alex menegang. Ia melepaskan tangan Mia dan mendesah, "Kau akan tetap melakukannya, bukan? Tampil dalam pertunjukan itu, maksudku."

Mia dengan cepat berbalik mrnggenggam tangan Alex sebelum Alex menjauh. "Alex," panggilnya dengan nada memohon. "Kau tahu aku akan melakukannya. Aku harus melakukannya."

Alex menghela napas. "Kau tidak harus melakukannya," bantahnya. "Apakah kau pernah berpikir apa yang akan terjadi kalau kau jatuh pingsan di tengah-tengah pertunjukan?"

"Maka aku akan jatuh pingsan di tengah-tengah pertunjukan ," sahut Mia sambil tertawa kecil. Alex mengerutkan kening. "Clark, ini tidak lucu."

Raut wajah Mia berubah serius. Ia menatap Alex dengan menyesal. "Aku tahu. Maafkan aku," gumannya. "Dengar, kemarin aku memang merasa tidak sehat. Tapi aku yakin setelah beristirahat penuh selama dua hari, aku merasa cukup sehat untuk tampil sekali lagi. Aku akan baik-baik saja."

Alex menatap Mia dengan tatapan tidak percaya. Ia memejamkan mata dan berusaha menarik napas untuk menenangkan diri. Gadis itu masih menggenggam tangannya dengan erat.

"Alex?" panggil Mia pelan.

Alex membuka mata dan menatap Mia, tidak bisa menyembunyikan sinar ketakutan dalam matanya. "Aku hanya tidak ingin kejadian seperti kemarin terulang lagi," guman Alex.

Mia meneyandarkan kepalanya kembali ke bantal dan memiringkan kepala menatap Alex. Tangannya masih menggenggam tangan Alex dan Alex membiarkannya. Sejenak gadis itu tidak berkata apa-apa, lalu ia menelan ludah dan berkata pelan, "Kejadian seperti kemarin akan terulang lagi, Alex. Tunggu, jangan menyelaku. Dengarkan." Ia meremas tangan Alex tanda memohon. "Kita tahu jantungku memburuk setiap hari dan obat-obatan yang kuminum selama ini sama sekali tidak membantu, jadi ya, kejadian seperti kemarin akan terulang lagi. Aku akan mendapat serangan lagi dan aku mungkin akan jatuh pingsan lagi. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya, kecuali aku mendapat jantung baru."

Alex mengernyit mendengar kenyataan itu, tetapi Mia dengan tegas melanjutkan, "Kau tentu tahu kemungkinan menemukan donor jantung yang sesuai untukku tidaklah mudah. Namaku memang sudah tercantum dalam daftar pasien yang membutuhkan donor jantung, tapi yang membutuhkan donor jantung di negara ini bukan hanya aku."

Tenggorokan Alex serasa tercekat. Ia tetap diam. Ia takut apabila ia mencoba bersuara, ia akan melakukan sesuatu yang bodoh seperti meneteskan air mata saat itu juga.

"Kau mau kuberitahu satu rahasia?" bisik Mia tiba-tiba.

Alex menatap gadis pucat yang terlihat rapuh itu dan meremas tangannya, memintanya melanjutkan.Mia tersenyum padanya. "Kau masih ingat hari pertama kita bertemu?"

Sudut-sudut bibir Alex tertarik ke atas membentuk senyum kecil ketika mengingat pertemuan pertama mereka, ketika gadis itu jatuh dari tangga, menubruknya, dan mencederai tangannya. "Kau membuat tanganku patah," guman Alex. Suaranya terdengar serak.

"Aku tidak mematahkan tanganmu!" protes Mia sambil tertaws. "Tanganmu hanya terkilir."

Alex tersenyum, namun tidak membantah.Setelah tawanya mereda, Mia bertanya pelan, "Kau tahu, kau tidak pernah bertanya kepadaku kenapa aku bisa terjatuh dari tanga hari itu."

Alex mengerjap tidak mengerti. "Apa?"

"Kau tidak pernah bertanya kenapa aku bisa terjatuh dari tangga hari itu," ulang Mia.

Benar juga, pikir Alex. Ia tidak pernah memikirkannya. Waktu itu ia terlalu marah kepada gadis itu untuk berpikir tentang apa pun. Ia bahkan tidak mau tahu apa pun yang menyangkut Mia. Saat itu ia hanya ingin Mia jauh-jauh darinya. Tetapi sekarang sekarang, kalau dipikir-pikir...

"Kenapa kau bisa terjatuh dari tangga hari itu?" tanya Alex.

Mia memalingkan wajah menatap ke luar jendela dan menarik napas dalam-dalam. "Pagi itu sebelum aku pergi ke Small Steps, aku pergi menemui Dr. Schultz karena dia sudah mendapatkan hasil tes jantungku," jelasnya. Suaranya terdengar jauh, datar, seolah-olah ia sedang berbicara dalam pikirannya sendiri. "Aku diberitahu bahwa setelah semua usaha yang kulakukan selama berbulan-bulan, setelah meminum sekian banyak obat mengerikan yang kadang-kadang menimbulkan efek samping, setelah mengikuti diet ketat yang dianjurkan, setelah melakukan semua yang harus kulakukan demi mendapatkan sedikit harapan bahwa kondisi jantungku bisa membaik, jantungku tetap tidak menunjukan tanda-tanda membaik. Malah hasil tes menunjukan kondisi jantungku semakin lemah. Dr. Schultz berusaha bersikap optimis, tapi aku tahu dia mulai kehilangan harapan. Aku juga mulai kehilangan harapan. Jadi hari itu ketika kau pergi ke Small Steps, keadaan jiwaku sedang kacau. Aku merasa terekan, putus asa, juga marah. Aku tidak tahu aku marah pada siapa. Mungkin pada hidup yang kupikir tidak adil. Aku bahkan tidak menyadari semua yang terjadi di sekelilingku saat itu. Hal berikut yang kusadari adalah aku berdiri di puncak tangga, memandang ke bawah, dan berpikir bagaimana jadinys kalau aku melepaskan pegangan tanganku dan membiarkan diriku jatuh. Apakah aku akan mati? Atau apakah aku akan cacat?" Mia tertawa tawar. "Seperti yang sudah kukatakan tadi, jiwaku sedang tidak seimbang."

Alex menatap Mia tanpa berkedip. Ia terlalu terkejut mendengar pengakuan gadis itu.Lalu Mia kembali menoleh ke arah Alex dan berkata, "Tepat setelah aku berpikir seperti itu, aku mendengar suaramu dan Ray. Suaramu dan Ray mengejutkanku dari pikiranku yang buram, namun sudah terlambat untuk menghentikan apa yang terjadi. Kau tahu apa yang kupikirkan ketika aku sadar bahwa aku akan jatuh dari tangga? Aku berpikir aku masih belum ingin mati. Aku juga tidak ingin menjadi orang cacat. Aku masih ingin menari. Semua itu melintas cepat dalam pikiranku sampai aku menubrukmu."

Mia menatap Alex dengan mata berkaca-kaca. "Aku-yang awalnya berpikir ingin mencelakai diri sendiri-pada akhirnya malah membuatmu celaka. Kau tidak bisa membayangkan betapa menyesalnya aku saat itu. Kau celaka kaena kebodohanku." Ia tersenyum sedih. "Dan itulah sebabnya aku bersikeras menawarkan diri membantumu walaupun saat itu kau jelas-jelas membenciku dan sama sekali tidak mau berurusan denganku."

Alex mencondongkan tubuh ke depan dan menopangkan sikunya di ranjang Mia. Ia menatap mata Mia lurus-lurus dan berkata pelan dan tegas, "Aku tidak membencimu."

Mia tersenyum mengerti. "Tapi akhirnya kau menerima bantuanku, walaupun dengan berat hati, dan karena itu kau memberiku alasan untuk hidup." Ia mengangguk ketika Alex terlihat bingung. "Menjadi pengurus rumahmu memberiku alasan untuk menjalani hidupku. Lalu perlahan-lahan aku sadar bahwa kau juga menjadi salah sati alasanku untuk bertahan hidup."

Alex tertegun. Apakah maksud gadis itu sama seperti yang dipikirkannya? Apakah ia boleh berharap Mia membalas perasaannya?

Tetapi sebelum Alex sempat berpikir lebih jauh, Mia menarik tangannya dari tangan Alex. "Kau tahu apa yang sangat kuinginkan sekarang?" tanyanya sambil tersenyum pada Alex.

"Apa?" Alex balas bertanya, berusaha mengabaikan rasa dingin yang menghinggapi tangannya setelah Mia melepaskannya.

"Aku ingin mendengar laguku."

"Lagumu?"

"Sunshine Becomes You," kata Mia. Lalu setelah berpikur sejenak, ia menambahkan, "Atau Thinking of Clark?"

Alex tertawa dan bangkit dari kursinya. "Baiklah, tunggu di sini sebentar."

*****

Sepuluh menit berlalu dan Alex masih belum kembali. Mia mulai bertanya-tanya apa yang dilakukan Alex. Tetapi tepat saat itu pintu terbuka dan Alex masuk sambil mendorong kursi roda.

"Alex, kau dari mana saja?" tanya Mia langsung. "Dan kenapa kau membawa kursi roda?"

Alex tersenyum lebar. "Tadi aku bertanya kepada perawat apakah ada piano di rumah sakit ini. Katanya ada satu piano tua di ruang bermain bangsal anak," jelasnya. Lalu ia menepuk pegangan kursi roda ini untukmu. Ayo, duduklah di sini dan aku akan membawamu ke bangsal anak."

Mia menatap kursi roda itu dengan alis terangkat."Atau kau lebih suka aku menggendongmu ke sana?" pancing Alex.

"Sepertinya kursi roda lebih aman."

Alex menyipitkan mata. "Aku tahu kau berbohong," katanya dan terkekeh pelan, "tapi tidak apa-apa. Ayo kita pergi."

Mereka akhirnya tiba di ruang bermain bangsal anak di lantai enam setelah menanyakan arahnya kepada dua perawat. Tidak ada seorang pun di ruang bermain pagi ini. Alex mendorong Mia dan kursi rodanya ke arah piano berwarna hitam di salah satu sisi ruangan. Setelah menempatkan kursi roda Mia di samping bangku piano, Alex pun membuka tutup piano dan melarikan jemarinya di atas deretan tuts piano.

"Hm, masih cukup bagus," gumannya, lebih pada diri sendiri. Lalu ia menoleh kepada Mia. "Oke, siap?"

Mia merapatkan selimut di sekeliling tubuhnya dan mengangguk. Lalu kesepuluh jari Alex yang ramping mulai bergerak di atas tuts-tuts piano dan alunan yang indah pun mulai terdengar. Mia memejamkan mata dan kembali membayangkan sinar matahari, padang rumput hijau di bawah langit biru yang luas, rumput-rumput yang bergoyang ditiup angin, dan musim semi.

Mendengar bunyi gemerisik samar di belakangnya, Mia membuka mata dan menoleh. Matanya melebar melihat orang-orang yang bergerombol di ambang pintu dan berdiri di luar jendela, berusaha melihat ke ruang bermain itu melalui kaca jendela. Lalu bibirnya melengkung membentuk senyum lebar saat melihat rombongan kecil penonton Alex, yang terdiri atas enam perawat, tiga dokter, beberapa pasangan orangtua bersama anak-anak mereka, terlihat tidak bisa melepaskan pandangan kagum dari sosok Alex yang sedang bermain piano..

Para wanita bahkan mendesah senang dan menempelkan tangan mereka ke dada selama mereka mendengarkan permainan Alex.

Sama seperti Mia.

Di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya, tangan kanannya juga terangkat ke dada. Sama seperti waktu itu, lagu ini seolah-olah menyusup ke dalam dadanya, menyelinap ke dalam jiwanya, dan mengendap di sana. Lagu ini memenuhi dada Mia dengan harapan dan kebahagiaan. Dan Mia ingin mempertahankan perasaan ini selama mungkin di dalam dadanya.

Ketika lagu itu berakhir, Mia dan orang-orang yang menonton dari luar ruangan bertepuk tangan. Alex terkejut ketika melihat ia telah mengumpulkan serombongan kecil penonton. Ia berdiri dan membungkuk ke arah penonton dengan resmi.

"Kau membuat mereka terpesona," kata Mia ketika para penonton sudah menghilang dari ambang pintu.

"Benarkah?" guman Alex sambil menatap Mia. "Padahal aku hanya ingin menawan hati satu orang."Mia tidak berkomentar. Ia mengalihkan pandangannya dan menunduk menatap tuts piano. Jari telunjuknya menekan salah satu nada dengan kikuk. "Terima kasih karena sudah memainkannya untukku," katanya.

Alex merogoh sakunya dan mengeluarkan secarik kertas biru dan menyodorkannya kepada Mia. Alis Mia terangkat melihat Voucher Permintaan kepada Mia Clark di depan hidungnya. "Apa?"

"Untuk berterima kasih padaku, aku ingin kau mengabulkan satu permintaanku," kata Alex ringan.Mia tertawa dan menerima voucher itu. "Apa permintaanmu?"

"Biarkan aku menciummu." 

Alex melihat tubuh Mia menegang begitu ia mengucapkan permintaannya. Ia tahu permintaannya mendadak, tetapi ia ingin gadis itu memahami perasaannya tanpa kata-kata. Alex ingin Mia Clark merasakan apa yang dirasakannya dalam hati. Alex ingin Mia mengerti bahwa ia sudah menjadi bagian terpenting dalam hidup Alex, bahwa Alex bersedia menggerakkan langit dan bumi demi dirinya, bahwa Alex bahkan bersedia menyerahkan jantungnya untuk Mia seandainya itu bisa membuat gadis itu tetap bertahan hidup.

Mata hitam Mia masih menatap mata Alex dalam-dalam dan Alex tidak tahu apa yang kini sedang berkelebat dalam pikirannya, atau apa yang sedang dicari gadis itu. Alex yakin Mia mendengarnya tadi. Ia yakin...

"Baiklah."

Sepatah kata itu diucapkan dengan begitu lirih sampai Alex hampir tidak mendengarnya. Ia mengerjap dan menatap Mia meminta penegasan.

Seulas senyum samar dan ragu tersungging di bibir Mia. "Kurasa aku bisa mengabulkannya," gumamnya.

Alex menelan ludah. Jantungnya berdebar begitu keras sampai ia takut jantungnya akan melompat keluar dari dadanya. Ini konyol. Ini bukan ciuman pertamanya, lalu kenapa ia mendadak berkeringat dingin seperti ini?

Karena ini Mia Clark. Gadis yang memiliki hati Alex dalam genggaman tangannya.Alex mencondongkan tubuh dengan perlahan, memberi kesempatan kepada Mia untuk mengurungkan niat. Tetapi Mia tetap diam dan membiarkan Alex mendekatinya.

Ketika pada akhirnya Alex menyentuhkan bibirnya ke bibir Mia, kepalanya terasa begitu ringan sampai ia merasa seolah melayang dan dadanya terasa begitu penuh sampai ia merasa akan meledak. Bibir Mia terasa dingin dan Alex tidak melakukan apa pun selain menempelkan bibirnya ke bibir Mia. Ia tidak ingin membuat gadis itu ketakutan.

Ciuman kecil itu hanya berlangsung selama lima detik. Setelah itu Alex menarik diri dan tersenyum kecil kepada Mia. "Nah, tidak sesulit dugaanmu, bukan?" tanyanya dengan nada bergurau. "Kuharap tidak terlalu mengerikan."

Mia memperbaiki letak selimut di sekeliling tubuhnya, berusaha menenggelamkan diri di dalamnya. Ia terlihat malu dan canggung, namun ia membalas senyum Alex. Jadi Alex merasa lega.

Selama beberapa saat mereka hanya duduk diam, sibukcdengan pikiran masing-masing. Lalu Alex memecah keheningan nyaman yang menyelubungi mereka.

"Aku mencintaimu."

Sekali lagi Alex merasa Mia Clark menegang di sampingnya.

Alex mengembuskan napas dengan pelan. Akhirnya ia mengatakannya. Ia sudah mengatakannya. Dan ia memang merasa sedikit lebih lega setelah menyuarakan apa yang ada dalam hatinya.

"Tapi kurasa kau sudah bisa menebaknya," lanjut Alex dengan nada lebih ringan.Mia masih diam seribu bahasa, masih tidak menatap Alex, masih tidak bergerak sedikit pun. Alex bertanya-tanya apakah ia melangkah terlalu cepat. Tetapi ia memang hanya ingin gadis itu tahu. Hanya itu. Setidaknya untuk saat ini. Jadi walaupun Mia tidak bereaksi, Alex tidak akan memaksa, karena ia tahu Mia mendengar kata-katsnya dengan jelas.

"Aku hanya ingin mengatakannya, jadi kau tidak perlu merasa terbebani," lanjut Alex.

Hening lagi. Tetapi kali ini keheningan yang menyelimuti mereka tidaklah senyaman keheningan sebelum pengakuan Alex. Ada sesuatu yang terasa canggung di udara.

"Tapi ada satu hal yang ingin kuminta darimu." Alex menghela napas dan kembali membuka suara. "Berjanjilah padaku kau akan bertahan hidup."

Mia mengerjap."Kalau bukan untukku, lakukanlah untuk dirimu sendiri."

Hening. Kemudian Alex mendengar Mia menghela napas sibgkat sebelum akhirnya membuka suara. "Aku berjanji aku akan bertahan hidup," katanya pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari tuts piano. "Aku akan menari sekali lagi dan aku akan bertahan hidup. Lalu aku akan tetap bertahan hidup sampai aku mendapat jantung baru. Untukku... Untuk orangtuaku... Untukmu."


Bab 36

AKHIR pekan itu Mia kembali ke atas panggung. Gedung pertunjukan penuh. Tidak ada satu pun tempat duduk kosong malam itu. Semua orang ingin melihat Mia Clark menari setelah membaca dan mendengar ulasan awal yang positif di media. Malam itu semua mata tertuju pada Mia. Semua orang ingin melihat seperti apa Mia Clark yang dipuji-puji Dee Black dan dianggap sebagai salah satu dari lima penari kontemporer terbaik dunia.Mia memahami tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Dan penampilanya sama sekali tidak mengecewakan. Ia membuat semua penonton jatuh dalam pesonanya. Gedung pertunjukan seolah-olah nyaris meledak ketika pertunjukan berakhir. Tepuk tangan penonton seolah-olah tidak berakhir ketika Mia muncul di panggung untuk memberi hormat setelah tirai diturunkan.

Seluruh keluarga besarnya bangga padanya. Orang-oranh membahas pertunjukan itu dengan nada kagum. Pers memuji-muji penampilan Mia dalam ulasan mereka di berbagai media. Kini orang-orang mengenal nama Mia Clark dan mengakuinya sebagai salah satu penari terbaik yang pernah ada.

Seperti yang bisa diduga, Mia merasa tidak sehat di akhir pertunjukan, tetapi ia tidak jatuh pingsan seperti waktu itu. Ia jatuh pingsan keesokan harinya. Dan sejak hari itu kondisinya terlalu lemah sampai ia hampir tidak bisa melakukan apa pun dan ia bisa mengalami serangan lebih dari satu kali dalam sehari.

Lima hari setelah pertunjukan, Dr. Schlutz mengharuskan Mia dirawat di rumah sakit dan nama Mia kini berada di puncak daftar pasien yang menunggu donor jantung.

Saat itu kondisi Mia tidak lagi menjadi rahasia. Bahkan Dee Black, yang sebenarnya sudah kembali ke Miami bersama rombongannya, terbang kembali ke New York untuk menjenguk Mia setelah mendengar kabar itu.

Orangtua Mia dan Alex adalah orang-orang yang paling sering menemani Mia di rumah sakit. Namun setelah dua minggu di rumah sakit, Alex mulai merasa Mia bersikap aneh padanya. Mia mulai mengacuhkannya. Gadis itu juga jarang berbicara dengannya. Awalnya Alex masih merasa hal itu cukup wajar. Bagaimanapun, saat ini Mia jauh lebih lemah daripada sebelumnya, jadi wajar saja kalau kadang-kadang ia lebih suka berdiam diri.

Tetapi suatu pagi, ketika Alex baru datang menjenguknya seperti biasa, Mia menatapnya dan bertanya datar, "Alex, kenapa kau datang ke sini setiap hari?"

"Mm?" guman Alex sambil menatap Mia yang berbaring di ranjangnya. Gadis yang dulunya ceria itu kini terlihat jauh lebih kurus, jauh lebih pucat, dengan lingkaran hitam yang jelas di sekeliling matanya. Mia Clark terlihat rapuh, dan satu-satunya hal yang menunjukkan bahwa ia masih berjuang dan bertahan adalah sinar matanya.

Mata hitam yang masih terlihat awas itu menatap Alex sejenak dengan tajam, lalu Mia memalingkan wajah ke luar jendela kamarnya. "Kau tidak perlu datang setiap hari," gumannya.

Alex mengangkat bahu. "Aku tidak keberatan."

"Tidak, pergilah," desak Mia. "Lakukan apa yang biasa kaulakukan sebelum kau terpaksa menemaniku di sini."

Alex mengerutkan kening. "Tapi, Clark..."

"Pergilah," sela Mia lebih keras, masih tidak memandang Alex. Lalu ia memejamkan mata dan berguman pelan, "Tolong pergilah."

Sejak hari itu Mia menolak menemui Alex.

"Dia tidak mau menemuiku?" tanya Alex bingung ketika ia kembali ke rumah sakit keesokan harinya. "Kenapa?"

Mrs. Clark mendesah berat dan menggeleng. "Aku tidak tahu, Alex. Mungkin ia hanya ingin sendirian hari ini." Ia tersenyum menyesal, berusaha menenangkan Alex. "Bagaimana kalau kau kembali lagi besok? Mungkin perasaannya sudah lebih baik saat itu."

Tetapi Mia masih tidak mau menemui Alex keesokan harinya. Dan keesokan harinya. Dan keesokan harinya lagi. Hal ini membuat Alex frustasi. Ia tidak mengerti kenapa gadis itu tiba-tiba tidak mau menemuinya, tidak mau berbicara dengannya, tidak mau berurusan dengannya. Gadis itu mau menemui teman-temannya yang datang menjenguknya. Ia mau menemui Paolo dan Eleanor, juga Ray dan Karl. Ia bahkan mau menemui orangtua Alex yang datang menjenguknya. Tetapi ia bersikeras tidak mau menemui Alex. Alex jadi bertanya-tanya apa yang sudah dilakukannya. Apa salahnya? Apakah ia melakukan sesuatu yang membuat gadis itu marah? Ia sungguh tidak mengerti.

Walaupun Mia menolak menemuinya, Alex tetap datang ke rumah sakit setiap hari. Ia tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya selain itu. Ia hanya ingin berada di dekat Mia. Walaupun saat ini gadis itu tidak mengakui keberadaannya dan mengabaikannya, setidaknya Alex bisa duduk di luar kamar Mia dan itu berarti ia masih bisa berada di dekat Mia.

*****

Hari ini adalah hari kelima belas Alex datang ke rumah sakit dan diberitahu bahwa Mia masih tidak mau menemuinya. Alex hanya bisa tersenyum lesu kepada Mrs. Clark yang terlihat tersiksa karena tidak bisa membiarkan Alex masuk ke kamar rawat Mia. Tanpa berkata apa-apa, Alex duduk di bangku tidak nyaman yang sudah sering didudukinya selams dua minggu terakhir.Lima menit kemudiab pintu kamar rawat Mia terbuka. Alex mendongak dan melihat ayah Mia melangkah keluar.

Dari raut wajah pria yang kini terlihat jauh lebih tua dariapada usia sebenarnya itu Alex tahu bahwa Mr. Clark keluar bukan untuk menyuruh Alex masuk.

"Ayo, Nak, temani aku minum kopi," ajak Mr. Clark kepada Alex.

Alex bangkit dan mengikuti pria itu ke kafetaria.

"Kopi di sini mengerikan," komentar Mr. Clark ketika mereka sudah duduk berhadapan di meja bundar kecil di kafetaria yang tidak terlalu ramai. "Tapi kurasa kau harus menerima apa yang bisa kaudapatkan saat ini."

"Cla-maksudku Mia bisa membuat kopi yang sangat enak," kata Alex tanpa berpikir.

Mr. Clark menatap Alex sejenak. Sinar matanys terlihat lembut, namun sedih. "Dia sedang sakit," katanya kepada Alex dengan hati-hati. "Karena itu dia tidak bersikap seperti dirinya yang biasa. Kuharap kau tidak tersinggung atau marah karenanya."

Alex menunduk menatap kopi di tangannya. Tenggorokannya tercekat. Pria yang duduk di hadapannya ini jelas-jelas sangat menderita karena mencemaskan putrinya, tetapi ia masih bisa mencoba menghibur Alex. Ia yakin saat inu orangtua Mia juga teramat sedih walaupun mereka tidak bisa menunjukannya di depan putri nereka dan harus selalu bersikap kuat serta positif.

"Aku mengerti," guman Alex dengan suara serak. "Aku tidak marah, Mr. Clark. Aku hanya berharap aku tidak melakukan sesuatu yang membuatnya marah."

"Kau mencintainya, bukan?" tanya Mr. Clark pelan.Alex masih menunduk. Mengakui perasaannya di depan ayah Mia tidaklah semudah yang dibayangkan, jadi ia hanya mengangguk kecil.

"Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama."

Kali ini Alex mendongak, menatap pria di hadapannya dan tersenyum muram. "Kuharap aku bisa seyakin Anda."

"Dia putriku. Aku mengenalnya," Mr. Clark menegaskan. Alex menghela napas. "Aku hanya berharap bisa mendengarnya langsung dari mulutnya suatu hari nanti. Mungkin kalau dia sudah bersedia menemuiku."

"Aku akan coba bicara padanya lagi," Mr. Clark menawarkan diri.

Alex tersenyum berterima kasih kepada pria yang dihormatinya itu. Mr. Clark sudah beberapa kali mencoba membujuk Mia tanpa hasil, tetapi pria itu masih tetap ingin mencoba. Untuk itu Alex sangat berterima kasih.

Tiba-tiba Alex teringat sesuatu. Ia mengerjap ketika menyadari sesuatu yang terlupakan olehnya. Kenapa ia bisa sebodoh ini?

"Ada apa, Alex?" tanya Mr. Clark agak cemas ketika melihat perubahan raut wajah Alex.

Alex merogoh saku celananya dan mengeluarkan secarik kertas lusuh. Sepertinya kertas ini adalah harapan terakhirya untuk membuat Mia bersedia menemuinya. Ia meletakkan kertas biru itu di atas meja dan mendorongnya ke arah Mr. Clark yang menatapnya dengan bingung.

"Aku ingin meminta sedikit bantuan," pinta Alex. "Tolong berikan ini kepadanya."

Mr. Clark memungut kertas itu dan membaca tulisan yang tertera di sana. Ia tersenyum kecil, lalu kembali menatap Alex. "Dan permintaanmu?"

"Aku ingin diizinkan menemuinya. Satu kali lagi saja, kalau dia memang tidak mau menemuiku lagi."

Mr. Clark mengangguk dan mengantongi Voucher Permintaan Kepada Mia Clark. "Pasti akan kuberikan padanya."

Alex mendesah lega. Sebersit harapan terbit dalam hatinya. Gadis itu akan mengabulkan permintaannya. Ia sudah berjanji. Jadi ia pasti akan mengabulkan permintaan Alex. Akhirnya Alex bisa menemuinya. "Terima kasih, Sir."

"Justru aku yang harus berterima kasih padamu, Alex."

Alex terlihat heran. "Untuk apa?"

"Karena sudah mencintai putriku."

*****

Baru dua hari kemudian Mia mengabulkan permintaan Alex dan mengizinkan Alex masuk menemuinya. Mr. Clark menepuk pundak Alex dengan pelan ketika ia dan istrinya keluar dari kamar Mia, meninggalkan Alex bersama Mia.

Setelah pintu kamar tertutup, Alex mengalihkan pandangan ke arah gadia yang setengah berbaring bersandarkan bantal-bantal. Ia mendapati dirinya tidak tahu harus mengatakan apa. Ketika tadi menunggu di luar kamar, ia merasa ada banyak hal yang ingin dikatakannya kepada Mia. Banyak sekali yang ingin ditanyakannya. Tetapi setelah berdiri di tengah-tengah kamar dan setelah akhirnya berhadapan dengan Mia, Alex lupa apa yang ingin dikatakannya. Isi pikirannya menguap begitu saja.

"Bagaimana kabarmu?"

Suara Mia yang lirih terdengar jelas di dalam kamar yang sunyi itu, menyentakkan Alex dari lamunannya. Ia melihat jemari Mia memainkan ujung selimut di pinggangnya dengan gugup. Matanya menatap Alex sekilas, lalu beralih memandang ke arah lain.

"Sekarang sudah lebih baik," jawab Alex sambil berjalan menghampiri ranjang Mia dan duduk di kursi yang tersedia di sisi kirinya.

Mia menelan ludah dengan susah payah, membasahi bibirnya yang pucat dan kering, lalu kembali menatap Alex. "Jadi apa yang ingin kaukatakan padaku?"

Alex tidak langsung menjawab. Ia mengamati wajah Mia dengan seksama, memperhatikan pipinya yang pucat dan cekung, lingkaran hitam di sekeliling matanya yang masih bersinar tajam. Gadis itu terlihat rapuh dan dada Alex mendadak terasa nyeri. Begitu nyerinya sampai ia nyaris sesak napas.

"Ini kedua kalinya kau menghindariku," guman Alex perlahan. "Kenapa kau menghindariku, Clark?"

Sesuatu berkelebat di mata gadis itu, namun ia mengerjap dan mata hitamnya kembali datar seperti tadi. "Aku tidak menghindarimu," bantahnya. "Aku hanya tidak ingin kau menghabiskan waktumu di sini."

"Apa maksudmu menghabiskan waktuku?"

Mengabaikan pertanyaan Alex, Mia berkata, "Kau sudah di sini sekarang. Sebaiknys kau mengatakan apa yangcingin kaukatakan."

"Tolong jangan menghindariku."

Mia menatap Alex sejenak, lalu memalingkan wajah dan menatap lurus ke depan. Alex bisa melihat tenggorokannya bergerak ketika Mia menelan ludah dengan susah payah. Tetapi gadis itu hanya diam tanpa berkata apa-apa.Alex mencomdongkan tubuh ke depan. Sebelah tangannya terulur hendak menyentuh tangan Mia. Namun tepat sebelum ujung jemarinya menyentuh punggung tangan Mia, Alex mendadak ragu dan menghentikan gerakannya. Apakah Mia akan menarik diri apabila Alex menyentuhnya? Alex tidak bisa menghadapi penolakan lain saat ini. Ia merasa hatinya tidak akan kuat menghadapinya kalau hal itu terjadi. Jadi ia mengurungkan niatnys dan menarik kembali tangannya.

"Kalau aku membuatmu marah, maafkan aku," kata Alex. Mia mengerjap, lalu berkata pelan, "Aku tidak marah padamu."

"Aku..." Suara Alex tercekat dan ia harus berhenti sejenak untuk mengendalikan diri. Selama ini ia menganggap dirinya bukan orang yang gampang terbawa perasaan, tetapi kali ini berbagai emosi berkecamuk dalam dirinya dan membuatnya sesak. "Kalau kau tidak mau berbicara denganku, tidak apa-apa," lanjutnya. "Kalau kau tidak mau aku berbicara padamu, itu juga tidak apa-apa. Tapi tolong jangan menghindariku. Biarkan aku di sini bersamamu."

Wajah Mia berkerut samar dan bibirnya terkatup rapat, namun matanya kini berkaca-kaca. "Mungkin kau tidak membutuhkanku. Tapi aku membutuhkanmu."

Setetes air mata jatuh dari sudut mata Mia dan ia cepat-cepat menghapusnya. Tetapi Alex sudah melihatnya, dan harapannya terbit tanpa bisa di cegah. Gadis itu tidak akan menangis kalau kata-kata Alex tidak berpengaruh baginya, bukan?

Kali ini Alex memberanikan diri mengulurkan tangan dan menggengam tangan kiri Mia. Gadis itu tidak menolak dan Alex merasa jantungnya berdebar lebih keras dalam dadanya.

"Katakan padaku," bisik Alex sambil menatap Mia dengan sungguh-sungguh walaupun gadis itu masih menatap lurus ke depan, "bagaimana perasaanmu padaku?"

Begitu kata-kata itu meluncur dari mulut Alex, sebuah isakan lirih terdengar dari mulut Mia. Air mata pun kembali mengalir sementara ia memejamkan mata dan menggigit bibir.

"Apakah kau juga mencintaiku? Apakah ada sedikit saja kemungkinan kau bisa mencintaiku?" tanya Alex lirih.Mendengar itu, air mata Mia tak terbendung lagi. Tangan kanannya terangkat membekap mulutnya sementara ia memejamkan mata dan terisak-isak sampai sekujur tubuhnya berguncang keras. Melihat Mia menangis seperti itu membuat Alex merasa tersiksa. Terlebih lagi karena ia tidak tahu kenapa Mia tiba-tiba menangis. Ia hanya bisa melakukan apa yang menurutnya benar saat itu. Alex berdiri dan duduk di samping Mia di ranjang. Tangannya merangkul bahu Mia dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Alex membiarkan Mia menangis di dadanya sementara ia menempelkan pipinya ke kepala Mia dan membisikkan kata-kata yang diharapkannya bisa menenangkan gadis itu.

Mia membiarkan Alex memeluknya, membiarkan Alex menempelkan bibir di keningnya, membiarkan Alex mengusap-usap punggung dan lengannya untuk menenangkannya, namun ia tetap tidak menjawab pertanyaan Alex.

*****

Dua minggu kemudian mereka mendapat berita bahwa jantung yang sesuai untuk Mia sudah tersedia.


Bab 37

LAMPU merah itu masih menyala. Lima jam sudah berlalu, namun operasi masih berlangsung. Seorang perawat kadang-kadang keluar dari ruang operasi dan menyampaikan perkembangan selama operasi kepada keluarga Mia. Sejauh ini perkembangan yang disampaikannya cukup positif.

Saat itu orang-orang berkumpul dan menunggu dengan tegang di ruang tunggu adalah kedua orangtua Mia, kedua kakek dan neneknya, Alex dan Ray. Ray ada di situ untuk menemani Alex. Ia tahu betapa pentingnya Mia bagi kakaknya. Orang buta pun bisa melihat betapa Alex mencintai Mia. Ray tahu Alex membutuhkan semua dukungan yang bisa didapatkannya saat ini. Dan itulah yang akan diberikan Ray kepadanya.

Alex menopangkan kedua siku ke paha dan menangkup kepala dengan kedua tangannya. Pikirannya melayang ke saat sebelum Mia dibawa ke ruang operasi. Setelah kedua orangtuanya memeluk, mencium, dan mendoakannya, Mia menoleh ke arah Alex dan memintanya mendekat tanpa suara.

Selama persiapan operasi, Alex menjaga jarak dari Mia. Ia merasa lega dan gembira karena Mia tidak perlu menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan jantung yang sesuai. Tetapi di dalam hati kecilnya Alex merasa takut. Operasi transplantasi jantung bukan operasi sepele. Bagaimana kalau terjadi komplikasi? Bagaimana kalau...? Demi Tuhan, kenapa ia harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk?

Alex menghampiri ranjang Mia dan tersenyum padanya. Lalu ia meraih tangan Mia dan menggenggamnya. Tangan Mia terasa kecil, rapuh, dan dingin.

Mia tersenyum kecil. Dengan tangannya yang lain ia menyentuh pipi Alex. "Kemarilah," bisiknya. Alex menunduk dan membiarkan Mia merangkul lehernya dengan satu tangan sementara ia menyurukan wajahnya ke bahu Mia yang kurus. Lalu Alex mendengar gadis itu berbisik di telinganya, "Doakan semoga operasiku berhasil."

Alex mundur sedikit supaya bisa melihat ke mata Mia. "Aku akan menunggumu. Semoga berhasil. Dan kembalilah kepadaku."

Mata Mia berkaca-kaca, namun ia tersenyum dan menempelkan bibirnya yang dingin ke pipi Alex sejenak sebelum akhirnya melepaskan rangkulannya.

Sekarang Alex duduk menunggu dengan tegang. Ia memandang ke sekeliling ruangan dan melihat kecemasan yang sama di wajah semua orang di sana. Alex kembali menunduk menatap lantai. Berapa lama lagi?

Semoga dia baik-baik saja.Semoga dia baik-baik saja.

Semoga dia...

Tiba-tiba Dr. Schultz melangkah masuk ke ruang tunggu dengan wajah lelah, memotong doa Alex. Tanpa disadari, Alex melompat berdiri dan menyerbu ke arah dokter itu bersama anggota keluarga Mia yang lain.

"Operasinya berjalan baik," Dr. Schultz menenangkan orang-orang yang mengerubunginya. "Semuanya berjalan sesuai harapan. Kami sudah melakukan semua yang bisa kami lakukan. Jantung baru sidah berdetak di dalam tubuh Mia. Yang harus kita lakukan sekarang adalah menunggu dan mengawasi kondisinya selama seminggu ke depan. Dan berharap tubuh Mia tidak menolak jantung baru yang diberikan kepadanya."

Sepertinya semua orang terlalu cepat merasa lega. Termasuk Alex.

Tiga hari kemudian dokter mendapati bahwa tubuh Mia menolak jantung barunya.

Para dokter dengan sangat menyesal berkata bahwa tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan.

Dan Mia tidak pernah sadarkan diri lagi.


Bab 38

ALUNAN lagu bernada cepat yang berasal dari piano tunggal di tengah-tengah panggang terdengar sampai ke seluruh sudut aula pertunjukan yang kosong itu. Alex Hirano duduk di balik piano, kesepuluh jarinya bergerak lincah di atas tuts, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam. Matanya tetap terpejam sampai ia memainkan nada terakhir lagu itu.

Tepuk tangan seseorang bergema dari belakangnya. Alex berbalik dan melihat Karl Jones berdiri di bawah panghung, di dekat deretan pertama kursi penonton.

"Kau tidak menjawab ponselmu. Tapi aku yakin bisa menemukanmu di sini," kata Karl sambil tersenyum.

Alex merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Benar saja, ada panggilan tak terjawab dari manajernya. Ia terlalu larut dalam latihannya sampai tidak merasakan getaran ponselnya. "Maaf, aku tidak mendengarnya tadi," katanya menyesal.

Karl mengangkat bahu. "Tidak masalah. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa konsermu masih semingu lagi tapi tiket pertunjukannya sudah terjual habis segalanya berjalan sesuai rencana."

"Terima kasih, Karl."

Karl berjalan ke tepi panggung dan mendongak menatap Alex. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya serius.

Alex menoleh ke arah temannya dan menghela napas dalam-dalam. "Aku akan baik-baik saja," sahutnya dan tersenyum menenangkan Karl. Dua bulan sudah berlalu sejak Alex kehilangan Mia Clark. Selama sebulan pertama sejak Mia meninggal dunia, Alex hampir tidak mampu meninggalkan apartwmennya. Ia seolah-olah kehilangan semangat hidup dan hanya bisa menherah dalam kesedihannya. Untunglah ia memiliki keluarga dan teman-teman yang selalu menahannya setiap kali ia jatuh. Alex yakin ia tidak akan pernah bisa menghadapi perasaan kehilangan dan kesedihannya kalau bukan karena mereka.

Perlahan-lahan ia mulai bisa berfungsi kembali. Perlahan-lahan ia mulai bisa melihat menembus kabut tebal dan dingin yang menyelimutinya selama ini. Perlahan-lahan ia mulai menerima kenyataan bahwa Mia tidak akan pernah kembali kepadanya walaupun ia memohon kepada langit dan bumi agar Mia dikembalikan kepadanya.

Walaupun luka dalam hatinya akan sembuh seiring berlalunya waktu, ia yakin ia tidak akan bisa kembali seperti dulu. Ia tidak akan bisa kembali menjadi Alex Hirano sebelum mengenal Mia maupun Alex Hirano selama mengenal Mia. Ia telah kehilangan sebagian hati dan jiwanya pada hari Mia meninggal. Ia tidak akan pernah utuh lagi.

"Bagaimana kalau kutraktir makan malam?"

Suara Karl menyentakkannya dari lamunan. Namun sebelum ia sempat menjawab, ponselnya berbunyi. Setelah membaca nama yang tertera di layar, Alex bergegas menempelkan ponsel ke telinganya. "Ya, Mr. Clark?" katanya. "Tidak, Anda sama sekali tidak mengganggu... Ya, tentu saja... Di mana?... Baiklah, aku akan ke sana sekarang."

Ia menatap ponselnya dan tersenyum meminta maaf kepada Karl. "Maaf, Karl. Aku harus pergi menemui Mr. Clark," katanya sambil berdiri dan membereskan barang-barangnya.

"Pergilah," kata Karl ringan. "Sampaikan salamku pada Mr. Clark, oke?"

*****

"Sudah lama kami tidak melihatmu, Nak," kata Mr. Clark hangat ketika Alex sudah duduk di hadapannya di sebuah kafe kecil di Soho. "Jangan menjadi orang asing. Kunjungilah kami di Huntington sesekali. Kau tahu kau akan selalu diterima dengan tangan terbuka."

Alex tersenyum kecil dan mengangguk singkat. "Terima kasih."

Mr. Clark terlihat berpikir sejenak, lalu menambahkan, "Atau apakah kau masih merasa sulit mengunjungi kami tanpa merasa terlalu tertekan?"

Alex menggeleng. "Bagaimana kabar Anda sendiri? Bagaimana kabar Mrs. Clark?"

"Kami masih bertahan." Pria yang lebih tua itu mengangguk- angguk. "Istriku masih menangis setiap kali memikirkan Mia."

Alex memahami perasaan itu. Ia juga merasa ingin duduk dan membiarkan air matanya mengalir setiap kali membayangkan wajah gadis itu.

"Karena itulah istriku butuh sedikit waktu sebelum ia bisa membereskan barang-barang milik Mia," lanjut Mr. Clark.

"Aku mengerti," sahut Alex.

"Dan karena itulah aku minta maaf karena aku tidak bisa menyerahkan ini kepadamu lebih awal."

Alex menatap camcorder yang diletakkan Mr. Clark di atas meja, lalu menatap pria di hadapannya dengan tatapan bertanya.

"Kami menemukannya di antara barang-barang Mia yang kami bawa pulang dari rumah sakit," jelas Mr. Clark. "Aku yakin Mia ingin kau memilikinya."

Alex masih tidak mengerti. "Anda ingin aku menyimpannya?"

"Ya," jawab Mr. Clark yakin. "Mia meninggalkannya untukmu. Kurasa kau harus melihatnya."

Alex baru hendak menyalakan camcorder itu ketika Mr. Clark menghentikannya.

"Sebaiknya kau melihatnya di rumah, Nak," kata Mr. Clark. "Aku juga harus pulang. Istriku menungguku. Ingat ucapanku, Alex, mampirlah mengunjungi kami kalau kau sempat."

Alex ikut berdiri ketika Mr. Clark berdiri. Ia mengulurkan tangan kanannya kepada pria itu. Mr. Clark menjabat tangannya, namun kemudian menarik Alex ke dalam pelukannya. Mr. Clark menepuk punggung Alex dengan ramah dan berkata, "Kami pasti akan menonton konsermu minggu depan."

Alex mengangguk dan tersenyum.

Mr. Clark melepaskan pelukannya dan berbalik. Namun ia teringat sesuatu dan berbalik kembali. "Dan kuharap kau bahagia, Nak."

Berusaha menelan bongkahan pahit di tenggorokannya, Alex membalas, "Anda juga, Mr. Clark."

*****

Lembali ke apartemennya yang sunyi dan hampa malam itu, Alex menyalakan lampu ruang duduk dan mengempaskan diri ke sofa. Ia meletakkan camcorder dari Mr. Clark di atas meja. Setelah mengamati benda itu sejenak dengan ragu, akhirnya ia meraih camcorder itu dan menyalakannya.

Gambar yang muncul menggantikan layar hitam kecil di sana membuat napas Alex tercekat dan ia hampir menjatuhkan camcorder ditangannya.

"Hai, Alex," kata Mia yang menatap lurus ke arah Alex, dari layar.

Mendadak mata Alex terasa perih sementara seluruh emosi yang berhasil dipendamnya selama ini muncul kembali ke permukaan dan menerjangnya, membuatnya hampir tidak bisa bernapas. Melihat wajah Mia di layar, mendengar Mia memanggil namanya, mengingatkannya betapa ia merindukan gadis itu. Ia begitu merindukan Mia sampai sekujur tubuhnya terasa sakit.

Alex tahu Mia merekam ini di rumah sakit dari seragam pasien yang dikenakannya. Sepertinya gadis itu duduk bersandar pada tumpukan bantal di ranjang rumah sakit sambil memegangi kamera dengan kedua tangan. Wajah Mia terlihat pucat, cekung, dan lelah, namun ia masih mencoba tersenyum ketika menatap lurus ke arah kamera, ke arah Alex.

"Aku tidak pernah merekam diri sendiri, jadi ini terasa aneh," kata Mia kikuk. Ia memperbaiki posisi kamera sehingga wajahnya terlihat lebih jelas. "Tapi aku ingin melakukan ini karena... karena ada yang ingin kukatakan padamu." Mia membasahi bibirnya yang kering dan mengangkat sebelah bahunya dengan lemah. "Maksudku, kalau kau sedang melihat ini, berarti sesuatu telah terjadi dan aku tidak bisa mengatakannya kepadamu secara langsung."

Alex menusap pipinya sendiri dan menutup mulut dengan satu tangan sementara berusaha mengendalikan tangannya yang gemetar.

Mia tersenyum kecil. "Kau tahu, sebenarnya aku sudah lupa bahwa kau masih memiliki ini." Ia mengancungkan secarik kertas biru lusuh di depan kamera. Alex mengenal kertas itu. Voucher Permintaan Kepada Mia Clark. "Aku tidak pernah menduga kau akan meminta ayahku menyerahkan ini kepadaku. Aku tidak mengatakannya kepadamu tadi ketika kau ada di sini, tapi..." Mia terdiam sejenak dan menghela napas perlahan. "Maafkan aku karena menghindarimu selama ini. Kurasa aku hanya bersikap bodoh dan berharap segelanya akan lebih mudah kalau kita tidak bertemu. Lebih mudah bagimu, juga bagiku. Tapi aku salah."

Mia menggigit bibir sejenak sebelum melanjutkan, "Sebenarnga aku tidak bermaksud menghindarimu. Aku hanya berusaha menghindari perasaanku sendiri dengan menghindarimu." Mia terdiam dan terlihat merenung sambil tersenyum samar dan muram. "Aku sangat ahli menghindari perasaanku sendiri, kau tahu? Bagiku suatu perasaan tidaklah nyata kalau aku menolak mengakuinya."

Mia menghela napas lagi. "Dan... aku menghindar karena aku takut pada perasaan yang kautimbulkan dalam diriku," bisiknya serak, lalu menelan ludah dengan susah payah. "Aku merasa tidak berhak merasakan perasaan yang selalu membuatku bahagia tanpa alasan itu, yang selalu membuatku kembali berharap, kembali memikirkan 'seandainya.'"

Mata Mia terlihat berkaca-kaca ketika ia menatap ke arah kamera, ke arah Alex, walaupun ia berusaha tetap tersenyum lemah. "Aku tidak berhak merasakan perasaan itu. Tidak sementara kondisiku masih seperti ini." Setetes air mata jatuh bergulir di pipi Mia dan ia menghapusnya dengan cepat. Ia mendesah lirih dan menggelengkan kepala. "Tidak ada yang bisa kuberikan kepadamu saat ini. Tidak ada yang bisa kutawarkan. Juga tidak ada yang bisa kujanjikan."

Alex memejamkan mata sementara setetes air matanya juga jatuh ke pipinya. Dadanya terasa sakit. Hatinya serasa diremas-remas. Demi Tuhan... apakah gadis itu tidak tahu bahwa Alex tidak menuntut apa pun darinya? Alex hanya ingin berada di sampingnya. Di dekatnya. Bersamanya. Karena seperti yang pernah dikatakan Alex kepada gadis itu, Alex membutuhkannya. Mia Clark mungkin tidak membutuhkan Alex, tapi Alex sangat membutuhkannya.

"Karena itu ketika kau bertanya padaku tadi, aku tidak memberikan jawaban yang kuminta. Kau pantas mendapatkan semua yang terbaik di dunia ini, Alex, dan aku tidak bisa memberikannya padamu saat ini," lanjut Mia lirih. Air matanya jatuh lagi dan ia kembali menghapusnya dengan telapak tangan. "Karena itu aku diam... tapi aku berjanji pada diriku sendiri bahwa suatu saat nanti... ketika aku mendapat jantung baru... ketika aku sehat kembali... ketika aku memiliki masa depan yang bisa kuserahkan kepadamu... aku akan berhenti menghindar. Saat itu aku akan berdiri tegak di hadapanmu dan memberikan jawaban yang pantas kauterima. Dan saat itu akan meyerahkan seluruh hidupku kepadamu."

Di layar, Mia kembali menghela napas dalam-dalam. Alex juga menghela napas dalam-dalam, berusaha meredakan rasa nyeri di dadanya, tanpa hasil. "Tapi kemudian aku mulai berpikir. Bagaimana kalu aku tidak mendapat jantung baru? Bagaimana kalau... bagaimana kalau pada akhirnya aku tidak mendapat kesempatan untuk berdiri lagi di hadapanmu dan mengatakan apa yang ingin kukatakan padamu?" Mia menelan ludah dengan susah payah. "Bagaimanapun, setelah apa yang kaukatakan padaku, setelah kau menyatakan perasaanmu padaku, kupikir kau berhak mendapat jawaban. Walaupun mungkin aku tidak bisa memberikan jawabanku secara langsung kepadamu seperti yang kuharapkan. Karena itulah aku memutuskan merekam ini. Untuk berjaga-jaga."

Air mata Alex mengancam akan jatuh lagi. Kenyataan bahwa Mia tidak ada lagi di sini bersamanya, kembali menerjangnya dan rasa sakit di dadanya hampir tak tertahankan.

Di layar Mia memiringkan kepalanya sedikit dan menatap langsung ke arah Alex. Air mata kembali mengalir dari sudut matanya. "Aku ingin kau tahu bahwa aku mensyukuri hari aku mengenalmu. Aku juga ingin berterima kasih atas semua yang sudah kaulalukan untukku. Terima kasih karena telah menemaniku selama ini. Terima kasih karena tetap bersabar denganku walaupun aku cenderung bersikap tidak masuk akal akhir-akhir ini. Aku tidak tahu kenapa kau bisa jatuh cinta pada orang sepertiku, tapi... terima kasih karena telah mencintaiku." Suara Mia berubah menjadi bisikan serak. Ia tidak lagi berusaha menghapus air mata yang mengalir desar di pipinya sementara ia menunduk dan terisak pelan.

Alex mengerjap, berusaha menyingkirkan air matanya, sementara jari telunjuknya yang gemetar menyentuh wajah Mia di layar. Ialah yang seharusnya berterima kasih kepada gadis itu. Karena telah menemaninya selama ini. Karena telah bersabar menghadapinya walaupun ia bersikap buruk pada gadis itu di awal perkenalan mereka. Karena telah membuatnya bahagia selama ini.

Mia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan untuk menenangkan diri, lalu ia mengangkat wajah dan kembali menatap Alex dengan mata basah, namun seulas senyum samar terlihat di bibirnya. "Satu-satunya penyesalanku dalam hidup adalah aku tidak bisa bersamamu sekarang dan mengatakan semua ini secara langsung kepadamu. Tapi tolong percayalah padaku ketika kukatakan bahwa aku ingin selalu bersamamu. Percayalah padaku ketika kukatakan bahwa aku ingin selalu ingin berada di dekatmu. Dan percayalah padaku ketika kukatakan bahwa aku juga mencintaimu."

Alex merasa dirinya berhenti bernapas. Jantungnya juga berhenti berdetak. Dan dunia seolah-olah berhenti berputar sesaat. Apakah ia salah dengar? Sejenak kemudian sebersit harapan yang dikiranya sudah terkubur jauh di dalam hatinya tumbuh kembali, seiring jantungnya yang mendadak kembali berdetak. Dua kali lebih cepat. Dua kali lebih keras. Apakah ia salah dengar?

"Aku mencintaimu, Alex Hirano," bisik Mia sekali lagi, seolah-olah ingin meyakinkan Alex. "Walaupun tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa kau percayai, percayalah bahwa aku mencintaimu. Sepenuh hatiku."

Alex memejamkan mata erat-erat sementara rasa lega yang hebat mengusainya, menyelubunginya, meyesakkannya, membuat sekujur tubuhnya gemetar, dan membuat air mata yang berusaha ditahannya sejak tadi tumpah keluar.

Ini bukan mimpi.

Akhirnya harapan yang tidak lagi berani diharapkannya itu terkabul. Akhirnya ia mendapat jawaban yang ditunggu-tunggunya selama ini.

Akhirnya ia tahu Mia Clark mencintainya.

Itulah yang terpenting baginya. Karena seandainya tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa dipercayainya, Alex masih bisa bergantung pada keyakinan bahwa Mia Clark mencintainya.

Dan ia yakin ia akan baik-baik saja.

Karena Mia Clark mencintainya.


Epilog

"SESEORANG pernah berkata padaku bahwa dia tidak tahu kenapa aku bisa mencintai orang seperti dirinya. Terus terang saja, aku juga tidak tahu. Kurasa aku tidak termasuk salah satu orang yang merasa kau tidak membutuhkan alasan untuk mencintai seseorang. Karena cinta terjadi begitu saja. Kau tidak bisa memaksakan diri mencintai seseorang, sama seperti kau tidak bisa memaksakan diri membenci orang yang kaucintai."

Alex Hirano terdiam sejenak, menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Tapi kalau aku harus menjawab pertanyaan itu," lanjutnya sambil merenung, "Kurasa aku akan berkata bahwa aku mencintainya karena dia adalah Mia Clark."

Mata Alex menyapu sekeliling aula konser yang dipenuhi ratusan penonton. Ia melihat kedua orangtuanya duduk di barisan pertama kursi penonton. Ray dan Karl juga ada di sana. Lalu matanya beralih ke arah Mr. dan Mrs. Clark yang juga duduk di barisan pertama. Mereka tersenyum menyemangati Alex. Akhirnya mata Alex terpaku pada kursi kosong di samping Mrs. Clark dan dadanya langsung terasa nyeri.

"Walaupun dia tidak bisa berada di sini hari ini," kata Alex tanpa mengalihkan pandangan, "kuharap dia mendengar lagu ini. Di mana pun dia berada. Dan kuharap dia tahu bahwa selama aku masih bernapas, aku akan selalu mencintainya. Sepenuh hatiku. Selamanya."

Beberapa detik kemudian, lagu yang selalu membuatnya teringat pada Mia Clark dan setengah jiwanya yang hilang pun mengalun lembut, mengisi seluruh sudut ruangan besar yang sunyi senyap itu dengan nada-nada indah yang pada akhirnya membuat para penonton mendesah dan memejamkan mata, membayangkan sinar matahari yang hangat, padang rumput yang hijau, dan langit biru tak berawan.


-------------------------------------------------------------END--------------------------------------------------------------


wiihhhh akhirnya selesai juga ngepost semua nya, ini aku ambil (copy) dari facebook a/n Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia --->> http://sh.st/bLYFv , kalau mau baca lebih banyak silahkan klik link itu yaa, aku recommend buat yang suka baca novel online di waktu-waktu kosong kalian semua.. :) jangan lupa di like facebook nya ya kalo pada baca disitu, hohohohoo~~

thankyouuuuu.. ^^

 

Berbagi Pengalaman Template by Ipietoon Cute Blog Design