Jumat, 06 November 2015

lanjutan SUNSHINE BECOMES YOU

Bab 25

LUCY baru selesai mengajar dan sedang berjalan menyusuri kiridor ke arah tangga ketika mendengar alunan musik yang berasal dari salah satu ruang kelas di sebelah kirinya. Tahu bahwa ruang kelas itu adalah ruangan yang sering digunakan Mia dan mengingat Mia tidak ada kelas siang ini, Lucy menghampiri pintu dan mengintip ke dalam dari jendela kaca di pintu. Ia mengira akan menemukan Mia sedang menari di dalam sana seperti biasa, namun dugaannya salah. Lucy mengangkat alis heran ketika melihat Mia sedang duduk bersila di lantai dengan punggung dan kepala disandarkan di dinding di belakangnya.

"Mia?" panggil Lucy sambil membuka pintu dan melangkah masuk. "Sedang apa kau di sini?"

Mia tersentak dan menoleh. "Hai, Lucy. Kelasmu sudah bubar?" tanya Mia sambil tersenyum.

Lucy mengerjap heran melihat mata Mia yang sembap dan gidungnya yang merah. Apakah Mia habis menangis? Gagasan itu terasa sangat asing bagi Lucy karana selama mengenal Mia, ia tidak pernah sekali pun melihat Mia menangis. Kalau dipikir-pikir lagi, ia bahkan tidak pernah melihat Mia berwajah muram. Mia selalu terlihat ceria. Selalu.

"Mia, ada apa?" tanya Lucy sambil menjatuhkan diri di lantai dekat Mia. "Kau terlihat..."

Mia tertawa kecil dan mengibaskan sebelah tangan. "Aku tidak apa-apa," sahutnya ringan. Lalu ia menunjuk hidungnya dan berkata, "Ini gara-gara alergi."

"Oh, begitu." Lucy tersenyum mengerti dan tidak mendesak Mia lagi. Benar, Mia tidak mungkin menangis, pikirnya yakin. Ia mengangguk ke arah CD player di sudut ruangan dan bertanya, "Lagu apa yang sedang kaudengar ini?"

"Fairy Tale," desah Mia.

"Lagunya bagus," guman Lucy. "Kau mau membuat koreografi baru baru dengan lagu ini?"

"Rencanya begitu. Tapi saat ini aku tidak bisa memikirkan satu gerakan pun." Mia bangkit, berjalan ke arah CD player dan mematikannya.

"Oh, ya, Mia, bukankah kemarin kau pergi ke pesta dansa yang diselenggarakan Dee Black Dance Comlany?" tanya Lucy. "Bagaimana pestanya? Menyenangkan?"

"Mm?" guman Mia sambil lalu. "Biasa saja."

Tadinya Lucy berharap mendengar cerita yang lebih mendetail tentang pesta yang diselenggarakan salah satu kelompok tari tersohor di negeri ini, tetapi sepertinya hari ini Mia sedang tidak ingin bicara panjang lebar. Jadi Lucy pun mengalihkan pembicaraan. "Omong-omong, hari ini kau tidak ada jadwal mengajar, bukan? Kau tidak pergi ke apartemen kakak Ray?"

"Tidak."

"Tidak? Kenapa?"

"Kurasa aku tidak akan pergi ke sana lagi."

"Tapi kenapa?"

"Karena dia tidak membutuhkan bantuanku lagi."

Lucy mengernyitkan kening dengan heran. Lalu ia bertanya dengan hati-hati, "Kalian bertengkar?"

Mia tidak menjawab, tetapi Lucy melihatnya mengernyit samar. "Kita bicarakan hal lain saja," guman Mia.

Sikap Mia menguatkan dugaan Lucy bahwa kedua orang itu bertengkar. Tetapi ia bukan orang yang suka ikut campur, jadi Lucy tidak memaksa. "Baiklah," kata Lucy dengan nada ceria. "Bagaimana kalau kita pergi makan siang?"

Mia mengernyit lagi. "Maaf, aku..."

"Halo, ladies." Sapaan riang yang berasal dari pintu memotong kata-kata Mia.Lucy dan Mia serentak menoleh. "Oh, hai, Ray," Lucy balas menyapa.

"Apakah aku mengganggu acara bergosip kalian?" tanya Ray sambil berjalan menghampiri mereka.

"Tidak," sahut Lucy.

Ray tersenyum lebar, lalu menatap Mia. "Tadi aku mampir ke apartemen Alex. Kukira kau ada di sana."

"Oh, ya?" guman Mia acuh tak acuh. "Seperti yang kau lihat, aku ada di sini."

"Ya. Untunglah kau tidak pergi ke sana hari ini," lanjut Ray sambil meringis. "Suasana hati Alex sedang sangat buruk adalah sangat, sangat, sangat buruk."

Lucy mengangkat alis dan melirik Mia yang terlihat tidak peduli.

"Kau tahu ada apa dengannya?" tanya Ray, sama sekali tidak menyadari raut wajah Mia yang berubah kaku. "Dia hampir tidak mau bicara padaku dan terlihat seolah-olah baru diberitahu bahwa tangannya akan diamputasi sehingga tidak akan pernah bisa bermain piano lagi seumur hidupnya. Dia salah obat atau apa?"

Mia mengangkat bahu tanpa berkata apa-apa.

Ray berpikir sejenak, lau ia juga mengangkat bahu dan berkata, "Ah, sudahlah. Biarkan saja dia. Kalian sudah makan siang? Mau makan siang bersama?"

Mia tersenyum meminta maaf. "Kalian berdua saja yang pergi. Aku sudah punya janji."

Alis Ray terangkat. "Dengan siapa?"

Lucy memutar bola matanya mendengar nada suara Ray. Astaga, laki-laki itu bersikap seolah-olah Mia adalah pacarnya.

"Aaron," jawab Mia tenang. "Kau masih ingat Aaron, bukan? Aku sudah berjanji padanya kemarin."

Siapa Aaron? pikir Lucy. Ia memperhatikan mata Ray menyipit mendengar nama itu. Ia penasaran, jadi ia bertanya, "Siapa Aaron?"

"Teman lama," sahut Mia. "Kami bertemu di pesta kemarin."

"Oh," guman Lucy sambil tersenyum. "Tampan?"

Kali ini Mia tertawa. "Sangat," sahutnya.

Mulut Lucy kembali membentuk huruf O dan ia juga ikut tertawa. Satu-satunya yang tidak tertawa di ruangan adalah Ray. Jelas saja.

"Boleh aku ikut makan siang dengan kalian?" goda Lucy.

Mia pura-pura berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Tidak."

"Oh, ayolah."

Mia tertawa. Lalu tepat pada saat itu ponselnya berbunyi. Mia meraih tas dan mengeluarkan ponselnya. Ia tersenyum kecil membaca tulisan di layar sebelum menempelkannya ke telinga. "Hei, Aaron."

Oh, Lucy melihat raut wajah Ray berubah. Sungguh, laki-laki itu sama sekali tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Isi hatinya terlihat jelas di wajahnya.

"Di mana?" tanya Mia di ponsel. "Ya, aku tahu tempat itu. Kita bertemu di sana? Baiklah. Aku pergi ke sana sekarang."

Mia menutup ponsel dan memandang Lucy serta Ray bergantian. "Maaf, Teman-teman, aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa nanti."

Setelah Mia membereskan barang-barangnya dan keluar dari ruangan, meninggalkan Lucy bersama Ray, Lucy mendongak menatap Ray dan berguman, "Sepertinya Mia menyukai laki-laki bernama Aaron itu."

Tentu saja Lucy sebenarnya tidak berpikir begitu. Mia selalu memperlakukan semua orang dengan cara yang sama. Tetapi Lucy hanya ingin menggoda Ray sedikit. Laki-laki itu benar-benar mudah dipancing. Lihat saja, mendengar Lucy berkata bahwa Mia mungkin tertarikcpada Aaron, Ray langsung mendengus dan mengatupkan bibir rapat-rapat.

"Kau akan diam saja?" desak Lucy.

Ray menyipitkan mata, lalu menatap Lucy. "Tentu saja tidak."

Oh, Lucy suka melihat sikap tidak wajar pada laki-laki yang sedang jatuh cinta. Kadang-kadang mereka bisa sangat bodoh. Lucy tersenyum geli melihat Ray berderap keluar dari ruang kelas dengan langkah kesal.

Kasihan Ray, pikir Lucy sambil mendesah. Sepertinya ia benar-benar menyukai Mia. Tapi ia pasti akan patah hati. Lucy yakin itu.

*****

Alex merasa frustasi sepanjang hari ini. Tidak ada yang bisa memperbaiki suasana hatinya yang buruk. Semua terlihat salah di matanya. Semuanya terasa salah baginya. Tidak ada satu hal pun yang membuatnya senang. Udara Desember yang dingin membuatnya marah, suara orang-orang yang mengobrol di dekatnya membuat kepalanya seolah-olah dihantam palu, alunan musik di studio ayahnya yang biasanya selalu bisa menenangkan dirinya hari ini malah terdengar sumbang, jelek, dan membuatnya semakin jengkel. Pokoknya, hari ini Alex terlihat begitu menakutkan dan berkali-kali membentak siapa pun yang kebetulan ada di dekatnya sampai orang-orang menjauhinya seperti wabah penyakit. Tidak ada yang berani mendekatinya. Kecuali ayahnya.

"Sebelum kau membuat semua stafku beramai-ramai mengundurkan diri, sebaiknya ceritakan padaku apa yang membuatmu berubah menjadi Mr. Hyde hari ini," kata ayahnya sambil menatap Alex dengan tajam. Suaranya terdengar tegas dan agak kesal, tetapi juga geli.

Alex duduk bersandar di sofa di kantor ayahnya yang luas. Alisnya masih berkerut menakutkan dan raut wajahnya masih segelap langit di saat badai. Ia menatap ayahnya yang duduk di belakang meja kerja dengan kesal. "Staf-staf Dad tidak ada yang becus. Dan pemain-pemain biola itu tidak pernah menganggap pertunjukan ini serius. Memangnya mereka kira ini pertunjukan Natal di sekolah dasar?" Ia mendengus keras. "Demi Tuhan, dengan permainan seperti itu aku tidak yakin mereka pantas tampil dalam pertunjukan Natal di taman kanak-kanak sekalipun!"

Ayahnya tidak berkata apa-apa sementara Alex melampiaskan rasa frustasinya. Setelah omelan itu terhenti dan Alex menyandarkan kepala ke sandaran sofa sambil memejamkan mata, ayahnya bertanya pelan, "Kau mau memberitahuku apa yang mengganggu pikiranmu?"

"Tidak."

"Kau mau memberitahu ibumu?"

"Tidak."

"Kau mau memberitahu Ray?"

"Tidak!" Alex membuka mata dan menatap ayahnya dengan kesal. "Apa maksud Dad dengan pertanyaan-pertanyaan konyol seperti itu?"

Ayahnya mendesah keras. "Sikapmu seperti orang yang belum nengonsumsi kafein hari ini."

"Aku sudah minum kopi. Dan asal Dad tahu, kopi di sini rasanya mengerikan," gerutu Alex sambil memejamkan mata dan menyandarkan kepala kembali ke sandaran sofa.

"Kenapa kau tidak minum kopimu sendiri di rumah seperti yang biasa kaulakukan?" tanya ayahnya.

"Sudah. Dan rasanya juga sama mengerikannya."

Rasanya tidak sama seperti kopi buatan gadis itu. Alex memberengut keras ketika gagasan itu melintas dalam benaknya.

Ayahnya menggeleng-geleng. "Kalau kau tidak mau membicarakan apa yang membuatmu uring-uringan seperti ini, sebaiknya kau pulang dan tenangkan dirimu. Kau boleh datang lagi besok setelah kau mendinginkan kepalamu.

"Bagus! pikir Alex muram. Sekarang Ayahnya juga tidak menginginkannya. "Baiklah. Aku pergi," desis Alex dengan rahang mengertak. Ia bangkit, meraih jaketnya dengan kasar dari gantungan dan tidak lupa membanting pintu dalam perjalanan ke luar.

Apartemennya terasa aneh ketika ia pulang ke rumah malam itu. Aneh karena Alex tidak pernah menduga apartemennya akan terasa sesepi itu. Ketika ia masuk ke apartemennya dan menyalakan lampu, ia memandang ke sekeliling apartemennya dan mendesah. Kenapa apartemennya terasa begitu... kosong?

Tadinya ia berharap-walaupun ia tahu kemungkinan harapannya terkabul sangat, sangat, sangat tipis, dan bisa dibilang hampir tidak ada, tetapi ia tetap berharap-ada seseorang yang menunggunya di sana ketika ia pulang ke rumah. Ia berharap mendengar suara gadis itu berseru, "Alex, kaukah itu?" dari dapur ketika ia membuka pintu. Ia berharap mencium aroma makanan. Ia berharap... Ia berharap...Ia berharap melihat Mia Clark di apartemennya ketika pulang.

Oh, terkutuklah dirinya!Ia sudah hidup selama hidup selama ini tanpa gadis itu. Kenapa tiba-tiba ia membutuhkan kehadiran gadis itu sekarang? Alex menggeleng-gelengkan kepala untuk menjernihkan kepalanya. Ini tidak masuk akal. Ia bersikap tidak masuk akal. Ia memutuskan untuk tidur lebih awal dan berharap besok bisa kembali seperti sediakala.

Tetapi tidak, harapannya tidak terkabul. Keesokan harinya suasana hatinya masih tetap berantakan. Begitu pula keesokan harinya. Dan keesokan harinya. Dan keesokan harinya lagi. Alex tetap merasa seperti di neraka.

Setidaknya ia berusaha mengendalikan emosinya ketika bekerja. Ia berusaha keras tidak membentak setiap orang yang lewat di hadapannya. Ia berusaha menahan diri sepanjang hari dan perasaannya sama sekali tidak membaik ketika ia pulang ke apartemennya setiap malam. Malah ia merasa dirinya semakin terpuruk.

Apa yang terjadi padanya?

"Apa yang terjadi padaku?" guman Alex sambil menyesap dry mertini-nya perlahan.

"Kau, temanku yang baik, sedang kacau," sahut Karl Jones, yang duduk di sampingnya di bar. "Meskipun aku tidak tahu apa yang buatmu kacau karena kau tidak mau mengatakannya kepadaku."

Setelah lima hari pulang ke apartemennya setiap malam dalam keadaan frustasi dan emosi berantakan, Alex memutuskan menelpon Karl dan memaksa teman sekaligus manajernya itu menemaninya minum-minum di luar. Jadi disinilah mereka, duduk bersebelahan di bar bernuansa Manhattan tahun 1950-an yang tidak terlalu ramai di Soho.

Alex mendesah panjang, lalu mengernyit. "Dia tidak mau mengangkat teleponku."

"Siapa?"

"Dia."

"Dia siapa?"

"Clark."

Karl menatap Alex dengan alis terangkat heran. "Jiwa dan ragamu berubah mengenaskan seperti ini gara-gara Mia tidak menjawab teleponmu?" tanyanya dengan nada tidak percaya.

"Tentu saja tidak!" tukas Alex sambil menggeleng keras. "Maksudku, itu salah satu penyebab... Tidak, bukan. Maksudku... Aku... Oh, persetan!" Alex meneguk martini-nya dan mengusap wajah dengan kesal.

"Dia tidak mau mengangkat teleponmu," guman Karl sambil memutar-mutar gelasnya dengan pelan. "Jadi kalian bertengkar?"

Alex tidak menjawab.

"Mia pasti sangat marah padamu kalau dia sampai mengabaikanmu seperti ini."

Alex hanya memberengut.

"Kau sudah mencoba meminta maaf padanya?"

Alex melotot kesal ke arah manajernya. "Menurutmu bagaimana aku bisa melakukannya kalau dia tidak mau menjawab teleponku?"

"Ah, benar juga. Maaf," guman Karl sambil mengangguk-angguk. Lalu ia menatap Karl dengan raut wajah tersinggung. "Tidak perlu emosi, Alex. Aku hanya mencoba membantu."

Alex mendengus.

"Kau sudah mencoba menemuinya di studio tarinya?"

"Sudah. Tapi wanita keras kepala di meja resepsionis selalu berkata Clark tidak masuk hari ini atau Clark baru saja pergi," gerutu Alex jengkel. "Aku yakin kucing tua itu berbohong."

"Apakah kau sudah mencoba pergi ke apartemennya?"

"Sudah. Tapi tidak ada yang menjawab. Entah dia tidak ada di apartemennya atau tidak mau membuka pintu."

"Wah, sepertinya dia benar-benar marah padamu, Teman."

Alex menatap Karl dengan kesal. "Well, terima kasih karena sudahcmenyadarkanku akan kenyataan itu," katanya sinis.

"Hentikan sikap sinismu itu, kalau tidak aku tidak akan membantumu," kata Karl.

"Aku tidak ingat pernah meminta bantuan padamu.""Oh, ya? Jadi kau tiba-tiba mengajakku ke sini bukan untuk meminta bantuan?" pancing Karl. "Kalau begitu, apakah sebaiknya aku membiarkanmu tenggelam dalam penderitaanmu sendiri?"

"Hei, guys. Maaf, aku terlambat.

"Alex, yang sudah membuka mulut hendak membalas kata-kata temannya, menutup mulutnya kembali ketika Ray mendadak muncul di antara mereka. Ray mengambil tempat duduk di ssmping Alex dan memesan gin dan tonic kepada bartender.

"Jadi apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Ray sambil menoleh menatap mereka berdua.

"Tentang Alex yang tidak mau mengaku bahwa dia membutuhkan bantuanku," sahut Karl ringan.

Ray tersenyum lebar dan menatap kakaknya. "Bagaimana kabarmu, Alex? Kau sudah merasa lebih baik?"

Karl mendengus. "Lebih baik? Dia masih senewen seperti beruang yang belum menemukan pasangan di musim kawin."

"Beruang di musim kawin?" Ray tertawa terbahak-bahak sementara Alex berharap bisa mencekik manajernya yang banyak mulut.

"Sebenarnya dia sedang bertengkar dengan Mia," lanjut Karl.

Desakan yang dirasakan Alex untuk meninju hidung manajernya pun semakin besar. Demi Tuhan, tidak bisakah Karl menutul mulutnya barang sebentar?

"Kau bertengkar dengan Mia?" tanya Ray kepadanya. "Astaga, Alex, apa lagi yang kau lakukan? Walaupun suasana hatimu sedang buruk, jangan lampiaskan padanya. Dia tidak tahu apa-apa."

Alex mendengus dan ingin berkata bahwa Ray-lah yang tidak tahu apa-apa. Tetapi ia diam saja dan membiarkan Ray menarik kesimpulan sesuka hati. Bagaimanapun, Alex tidak bisa memberitahu adiknya bahwa suasana hatinya yang buruk ini ada hubungannya dengan Mia Clark.

"Kau bertemu dengan Mia hari ini?" sela Karl. "Apakah dia mengadu padamu bahwa Alex membuatmu kesal?"

"Aku bertemu dengannya hari ini," kata Ray. "Tidak, dia tidak terlihat kesal. Dia malah terlihat gembira."

Kepala Alex berputar cepat ke arah Ray. "Gembira?" tanyanya heran.

Ray mendesah. "Kurasa itu gara-gara Aaron Rogers."

Kening Alex berkerut. Aaron Rogers? Nama itu kedengarannya tidak asing.

"Ya," kata Ray berapi-api. "Kau ingat Aaron Rogers, bukan, Alex? Laki-laki yang berdansa dengan Mia di pesta Dee waktu itu. Teman lamanya."

Oh, laki-laki itu.

"Mia sering menghabiskan waktu bersama laki-laki itu akhir-akhir ini."

Kerutan di kening Alex bertambah dalam.

"Yang kutahu, Mia sering mengunjungi tempat latihan kelompok tari Dee Black," lanjut Ray sambil mendesah berat. "Tentu saja untuk menemui laki-laki itu."

Rahang Alex mengertak tanpa sadar.

"Kurasa Mia tertarik pada Aaron Rogers," Ray melanjutkan ceritanya, "jadi kupikir aku harus melakukan apa yang harus kulakukan. Apa yang seharusnya kulakukan sejak dulu.

Alex mengerjap.

"Apa yang harus kaulakukan?" tanya Karl.

Ray tersenyum lebar menatap kedua orang yang duduk di sampingnya. "Akhirnya aku berhasil menyatakan perasaanku padanya."

Alex tertegun menatap adiknya. Jantungnya seolah-olah berhenti berdebar. Apa katanya tadi? Dia sudah menyatakan perasaannya kepada Clark?

"Wow, Ray. Jadi kau berhasil mendapatkan Mia?" Karl terkekeh. Lalu ia menambahkan dengan nada bergurau, "Aduh, seharusnya aku bergerak lebih cepat. Sayang sekali."

Alex menatap adiknya tanpa mengerjap. Pikirannya mendadak kosong.

"Kuucapkan selamat kepadamu, Ray," kata Karl sambil mengangkat gelasnya untuk bersulang.

Tetapi bukannya ikut mengangkat gelas untuk bersulang, Ray malah terlihat ragu. "Yah... gumannya sementara roba merah terlihat menjalari pipinya. "Sebenarnya... aku belum tahu bagaimana perasaannya padaku."

"Hah? Apa katamu?"

Ray menarik napas dan berkata dengan suara yang lebih jelas, "Aku belum tahuu bagaimana perasaannya padaku."

"Tapi bagaimana mungkin?" tanya Karl bingung.

Kali ini Ray terlihat salah tingkah. "Aku menyatakan perasaanku padanya tadi siang," jelasnya enggan. "Kukatakan padanya bahwa... kau tahu, bahwa aku merasakan sesuatu yang lebih daripada sekedar teman padanya. Dia tidak terlihat terkejut. Dia malah menatap mataku dengan tenang. Dia terlihat begitu tenang sementara aku merasa sangat gugup. Jadi sebelum dia berkata apa-apa, kukatakan padanya bahwa dia tidak perlu menjawab sekarang. Dia boleh berpikir dulu sebelum memberikan jawabannya kepadaku."

Alex mengembuskan napas yang tanpa sadar ditahannya sejak tadi. Lalu ia mendengus keras menanggapi kebodohan adiknya. Setelah mengetahui bahwa Mia belum menjawab pernyataan Ray, ia baru menemukan suaranya kembali. "Setelah itu kau langsung kabur begitu saja?" tebaknya dengan nada bosan.

"Yah, begitulah," guman Ray malu.

Karl tertawa. "Astaga, Ray tingkahmu seperti anak remaja ingusan yang ketakutan," godanya. "Tapi, omong-omong, kapan kau berencana meminta jawabannya? Kau tidak mungkin menunggu selamanya, bukan?"

Ray mengangkat bahu. "Kupikir aku akan meminta jawabannya pada pertunjukan perdana kelompok tari Dee Black Dance Company besok lusa.

Alex tertegun. "Clark akan menghadiri lertunjukan itu?" tanyanya.

"Tentu saja. Bukankah laki-laki bernama Rogers itu salah satu penari utama dalam pertunjukan itu? Sudah pasti Mia akan pergi ke sana untuk mendukungnya," kata Ray masam. "Kau juga sudah menerima undangan dari Dee, bukan, Alex?"

Alex mengangguk dan berpikir. Ia sudah berusaha menghubungi dan menemui Mia Clark tanpa hasil beberapa hari terakhir ini. Gadis itu benar-benar ingin menghindarinya, bukan? Baiklah. Sekarang Alex bisa menemuinya di pertunjukan perdana Dee Black Company. Gadis itu pasti akan datang. Alex akhirnya bisa bertemu dengannya di sana. Dan ketika saat itu tiba, Mia Clark harus mendengarkan penjelasan Alex. Kalau perlu Alex akan mengikatnya untuk mencegahnya melarikan diri.

"Kau juga akan pergi ke sana?" tanya Ray.

Seulas senyum muram menghiasi bibir Alex. "Sepertinya begitu."

"Hei, Alex, besok lusa kita sudah punya janji makan malam dengan produser-produsermu," sela Karl tiba-tiba. "Jangan bilang kau lupa karena aku sudah mengatakannya padamu."

Alex mengerang. "Kita bisa menggeser acara makan malam itu ke hari lain, bukan?"

Karl menggeleng tegas. "Tidak, tidak, tidak. Kau tahu mereka tidak akan suka kalau kau tiba-tiba membatalkan rencana padahal kau sudah menyetujuinya sejak awal."

"Aku tidak bermaksud membatalkannya. Aku hanya ingin mengganti harinya," sergah Alex, walaupun ia tahu Karl benar. Ia tidak bisa membatalkan acara makan malam dengan produser-produser pentingnya. Melihat Karl mendesah dan menggeleng-geleng, Alex mengerang sekali lagi dan menggerutu, "Baiklah, baiklah. Tidak usah bersikap dramatis begitu. Aku akan datang."

Setelah aku menyelesaikan urusanku dengan Clark, tambah Alex dalam hati.

Pokoknya kali ini Mia Clark harus mendengarkan Alex.


Bab 26

"KAU melamun lagi."

Mia mengerjap dan mendongak, menatap Lucy yang duduk di hadapannya. "Maaf, apa katamu tadi?" guman Mia.

Lucy mendesah dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Nah, aku benar. Kau tidak nendengar sepatah kata pun yang kuucapkan sejak tadi."

Mia tidak membantah. Ia hanya tersenyum meminta maaf dan menyesap tehnya perlahan-lahan.

Malam ini adalah malam pertunjukan perdana Dee Black Dance Company di New York dan walaupun sebenarnya Mia tidak terlalu antusias menyaksikan pertunjukan ini-karena tidak ingin mengingat kenyataan bahwa ia tidak bisa mewujudkan mimpinya menari di atas panggung-ia sudah berjanji akan menemani Lucy. Ia juga sudah berjanji kepada Aaron bahwa ia akan datang untuk memberikan dukungan. Jadi di sinilah ia, duduk di salah satu kafe di lobi gedung pertunjukan di Brodway bersama Lucy, menunggu waktu pertunjukan dimulai dan menunggu pintu teater dibuka.

"Apa yang sedang kaupikirkan, Mia?"

Mia kembali menatap temannya. "Apa maksudmu?"

Lucy mencondongkan tubuh ke depan dan menatap Mia lurus-lurus. "Kau terlihat murung akhir-akhir ini. Kau berubah pendiam. Kau juga sering melamun. Kau selalu terlihat pucat dan kau..." Lucy menghentikan kata-katanya dan menarik napas. "Dengar, aku tidak akan mendesakmu memberitahuku apa yang mengganggu pikiranmu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kalau kau butuh seseorang untuk diajak bicara, aku ada di sini. Aku mungkin tidak bisa banyak membantu, tapi aku bisa mendengarkan."

Mia menelan ludah dan berusaha menarik napas dengan susah payah. Dadanya terasa sakit. Sebelah tangannya terangkat ke dada sementara ia memaksakan seulas senyum kepada Lucy. "Terima kasih, Lucy, tapi aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Lucy balas tersenyum lebar dan mengalihkan pembicaraan. "Jadi bagaimana hubunganmu dengan penari utama Dee Black Dance Company?"

Mia mengembuskan napas lega karena Lucy tidak mendesaknya. "Maksudmu Aaron?" guman Mia. "Kami hanya berteman."

"Mengingat kau sering menghabiskan waktumu bersama-samanya akhir-akhir ini, aku jadi bertanya-tanya apakah kalian memang hanya berteman," goda Lucy.

"Kami hanya berteman," tegas Mia sekali lagi sambil tertawa kecil. "Aaron akan kembali ke Miami setelah pertunjukan mereka di sini selesai, jadi kupikir tidak ada salahnya aku menemaninya selama dia di sini. Lagi pula, sudah lama kami tidak bertemu."

Ya, itu alasannya ia sering menghabiskan sebagian besar waktunya bersama Aaron dan teman-teman lamanya di studio latihan kelompok tari Dee Black di Brodway. Setidaknya, itulah alasan yang dikatakannya pada diri sendiri. Bukan karena ia kesepian. Bukan karena ia merasa harus mengisi kekosongan. Bukan karena ia ingin menyingkirkan Alex Hirano dari pikirannya.

Kalau begitu, kenapa kemarin malam kau mendapati dirimu berdiri di depan gedung apartemennya? tanyanya pada diri sendiri.

Mia menggeleng keras mengenyahkan suara kecil menjengkelkan dalam benaknya itu. Kemarin malam, ketika ia hendak pulang ke apartemennya srndiri dari studio latihan Dee Black, entah bagaimana ia mendapati dirinya menghentikan mobil Beetle kuningnya di depan gedung apartemen Alex di Riverside Drive. Mia sungguh tidak tahu apa yang membuatnya mengarahkan mobilnya ke apartemen Alex. Ia tidak tahu apa yang dipikirkannya. Merasa konyol dan yakin bahwa ia mulai kehilangan kewarasannya, Mia pun bergegas pergi tanpa melakukan apa-apa.

"Lihat? Kau melamun lagi!"

"Aku tidak melamun," bantah Mia, walaupun tahu ia memang melamun tadi.

Lucy memandang ke sekelilingnya. "Omong-omong, aku mau ke toilet. Kau mau ikut?"

Mia menggeleng. "Aku menunggumu di sini saja."

Lucy tersenyum. "Silahkan lanjutkan lamunanmu sampai aku kembali."

Sepeninggal Lucy, Mia mendesah dalam hati dan duduk termenung. Ia baru hendak tenggelam kembali dalam lamunannya ketika ponselnya berbunyi. Mia mengeluarkan ponsel dari tas dan tertegun menatap nama yang muncul di layar.

Alex Hirano.

Mia meletakkan ponselnya di atas meja, membiarkannya terus berbunyi dan bergetar. Pada akhirnya deringan itu akan berhenti dan Mia akan membiarkannya berhenti berdering dengan sendirinya. Ia tidak akan menjawab telepon itu. Ia tidak ingin menjawabnya.

Sejenak kemudian ponselnya berhenti berdering dan berhenti bergetar. Setelah itu barulah Mia mengembuskan napas yang sejak tadi ditahannya tanpa sadar dan meraih ponselnya.

"Sampai kapan kau akan menghindariku?"

Mia melompat kaget, sama sekali tidak menyangka akan mendengar suara rendah bernada datar yang sering menghantuinya akhir-akhir ini. Ia mendongak dengan cepat dan langsung bertatapan dengan mata hitam gelap milik Alex Hirano.

Lidah Mia terasa kelu. Sejenak pikirannya kosong. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menatap Alex sementara laki-laki itu duduk di hadapannya, di kursi yang tadi ditempati Lucy.

Alex menatap Mia lurus-lurus. "Katakan padaku, sampai kapan kau akan menghindariku?" tanyanya sekali lagi, menyadarkan Mia dari rasa terkejutnya. "Dan jangan coba-coba berkata bahwa kau tidak berniat menjawab teleponku tadi."

Mia menghela napas dalam-dalam dan memalingkan wajah. "Baiklah," gumannya. "Apa yang kauinginkan?"

Alex tidak menjawab. Ia menatap Mia lurus-lurus sebelum akhirnya bertanya pelan, "Kenapa kau menghindariku?"

"Aku hanya menghindari orang yang ingin dihindari."

"Apa?" Kening Alex berkerut. "Kaupikir aku ingin kau menghindariku?"

Mia mengangkat bahu."Kalau aku memang ingin dihindari, menurutmu kenapa aku menelponmu berkali-kali? Menurutmu kenapa aku terus berusaha menemuimu?" balas Alex. Nada frustasi terdengar jelas dalam suaranya.

Hal itu membuat kejengkelan Mia terbit. "Well, aku tidak tahu," tukasnya ketus. "Ketika terakhir kali kita bertemu, kau menyatakan dengan jelas bahwa kau sama sekali kita bertemu, kau menyatakan dengan jelas bahwa kau sama sekali tidak ingin berurusan denganku, Alex."

Alex membuka mulut hendak membantah, tetapi mengurungkan niat dan menutup mulutnya kembali. Raut wajahnys terlihat marah, namun ia berusaha mengendalikan dirinya.Karena Alex tidak berkata apa-apa, Mia mendesah keras dan memaksa diri menoleh menatap laki-laki itu. "Alex, sebenarnya apa yang kauinginkan?" tanyanya datar.

"Aku..." Alex menghela napas dan mengembuskannya dengan pelan. "Aku minta maaf."

Mata Mia melebar namun ia tidak berkomentar."Dengar, Clark," kata Alex sambil mencondongkan tubuh ke depan dan menatap Mia. "Aku tidak ingat lagi apa tepatnya yangckukatakan padamu waktu itu, tapi aku sangat yakin aku tidak bermaksud menyuruhmucmenghindariku. Aku tahu apa yang kukatakan terdengar salah, jadi aku minta maaf."

Mia menatap mata Alex lurus-lurus, mencoba menilai kesungguhannya. Oh, ya, Mia bisa melihat kesungguhan dalam mata hitam itu. Ia juga melihat kegugupan di sana. Hal itu membuat Mia ingin tersenyum. Nah, siapa yang menyangka Alex Hirano bisa merasa gugup di hadapan Mia Clark?

"Kau berteriak-teriak kepadaku waktu itu," kata Mia , masih dengan nada datar dan dingin yang sama.

Alex mengernyit. "Aku juga minta maaf soal itu," gumannya.Mia ingin tetap marah pada Alex, tetapi ia tahu ia tidak akan bisa melakukannya. Bahkan ketika ia pertama kali mendongak dan melihat Alex berdiri di hadapannya, ia tahu ia ridak lagi marah pada laki-laki itu.

Seolah-olah bisa membaca pikiran Mia dan tahu bahwa ia sudah dimaafkan, Alex tersenyum dan berkata, "Kau tahu? Kalau kau tidak sibuk menghindariku selama ini, kau pasti sudah mendengarcpermintaan maafku jauh lebih awal."

Mia mendengus dan memutar bola matanya, namun ia tidak bisa menyembunyikan senyum yang mulai menghiasi bibirnya.

"Jadi bagaimana kabarmu?"

Mia menyadari nada suara Alex yang melembut, dan kenyataan kecil itu membuat jantungnya berdebar-debar. Oh, ini konyol. Kenapa ia selalu berubah konyol seperti ini di dekat Alex Hirano? Mia membasahi bibirnya, berdeham dan mengangguk kecil. "Baik-baik saja," sahutnya. Ia melirik Alex sekilas dan bertanya, "Bagaimana tanganmu?"

Alex mengangkat tangan kirinya yang masih diperban. "Kurasa sudah tidak ada masalah," katanya. "Aku sudah bisa mengemudi. Dan sebentar lagi aku pasti bisa bermain piano lagi."

"Baguslah kalau begitu."

Alex menatap Mia dengan seksama. "Kau sungguh baik-baik saja? Tidak ada serangan lagi setelah waktu itu?"

Mia ragu sejenak. Ia memang tidak mengalami serangan seperti waktu itu lagi, namun akhir-akhir ini dadanya selalu terasa tidak nyaman. Ia juga merasa dirinya lebih cepat lelah daripada biasanya. Tetapi Alex tidak perlu tahu semua itu. Setelah melihat reaksi laki-laki itu ketika mengetahui kondisi jantungnya, Mia tidak ingin mengambil risiko menambahkan hal-hal yang bahkan belum diketahui dokternya. Tidak sekarang, ketika sepertinya ia dan Alex baru saja berbaikan.

Ia mendesah dalam hati. Ia harus melaporkan kondisinya kepada dokternya. Walaupun ia tidak tahu apakah hal itu ada gunanya.

"Clark?"

Mia mengerjap dan menatap Alex. "Tidak. Tidak ada serangan lagi," sahutnya ketika teringat pada pertanyaan laki-laki itu.

"Kau bisa tidur nyenyak?"

Seulas senyum muram tersungging di bibir Mia. Tetapi hanya sebentar. "Tidak juga," sahutnya, memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Well, kau tidak sendirian dalam hal itu," guman Alex lirih.

Ketika Mia hendak bertanya apa maksud Alex, ia disela oleh Lucy yang sudah kembali ke meja mereka. Ia mendongak menatap Lucy yang menatap Alex sambil tersenyum lebar.

"Hai," sapa Lucy, mengulurkan tangan kepada Alex. "Aku Lucy Smith, teman Mia. Kau pasti Alex, kakak Ray."

Alex berdiri dan menjabat tangan Lucy. "Alex Hirano. Senang berkenalan denganmu," balas Alex sambil tersenyum. "Dan, ya, harus kuakui bahwa Ray adikku."

"Aku sudah mendengar banyak cerita tentang dirimu," kata Lucy. Ia duduk di kursi lain di samping Mia, tidak menyadari Mia yang melemparkan tatapan tajam penuh peringatan ke arahnya.

Alex juga duduk kembali ke kursinya. "Oh, ya? Cerita seperti apa?"

"Kenapa kau lama sekali di toilet?" Mia bertanya kepada Lucy. Dari sudut matanya ia melihat Alex tersenyum geli dan yakin laki-laki itu tahu bahwa ia berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Lama?" ulang Lucy sambil mengangkat alis menatap Mia. "Kurasa aku tidak terlalu lama."

Saat itu ponsel Alex berbunyi. "Ya, Karl?" kata Alex setelah menempelkan ponsel ke telinga. Ia diam sejenak, mendengarkan, lalu mendesah. "Aku tidak lupa. Aku akan ke sana sekarang juga. Dan berhentilah bersikap dramatis."

Mia menoleh ketika Alex menutup ponsel dan memasukkannya kembali ke saku. "Ada apa dengan Karl?" tanyanya.

Alex meringis. "Dia hanya ingin mengingatkanku bahwa kami punya janji makan malam dengan produser-produserku," gerutunya. "Kurasa sebaiknya aku pergi sekarang."

Mia mengerjap heran. "Sekarang?" tanyanya. "Bukankah kau datang untuk menonton pertunjukan?"

Alex melemparkan seulas senyum kecil ke arahnya. "Tidak," sahutnya ringan.

"Lalu?"

Alex mengangkat bahu. "Kau menghindariku. Kau tidak mau menjawab teleponku. Jadi kupikir kau tidak mungkin bisa menghindar kalau aku datang menemuimu di sini." Ia berdiri dari kursi dan menjabat tangan Lucy. "Sekali lagi, senang berkenalan denganmu, Lucy. Maaf, aku harus pergi sekarang." Setelah itu ia menatap Mia dan tersenyum. "Pastikan kau menjawab teleponmu mulai sekarang," katanya sebelum berbalik dan berjalan pergi.

Mia melongo. Apa katanya tadi? Alex datang ke sini hanya untuk menemuinya?

"Astaga, dia menyukaimu."

"Apa?" Mia menyentakkan kepala ke arah temannya.

Lucy mendesah menatap punggung Alex yang menjauh, lalu menoleh ke arah Mia. "Dia menyukaimu Mia."

Kata-kata Lucy menimbulkan sebersit perasaan aneh dalam diri Mia. Perasaan hangat dan menyenangkan yang tanpa disadarinya membuat bibirnya melengkung membentuk senyum kecil. Walaupun begitu, ia menggeleng pelan untuk membantah pernyataan Lucy.

"Kulihat dia berhasil membuatmu tersenyum kembali."

Mia menatap Lucy tidak mengerti. "Apa?"

"Akhir-akhir ini kau selalu murung. Ini pertama kalinya aku melihatmu tersenyum. Benar-benar tersenyum, bukan senyum sopan atau senyum terpaksa."

Mia menyesap tehnya tanpa berkata apa-apa.

Lucy mengerjap, menyadari sesuatu. "Oh, kau juga..."

"Tidak," sela Mia tajam dan menoleh menatap temannya dengan panik. Melihat mata Lucy yang melebar kaget, Mia menelan ludah dan berkata dengan nada lebih pelan, "Tidak, tidak seperti itu."

Ia tahu apa yang ingin dikatakan Lucy, tetapi ia tidak ingin mendengarnya. Ia tidak mau mengakuinya, tetapi jauh di lubuk hatinya ia tahu ia merasakan hal itu. Tetapi itu perasaan terlarang baginya. Ia tidak boleh merasakannya. Tidak boleh memikirkannya. Karena itu Lucy tidak boleh mengatakannya. Apabila Lucy mengatakannya, segalanya akan terasa nyata dan Mia terpaksa menghadapinya.

Lebih mudah bersikap seolah-olah perasaan itu tidak nyata. Jadi itulah yang ia lakukan.

Lucy menatap Mia dan tersenyum samar. "Benarkah?" Lalu kenapa kau langsung bisa tersenyum dan terlihat lebih gembira setelah bertemu dengannya?"

"Aku... Aku..." Mia tergagap, tidak tahu apa yang harus dikatakannya."Hei, ladies."

Mia dan Lucy serentak menoleh ke arah Ray yang mendadak sudah berdiri di samping meja mereka. "Hai, Ray," sapa Mia sambil tersenyum, lega karena ia tidak perlu mendengar ocehan Lucy lebih jauh lagi.

"Boleh aku duduk?" tanya Ray agak ragu, memandang Mia dan Lucy bergantian.

"Tentu saja," sahut Lucy. "Kau datang sendiri?"

"Ya, begitulah." Ray terlihat agak canggung dan Mia tahu Ray bersikap begitu gara-gara dirinya. Ia sama sekali tidak bertemu dengan Ray setelah Ray tiba-tiba menyatakan perasaannya dan pergi begitu saja. Tidak heran sekarang Ray terlihat agak gugup menghadapinya.

Mia mendesah dalam hati. Ia tidak tahu kenapa Ray tiba-tiba menyatakan perasaannya Yah, sebenarnya ia tahu, tetapi ia sudah berusaha mencegah Ray mengutarakannya. Ia tahu Ray memiliki perasaan khusus kepadanya, tetapi ia tidak pernah melakukan sesuatu yang memberi kesan pada Ray bahwa ia menyukai laki-laki itu. Ia memperlakukan Ray seperti teman biasa, seperti ia memperlakukan teman-teman prianya yang lain.

Menurut Mia pernyataan perasaan adalah sesuatu yang sangat merepotkan, karena apabila sedrorang nenyatakan perasaan kepadanya, ia terpaksa memikirkan cara yang halus namun tegas untuk menolak. Oh ya, ia akan menolak. Saat ini sudah cukup banyak masalah yang harus dipikirkannya tanpa perlu ditambah masalah hubungan dan cinta. Salah satu alasan paling utama tentu saja adalah kondisinya. Coba pikir, apakah dengan kondisi kesehatannya yang sekarang ia masih sanggup memikirkan cinta? Yang benar saja.

"Kalau tidak salah tadi aku melihat Alex berjalan ke pintu keluar," kata Ray dengan nada bertanya.

"Ya, tadi kakakmu sempat mampir," Lucy yang menjawab. "Oh? Kukira dia tidak akan datang karena katanya punya acara lain."

"Memang. Dia hanya mampir menemui Mia," lagi-lagi Lucy yang menjawab.

Ray menoleh ke arah Mia. "Dia datang untuk menemuimu?"

Mia mengangguk. "Ya."

"Apakah dia menyulitkanmu?"

Mia mengangkat alis ridak mengerti. "Menyulitkanku? Apa maksudmu?"

Ray tersenyum masam. "Akhir-akhir ini suasana hati Alex benar-benar buruk. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi yang pasti dia terlihat kacau, selalu senewen, dan selalu marah-marah," jelasnya. "Karena itu aku bertanya-tanya kenapa dia datang menemuimu. Kuharap dia tidak menyulitkanmu."

"Tidak, dia tidak menyulitkanku," sahut Mia. Ia agak heran mendengar penjelasan Ray karena Alex tidak terlihat marah tadi."

Jadi kenapa Alex datang menemuimu di sini?" tanya Ray.

Mia tersentak. Ia tidak bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Ray. Karena apabila Mia memberitahu Ray bahwa Alex menemuinya untuk meminta maaf, maka Mia juga harus memberitahu Ray bahwa Alex meminta maaf kepadanya karena mereka sempat bertengkar, yang kemudian mengharuskan Mia memberitahu Ray bahwa alasan mereka bertengkar adalah kondisi Mia.

Ia tidak mungkin memberitahu Ray.

"Mia? Kenapa Alex datang menemuimu di sini?" tanya Ray lagi. Nada suaranya tidak mendesak, hanya penasaran.

"Oh, itu..." Mia memutar otak mencari alasan yang masuk akal.

"Ray, kau mau minum apa? Aku sudah menyuruh pelayannya ke sini," sela Lucy tiba-tiba.

Ray menoleh tepat ketika seorang pelayan berjalan menghampiri meja mereka. Setelah pelayan itu mencatat pesanan Ray dan berbalik pergi, Lucy langsung menarik Ray ke dalam pembicaraan lain yang tidak ada hunbungannya dengan Alex. Mia mengembuskan napas lega ketika perhatian Ray teralihkan darinya dan Ray sepertinya sudah melupakan pertanyaannya tadi.

Lucy mencondongkan tubunya sedikit ke arah Mia dan berbisik, "Kau berutang padaku."

Mia tersenyum kecil. "Aku tahu," ia balas berbisik. "Terima kasih."

Saat itu ia mendengar ponselnya berdering. Ia mengeluarkan ponselnya dan membaca nama yang muncul di layar. Alex Hirano. Ia melirik kedua temannya yang sedang sibuk mengobrol sebelum berbalik memunggungi mereka sedikit dan menempelkan ponsel ke telinga. "Halo?" gumannya pelan.

"Clark?" Suara Alex terdengar di ujung sana.

Mia tidak tahu kenapa, tetapi mendengar suara Alex di telepon saja sudah membuat bibirnya melengkung tersenyum. "Ya," sahutnya. "Ada apa?"

"Hanya ingin memastikan kau menjawab teleponku."

Mia mendengus, walaupun biburnya masih tetap tersenyum. Ia hampir yakin Alex Hirano juga sedang tersenyum lebar di ujung sana.

"Jadi... kau akan datang besok pagi?" tanya Alex.

Mia merasa tidak ada gunanya ia berpura-pura tidak mengerti aps yang dimaksud Alex. "Kau masih ingin aku datang ke apartemenmu?" ia balas bertanya.

"Ya."

Mia terdiam sejenak, lalu berkata, "Baiklah."

Ia bisa mendengar nada lega dalam suara Alex ketika laki-laki itu berkata, "Bagus. Karena aku membutuhkan..." jeda sejenak"...kopimu. Aku sangat membutuhkan kopimu."

Mia tertawa kecil. "Kau memang menyedihkan. Apa jadinya kau tanpa aku?" guraunya.

Hening sejenak di ujung sana. Mia bertanya-tanya apakah hubungan telepon mendadak terputus. Ia baru hendak membuka mulut menyebut nama Alex ketika ia mendengar Alex berkata dengan nada serius, "Entahlah. Aku tidak bisa membayangkannya."


Bab 27

DEE BLACK, pendiri Dee Black Dance Company yang merupakan salah satu kelompok tari paling terkenal di seluruh penjuru Amerika Serikat, yakin bahwa pertunjukan yang diselenggarakannya pasti sukses. Dan ia memang benar. Pertunjukan perdananya sukses besar. Tidak ada satu pun kursi kosong di dalam teater. Para penarinya memberikan pertunjukan yang luar biasa. Di akhir pertunjukan semua penonton berdiri dan bertepuk tangan. Ia tidak mungkin mengharapkan hasil yang lebih baik lagi daripada ini. Malam ini sempurna.

Well, mungkin segalanya bisa sedikit lebih sempurna kalau Mia Clark masih menari untuknya.

Dee memberi selamat kepada para penarinya yang kembali ke belakang panggung setelah tirai diturunkan, memeluk mereka satu per satu dan memuji penampilan mereka.

Sampai saat ini, walaupun ia tidak pernah mengatakannya, di dalam hatinya ia tetap merasa bahwa Mia Clark seharusnya masih bergabung dengan kelompok tarinya dan menari untuknya. Bakat alami langka yang dimiliki Mia seharusnya dipertunjukan kepada dunia. Ia sungguh tidak mengerti ketika Mia memutuskan keluar dari kelompok tarinya. Saat itu Mia tidak memberikan alasan yang jelas, hanya berkata bahwa ia harus kembali ke New York untuk menyelesaikan masalah keluarga. Dee sudah melakukan segala cara untuk membujuk gadis itu tetap tinggal, tetapi tidak ada yang bisa mengubah keputusan Mia.

Dee merasa Mia Clark pasti memiliki alasan kuat untuk berhenti walaupun gadis itu tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Tidak apa-apa. Ia menghormati keputusan Mia dan tidak akan mendesak gadis itu bergabung kembali dengan kelompok tarinya. Tetapi ia masih bisa melakukan sesuatu.

Akhir-akhir ini Mia sering mampir ke studio latihan Dee untuk mengobrol dengan Dee dan teman-teman lamanya. Dan kadang-kadang ia juga ikut serta dalam latihan mereka. Ketika Dee melihat Mia menari, Dee bisa melihat bahwa kemampuan gadis itu belum hilang. Mia Clark masih bisa menghipnotis semua orang dengan tariannya.

Dee Black bukan wanita yang bisa membiarkan bakat seperti itu disia-siakan. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Jadi ia pun melakukan sesuatu. Ya, ia sudah menyiapkan segalanya. Yang harus dilakukannya sekarang adalah memberitahu Mia. Ia yakin Mia Clark pasti gembira mendengar apa yang akan dikatakannya. Apabila Mia Clark menganggap dirinya penari-dan demi Tuhan, Mia memang penari!- ia pasti akan menyetujui tawaran Dee.

Seperti yang sudah diduganya, Dee menemukan Mia di kamar ganti para penari, sedang memberi selamat kepada teman-temannya dan memeluk Aaron Rogers erat-erat. Seulas senyum lebar terlihat di wajahnya."Terima kasih kau datang, Mia. Kuharap kau menikmati pertunjukanya," kata Dee ketika ia sudah berdiri di dekat Mia.

Mia menoleh dan menatapnya dengan wajah berseri-seri. "Oh, Dee aku harus mengucapkan selamat kepadamu. Pertunjukannya luar biasa," pujinya. "Tapi kau memang koregrafi andal dan kau punya penari-penari yang hebat, jadi tidak heran pertunjukan ini sukses besar."

Dee menarik lengan Mia dan berkata, "Ikut aku sebentar."

Mia menatapnya dengan heran, tetapi menurut dan mengikuti Dee menjauh dari para penari yang sedang merayakan keberhasilan mereka. Dee membawanya ke sudut ruangan sehingga pembicaraan mereka tidak akan terganggu.

"Mia," kata Dee sambil menatap Mia dengan sungguh-sungguh, "bagaimana perasaanmu ketika melihat mereka menari di atas panggung tadi?"

Mia agak kaget mendengar pertanyaan itu. Ia menoleh menatap teman-temanya, lalu kembali menatap Dee sambil tersenyum ragu. "Apa maksudmu?"

"Apakah kau tidak memiliki keinginan untuk menari di atas panggung seperti mereka?" desak Dee.

Mia terdiam dan Dee hampir yakin Mia bahkan menahan napas sejenak. Mia mengigit bibirnya sejenak sebelum berkata, "Impian setiap penari adalah menari di atas panggung, Dee. Kau tahu itu."

"Dan kau sendiri?"

"Aku juga penari. Jadi aku juga memiliki impian itu."

Dee tidak tahu kenapa suara Mia terdengar sedih ketika mengatakan hal itu. Malah sebersit kesedihan juga berkelebat di wajahnya. Apakah ia salah lihat? Dee mengabaikan kecurigaannya dan berkata, "Kalau begitu kau tidak akan menolak apabila aku menawarkan kesempatan untuk tampil di atas panggung, bukan?"

"Apa?" Mia menatapnya tidak mengerti.Dee tersenyum lebar dan menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Aku ingin kau menari untukku-sebagai bintang tamu, tentu saja-dalam pertunjukan khusus yang akan kuselenggarakan di akhir pertunjukan ini."

"Apa?" Suara Mia meninggi dan matanya melebar kaget.

"Kau penari yang sangat berbakat, Mia," kata Dee sambil memegang kedua bahu Mia. "Aku ingin kau menunjukan kemampuanmu kepada semua orang. Aku tahu kau punya alasan tersendiri sehingga kau tidak kau tidak bergabung dengan kelompok tari mana pun dan aku tidak akan nemaksamu melakukan hal yang tidak ingin kaulakukan."

Mia masih tidak bisa berkata apa-apa, hanya menatap Dee dengan kaget.

"Aku berencana menyelenggarakan satu pertunjukan khusus di akhir kunjunganku di New York, sebelum kami kembali ke Miami, untuk menegaskan kemampuan dan kualitas para penariku sekali lagi kepada dunia. Hanya satu kali, satu pertunjukan. Dan aku ingin kau menjadi penari utamanya. Bagaimana menurutmu?"


Bab 28

MIA mengunci pintu mobilnya dan melilitkan syal merah di sekeliling lehernya rapat-rapat. Sebenarnya jarak dari tempat mobilnyacdiparkir dan pintu depan gedung apartemen Alex tidak terlalu jauh, tetapi suhu udara pagi ini turun drastis dan mengharuskannya mengenakan syal. Mia mendapati dirinya masih mengigil walaupun sudah mengenakan pakaian tebal. Ia jadi bertanya-tanya apakah New York akan dihadiahi salju tepat di Hari Natal.

"Mia! Mia Clark!"

Mia menoleh ke arah suara penuh semangat itu dan melihat Karl Jones sedang turun dari mobilnya di seberang jalan. Karl mengunci pintu mobilnya dan berlari-lari kecil ke arah Mia.

"Pagi, Karl. Apa kabar?" sapa Mia dari balik syal tebalnya.

Karl berhenti dihadapan Mia dan tersenyum lebar, menunjukan barisan giginya yang putih cemerlang. "Kau sudah berbaikan dengan Alex, bukan?" tanyanya gembira.

Mia mendongak menatap wajah Karl dengan tatapan bertanya. Apakah Alex memberitahu Karl tentang pertengkaran mereka?

Seolah-olah bisa membaca pikiran Mia, Karl berkata, "Aku tidak tahu apa yang dilakukannya sampai membuatmu marah dan menghindarinya, tapi aku sangat, sangat senang kau bersedia memaafkan temanku yang merepotkan itu. Kau sudah menyelamatkan dunia, Mia Clark. Sadarilah itu."

Alis Mia berkerut tidak mengerti. "Aku tidak mengerti apa maksudmu. Sungguh."

Karl menyelipkan lengannya ke lekukan siku Mia dan menariknya berjalan ke arah gedung apartemen Alex. "Apakah kau tahu dia bersikap seperti orang brengsek selama kau menghindarinya?" Melihat Mia yang menatapnya dengan mata disipitkan, Karl melanjutkan, "Sungguh! Dia seperti orang tidak waras yang pemarah. Kau boleh bertanya pada Ray atau ayahnya kalau tidak percaya. Dia benar-benar menjadi mimpi buruk semua orang. Tapi setelah dia menemuimu kemarin malam, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Jadi, Mia, tolong jangan menghindarinya lagi."

Mereka tiba di pintu depan gedung. Karl baru hendak menekan bel apartemen Alex ketika Mia menghentikannya dan mengeluarkan kunci dari tas. Alis Karl terangkat heran melihat Mia membuka pintu dengan kunci itu.

"Dia memberimu kunci apartemennya?" tanya Karl dengan nada tidak percaya dan melangkah masuk mengikuti Mia.

Mia mengangguk, membiarkan pintu menutup dan terkunci dengan sendirinya di belakangnya. "Karena aku datang ke sini setiap hari. Dia tidak mau repot-repot membukakan pintu setiap kali aku datang," jelas Mia.

Ketika sudah berada dalam lift yang membawa mereka ke lantai empat, Karl berbalik dan menatap Mia dengan heran. "Astaga, kau membuatnya bertekuk lutut, bukan?"

"Apa lagi yang kaubicarakan?" gerutu Mia pelan, mengabaikan kata-kata Karl. "Aku tidak membuat siapa pun bertekuk lutut."

Kali ini seulas senyum lebar tersungging di bibir Karl. "Ah, tapi aku tahu benar kau membuat Ray bertekut lutut. Dan kurasa kau juga sudah tahu itu."

Mia mendesah pelan. "Ray dan aku hanya berteman."

"Aduh," kata Karl pura-pura kecewa. "Kau menolak Ray rupanya. Dia menyatakan perasaannya padamu dan kau menolaknya. Kasihan dia. Kuharap keadaannya baik-baik saja."

Mia melemparkan tatapan tajam kepada Karl. "Ray baik-baik saja, jadi kau tidak perlu bersikap dramatis begitu," sahutnya. Lalu ia menggerutu pelan, "Aku tidak menyangka laki-laki ternyata suka bergosip."

"Kami tidak bergosip. Kami berdiskusi," koreksi Karl sambil mengedipkan mata.

Lift yang mereka tumpangi berdenting sekali sebelum pintu terbuka dan mereka melangkah keluar.

"Aku yakin kau juga berhasil membuat Alex bertekuk lutut, kau tahu?" lanjut Karl sambil berpikir-pikir sendiri.

"Walaupun harus kuakui, aku sulit membayangkan Alex bertekuk lutut di hadapan wanita."

Mia berhenti di depan pintu apartemen Alex, berbalik menghadap Karl dan menjentikan jarinya tepat di depan wajah Karl. "Hentikan imajinasimu yang berlebihan itu dan berhentilah mengoceh yang tidak-tidak."

Karl menunduk menatap Mia sejenak, masih terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu ia mulai tersenyum dan berkata, "Bagaimana kalau kita memastikan apakah dugasnku benar atau tidak?" Ia mengangkat sebelah tangannya dan menekan bel pintu.

Mia mengacungkan kunci di tangannya. "Karl, sudah kubilang aku punya kuncinya. Kau tidak perlu menekan bel pintu."

Masih tersenyum penuh arti, Karl berkata, "Well, kita harus membuktikan dugaanku, bukan, Miss Clark?"

"Apa...?"

Sebelum Mia sempat melanjutkan kata-katanya, Karl menarik Mia ke arahnya dengan satu sentakan keras dan memeluk Mia erat-erat, membuat Mia hampir tidak bisa bernapas.

Tepat pada saat itu di samping mereka terbuka dan Mia-yang wajahnya kebetulan menghadap ke arah pintu sementara sebelah pipinya menempel di dada Karl-melihat Alex berdiri di sana menatap mereka. Mia terkesiap keras dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Karl, tetapi laki-laki itu mempererat pelukannya, mencegah Mia menarim diri. Sedetik kemudian...

"Apa-apaan...? KARL JONES! KAUPIKIR SEDANG APA?"

Mia mengernyit mendengar suara Alex yang menggelegar. Lalu ia mendengar Karl terkekeh di sisi wajahnya. "Kau lihat? Kubilang juga apa?" bisik Karl di telinganya.

Mendadak Mia merasa dirinya ditarik dengan paksa dari pelukan Karl. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, ia sudah bediri di samping Alex Hirano yang mencengkram lengannya dan menatap Karl dengan tatapan membunuh.

Karl tersenyum polos dan mrngangkat kedua tangan tanda menyerah. "Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya bermaksud menyapa Mia."

Alex menyipitkan mata menatap Karl, lalu menoleh ke arah Mia dan bertanya, "Kau tidak apa-apa?" Mia menunduk menatap tangan Alex yang masih mencengkram lengannya. Cengkraman Alex tidak kuat dan Mia sebenarnya bisa melepaskan diri dengan mudah, tetapi ia tidak melakukannya. Ia menyukai rasa hangat yang mengalir dari tangan Alex ke sekujur lengannya.

Namun sepertinya Alex salah mengartikan tatapan Mia karena laki-laki itu melepaskan pegangannya. Mia langsung merasa kehilangan dan harus berusaha jeras mencegah dirinya meraih tangan Alex. Oh, ini benar-benar bahaya...

*****

Alex mengamati Mia yang sepertinya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Wajahnya pucat, namun ada rona merah samar di pipinya. Mungkin karena udara dingin. "Clark?" panggil Alex.

Suara Alex berhasil menarik gadis itu dari lamunannya. Mia mendongak dan tersenyum kecil. "Aku tidak apa-apa. Karl hanya bercanda. Seperti biasa," katanya sambil mengibaskan sebelah tangan.

Kepala Alex kembali berputar ke arah Karl. "Lain kali ucapkan 'halo," katanya singkat.

Karl mengangguk-angguk. "Ucapkan 'halo'. Tanpa pelukan. Oke, akan kuingat itu."

Alex memberengut. "Omong-omong kenapa kau datang ke sini pagi-pagi begini?"

"Tentu saja karena aku bermaksud menawarkan diri menemanimu ke rumah sakit," sahut Karl.

Mia terkesiap. "Ke rumah sakit?" selanya sambil menoleh menapat Alex. "Kenapa?"

Alex menggerakkan tangan kirinya yang diperban. "Perbanku akan dibuka hari ini."

"Oh." Mia mengembuskan napas lega dan tenang kembali.Karl menatap Mia dan Alex bergantian, lalu melanjutkan, "Tapi karena kulihat kalian sudah berbaikan, aku yakin kau pasti ingin Mia yang menemanimu ke sana. Jadi kurasa sebaiknya aku pergi." Ia berbalik tanpa menunggu jawaban dari Mia maupun Alex. Namun sebelum ia melangkah pergi, ia berputar ke arah Mia dan berkata, "Mia, kuserahkan dia kepadamu." Ia menggerakkan kepalanya kepalanya ke arah Alex. "Dan kumohon, jangan marah padanya lagi. Kasihanilah kami yang harus menghadapi sikap buruknya kalau kau menolak bicara dengannya lagi."

Mia mengerjap tidak mengerti. Ia menatap Karl yang mengedip ke arahnya, lalu menatap Alex yang terlihat seolah-olah ingin mencekik manajernya.

"Karl Jones, satu patah kata lagi darimu, aku akan melemparmu ke luar jendela," geram Alex.

Karl mengabaikan ancaman itu dan membalas dengan senyum lebar dan cerah. "Oke, oke. Aku pergi sekarang. Sampai jumpa lagi,Mia." Ia baru merentangkan lengan hendak merangkul Mia ketika Alex meraih siku Mia dan menariknya menjauh, memosisikan dirinya sendiri di antara Karl dan Mia.

"Kau bilang kau mau pergi, bukan?" tanya Alex sambil menatap Karl tajam.

Karl mengangkat kedua tangan di depan dada, tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Aku pergi sekarang," katanya sambil terkekeh. Setelah melambaikan tangan ke arah Mia, Karl pun berbalik dan melangkah pergi sambil bersiul pelan.

Alex mengembuskan napas kesal setelah Karl menghilang dari pandangan. "Kurasa aku harus mulai mencari manajer baru," gerutunya pelan.

Mia menatapnya dengan alis terangkat. "Kenapa?"

"Karena kurasa aku akan memecatnya."

Mia tertawa pendek dan menepuk lengan Alex dengan punggung tangannya. "Kau tahu benar tidak ada orang lain yang bisa menghadapi seperti Karl," katanya.

Alex mendengus dan berbalik masuk ke apartemennya. Mia mengikutinya dan menutup pintu sebelum berjalan ke ruang duduk, tempat Alex sudah kembali duduk ke sofa.

"Hei, kau merawat tanamanku?" tanya Mia senang sambil berjalan ke arah pot-pot tanamannya yang berderet di bingkai jendela.

Alex mengangkat bahu acuh tak acuh. "Hanya butuh disiram. Bukan masalah besar," gumannya.

Mia tersenyum dan berjalan menghampiri Alex di sofa. "Jadi apa maksud Karl tentang kau yang tidak bersikap ramah pada orang-orang belakangan ini?" tanyanya sambil melepas jaket dan syalnya dan menyampirkannya ke sandaran kursi.

Alex mendesah berat dan menyandarkan kepala ke sandaran sofa dengan mata terpejam. "Itu semua karena kesalahanmu," gumannya.

"Kesalahanku?" Suara Mia meninggi. "Bagaimana itu bisa menjadi kesalahanku? Kamu bahkan tidak melihatmu selama seminggu terakhir ini."

Alex membuka mata dan menatap Mia. "Nah, itu sebabnya. Kau sudah mengatakannya sendiri," katanya dengan nada puas. "Kau menghindariku selama seminggu terakhir, yang membuatku tidak minum kopi yang layak selama seminggu terakhir."

Mia mendengus. "Bagus sekali. Salahkan saja aku kalau itu memang bisa membuatmu merasa lebih baik."

"Yang bisa membuatku merasa lebih baik adalah kopimu, Clark," guman Alex.

"Kopiku?"

Alex mengangguk tegas dan tersenyum lebar menatap gadis yang berdiri berkacak pinggang di hadapannya. Ia tahu bahwa sebenarnya keberadaan Mia Clark di apartemennyalah yang membuatnya merasa lebih baik. Jauh lebih baik. Bisa melihat gadis itu, berbicara dengannya, mendenag suaranya, semua itulah yang membuatnya merasa hidup kembali. Tetapi Alex tidak berencana mengakuinya kepada gadis itu. Oh, tidak.

"Baiklah, akan kubuatkan kppi untukmu," desah Mia sambil berderap ke dapur. "Kau mau kubuatkan sarapan sekalian?"

Alex bangkit dari sofa dan berjalan menyusul Mia ke dapur. "Biar aku saja yang menyiapkan sarapan hari ini. Bagaimana kalau kita makan roti panggang saja?" Ia menoleh menatap Mia. "Apa?" tanyanya ketika melihat gadis itu menatapnya dengan alis terangkat heran bercampur curiga.

"Tidak apa-apa," sahut Mia sambil mengangkat bahu dan tersenyum kecil. "Hanya saja kupikir menyiapkan sarapan adalah salah satu tugasku sebagai pesuruh merangkap pengurus rumah di sini."

Alex mengernyit mendengar kata-kata yang dulu pernah dilontarkannya kepada Mia. Ia dulu benar-benar brengsek, bukan? Alex mengutuk dirinya sendiri dalam hati.

Ia menarik napas dan menatap Mia dengan ragu. "Kau tahu aku tidak menganggapmu seperti itu lagi, bukan?" tanyanya.

Mia membalas tatapannya dan berpikir sejenak, lalu akhirnya berguman pelan, "Aku tahu, Alex." Ia tersenyum menenangkan. "Aku hanya bercanda."

Alex mengembuskan napasnya yang tanpa sadar ditahannya. "Baguslah kalau begitu," katanya dan mengangguk-angguk. Merasa canggung, ia berdehem dan mencoba mengalihkan pembicaraan. "Sekarang bersiaplah, Clark," katanya sambil menggulung lengan bajunya sampai ke siku. "Bersiaplah untuk jatuh dalam pesonaku setelah kau mencicipi roti panggangku."

*****

"Bersiaplah untuk jatuh dalam pesonaku'? Coba jaskan padaku, pesona yang mana?" tanya Mia sambil menatap sepiring roti panggang dan sebotol selai kacang yang diletakkan Alex di atas meja dapur.

"Kau mau selai stroberi juga?" tanya Alex polos. "Aku suka mencampur selai kacang dan selai stroberi untuk rotiku."

Mia tertawa dan menggeleng-geleng.

"Hei, hanya ini yang bisa kusiapkan," kata Alex membela diri. "Aku bukan koki dan kau tahu benar soal itu."

"Kalau begitu seharusnya tadi kau membiarkan aku yang menyiapkan sarapan," kata Mia.

Alex hanya tersenyum menyesap kopinya.

Mia meraih sepotong roti dan mengoleskan selai kacang di atasnya. "Apa?" tanyanya ketika ia mendongak dan melihat Alex menatapnya dengan aneh.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Alex tiba-tiba."Baik," jawab Mia cepat.

Alex tidak berkomentar. Ia hanya mengangkat alis dan terus menatap Mia.

Merasa resah ditatap seperti itu, Mia mendesah keras dan meletakkan roti yang sudah diolesi selai kacang namun belum dimakannya kembali ke piring. Nafsu makannya mendadak hilang. "Oh, baiklah kalau kau memang mau tahu," katanya sambil melirik Alex sekilas dengan kesal sebelum mengalihkan tatapan kembali ke pring di hadapannya. "Belum ada kemajuan berarti."

"Belum ada kemajuan?" ulang Alex pelan.

Mia mengembuskan napas dengan perlahan. "Obat-obatan yang diberikan dokter hanya sedikit memperlambat proses melemahnya jantungku. Kata kuncinya di sini adalah 'memperlambat'. Jantungku masih tetap melemah."

"Tapi doktermu tetap optimis?"

"Dia... berusaha bersikap optimis." Mia tersenyum kecil. "Dan aku juga berusaha bersikap optimis."

Alex balas tersenyum sekilas sebelum raut wajahnya kembali terlihat serius. "Kau tahu," katanya agak ragu dan berdehem. "Bukannya ingin bersikap pesimistis, tapi... aku hanya ingin tahu. Kalau obat-obat itu tetap tidak berpengaruh padamu... lalu apa yang terjadi?"

"Apa yang terjadi?" ulang Mia dan tertawa pelan namun hambar. Ia mengibaskan sebelah tangannya sambil lalu dan berkata tanpa berpikir, "Kurasa kau tidak akan melihatku lagi."

Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutnya, Mia tahu ia telah melakukan kesalahan. Tubuh Alex menegang, wajahnya memucat dan rahangnya mengeras. Sebelum Mia sempat memperbaiki kesalahannya, Alex berkata lirih, "Kau tahu bukan itu maksudku, Clark."

Mia menggigit bibir dan menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu. Maaf," katanya dengan suara serak. "Aku hanya..." Ia mengangkat bahu, menarik napas panjang sekali lagi, dan membasahi bibir, "Well, kalau obat-obatan tidak berhasil, tidak ada cara lain selain mencari jantung baru untukku."

Hening sejenak. Lalu Alex membuka suara "Transplantasi jantung?"

Mia mengangguk. "Tapi itu usaha terakhir," katanya cepat, berusaha terdengar riang dan percaya diri. "Saat ini segalanya masih terkendali. Kondisiku masih bagus. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Alex menatapnya sejenak, lalu mengangguk dan berkata, "Baiklah. Apakah kau akan memberitahuku kalau kau merasa tidak sehat?"

"Tapi aku sungguh baik-baik saja," bantah Mia.

"Clark?"

"Oh, baiklah. Aku akan memberitahumu," gerutu Mia sambil menyilangkan lengan di depan dada. "Sekarang apakah kita bisa membicarakan hal lain?"

Alex mengangguk dan Mia melihat ketegangan mulai menguap dari tubuhnya. Alex meraih sepotong roti dan bertanya ringan, "Jadi apakah kau bertemu Ray di pertunjukan Dee kemarin?"

Mia menggigit rotinya dan berguman mengiyakan.

"Bagaimana kabarnya?"

"Baik-baik saja."

"Oh, ya? Lalu? Apakah dia mengatakan sesuatu?'Mia menyipitkan mata menatap Alex. "Apakah kau ingin menanyakan apa yang ditanyakan Karl kepadaku tadi?" tanyanya langsung.

"Memangnya apa yang ditanyakan Karl kepadamu?" tanya Alex pura-pura tidak tahu.

Mia mengerang. "Astaga, aku benar-benar tidak pernah menduga laki-laki suka bergosip."

"Kami tidak bergosip," sela Alex tegas. "Kami..."

"Berdiskusi. Ya aku tahu itu," Mia balas menyela dengan seulas senyum menghiasi bibirnya.

"Jadi?" desak Alex ketika Mia tidak melanjutkan kata-katanya dan terus mengunyah rotinya.Mia mengangkat bahu. "Tidak ada yang terjadi."

"Jadi kau menolaknya."

Mia agak heran mendengar seberkas nada lega dalam suara Alex. Tapi mungkin ia salah dengar. "Ray laki-laki yang baik," guman Mia pelan.

Alex tertawa pendek. "Kalau dia memang laki-laki yang baik, kenapa kau menolaknya?"

Mia tidak menjawab."Karena kau menyukai orang lain?" tanya Alex dengan alis terangkat.

Mia tersentak dan menahan napas. Matanya terangkat menatap Alex dengan panik. "Ti-tidak," sahutnya cepat. Terlalu cepat. Dan, astaga, pipinya langsung terasa panas. Semoga saja pipinya tidak memerah.

Alex menyipitkan mata sedikit. "Bagaimana dengan Rogres?" desaknya. "Kau bilang kau pernah memiliki perasaan khusus padanya."

"Aku memang pernah menyukainya. Tapi itu dulu," sahut Mia. "Sekarang kami hanya berteman baik."

"Lalu kenapa kau menolak Ray?"

"Apakah kau ingin aku menerima perasaannya?"

"Tidak. Dan berhentilah membolak-balikan pertanyaanku Clark."

Mia mengembuskan napas panjang. Setelah menggigit-gigit bibirnya sejenak, lalu ia memalingkan wajahnya dan berkata, "Saat ini bukan saat yang tepat bagiku untuk berpikir menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun."

"Kenapa?"

Mia kembali menggigit bibir dan melemparkan tatapan kepada Alex yang menyatakan bahwa laki-laki itu seharusnya tahu benar apa maksudnya. "Kau sudah tahu tentang kondisiku, Alex. Apakah aku masih harus menjelaskan alasannya? Kau tentu tahu banyak hal lebih penting yang harus kukhawatirkan tanpa perlu ditambah masalah hubungan dengan laki-laki," tukasnya. "Dan soal Ray..." Ia berdiam sejenak, suaranya berubah lirih. "Rasanya tidak adil membebani seseorang-seseorang yang baik dan ingin menjalin hubungan serius denganmu-jika kondisimu seperti ini."

Alex terlihat ingin membantah, tetapi mengurungkan niatnya. Setelah berpikur-pikir sejenak, ia berkata, "Aku tidak setuju, tapi aku tidak akan berdebat denganmu tentang hal itu sekarang."

Mia tidak mengerti apa yang tidak disetujui Alex, namun ia tidak sempat bertanya.

"Aku hanya ingin tahu apakah kau akan menerima perasaan Ray seandainya keadaannya berbeda," lanjut Alex. Ia menatap Mia lurus-lurus dan mengulangi pertanyaannya, "Seandainya keadaannya berbeda, seandainya tidak ada penyakit yang perlu kaucemaskan, seandainya kau bebas merasakan apa yang ingin kaurasakan, apakah kau akan menerima perasaan Ray?"

Seandainya. Mia menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata. Ia sudah terlalu sering memikirkan "seandainya" sejak menerima diagnosa dokter mengenai jantungnya yang melemah setiap hari. Kata sederhana itu kini terasa mengerikan baginya. Karena kata itu merujuk pada mimpi yang tidak akan tercapai.

"Clark?"

Mia mengerjap, mengenyahkan air mata yang mengancam mengaburkan pandangannya, dan mendongak menatap Alex Hirano yang balas menatapnya dengan tegang. Mia tahu ia semakin sering memikirkan "seandainya" sejak ia bertemu Alex. Sama seperti kata-kata Alex tadi, seandainya saja keadaannya berbeda, seandainya saja jantungnya tidak bermasalah, seandainya saja ia bebas merasakan apa pun yang ingin dirasakannya, dan seandainya saja ia bisa menunjukan apa yang dirasakannya.

Seandainya saja ia bisa menunjukkan apa yang dirasakannya...

"Tidak," sahut Mia jujur. "Aku tetap tidak akan menerima perasaan Ray walaupun seandainya keadaannya berbeda."

Karena ia tahu siapa yang akan dipilihnya seandainya keadaannya berbeda.


Bab 29

HARI ini benar-benar hari yang indah.

Setidaknya itulah yang dipikirkan Alex sementara berlari menerobos hujan ke arah mobilnya dipelataran parkir pusat perbelanjaan yang ramai. Meskipun suhu udara hari inu sangat dingin, meskipun langit mendung, dan meskipun hujan sudah mulai turun sejak ia dan Mia meninggalkan apartemennya pagi tadi, Alex tetap merasa hari ini tidak mungkin lebih sempurna lagi.

Bagaimana tidak? Hari ini perban di tangannya dilepas dan tangannya sembuh seperti sediakala. Ia bisa menggerakkan pergelangan tangannya tanpa masalah dan bisa bermain piano kembali.

Alasan lainnya adalah hari ini Mia Clark kembali berada di sampingnya. Mia Clark kembali ada di dekatnya. Mia Clark kembali bersamanya.

Dan Alex merasa dunianya utuh kembali.

Hari ini Alex tidak akan memikirkan jawaban Mia tentang apa yang akan terjadi apabila obat yang diberikan dokter tidak berhasil memperbaiki kondisi jantungnya.Apa yang akan terjadi? Kurasa kau tidak akan melihatku lagi.

Ketika Mia berkata begitu, Alex yakin jantungnya berhenti berdetak beberapa detik.Kalau obat-obatan tidak berhasil, tidak ada cara lain selain mencari jantung baru untukku.

Tidak, Alex tidak ingin memikirkan kemungkinan itu. Setidaknya untuk saat ini. Alex tidak ingin dipaksa menyadari kenyataan bahwa kondisi Mia memang tidak baik dan akan memburuk seiring berjalannya waktu. Alex tidak ingin mempercayainya, jadi ia tidak akan memikirkannya. Mia baik-baik saja. Tidak akan ada hal buruk terjadi pada gadis itu. Alex akan memastikannya.

Alex mengarahkan mobilnya ke pintu utama pusat perbelanjaan, tempat Mia menunggu bersama barang-barang belanjaan mereka.

"Aku sempat berpikir kita tidak akan bisa keluar dan mati sesak di dalam sana," gerutu Mia sambil membantu Alex memasukkan barang-barang belanjaannya ke bagasi Lexus-nya, Alex menolak masuk ke dalam VW Beetle kuning milik Mia lagi karena sekarang sudah bisa mengemudikan mobilnya sendiri. "Aku tidak mengerti kenapa kau baru berbelanja keperluan dan hadiah Natal seminggu sebelum Hari Natal. Apakah kau tahu biasanya orang-orang berbelanja untuk Natal sejak satu atau dua bulan lalu?"

"Memangnya kau sendiri sudah membeli semua keperluan Natal?" Alex balas bertanya ketika meeka sudah berada di dalam mobil Alex yang hangat.

"Tentu saja," sahut Mia, seraya memasang sabuk pengaman, sementara Alex melajukan mobilnya keluar dari area pusat perbelanjaan. "Aku tidak suka berbelanja di saat-saat terakhir. Tidak suka berdesak-desakan dan terjepit di antara kerumunan orang seperti tadi."

"Hei, ada apa?" tanya Alex agak khawatir ketika melihat Mia memejamkan mata dan memijat-mijat pelipisnya dengan satu tangan.

Mia menggeleng. "Hanya pusing sedikit. Kau beruntung aku tidak pingsan di dalam sana karena kekurangan oksigen," katanya sambil tersenyum kecil. "Aku benci tempat ramai. Aku tidak tahu kenapa aku setuju menemanimu berbelanja di saat-saat seperti ini."

Alex terkekeh pelan. "Mungkin karena aku sudah mentaktirmu makan siang?"

Mia mengerutkan hidung, lalu kembali tersenyum. "Ya, kurasa aku memang gampang dibujuk dengan makanan enak. Apakah kau akan mentraktirku makan malam sekalian?"

Alex mengangkat bahu. "Tidak masalah. Karena kau sudah bersedia menemaniku seharian ini, kurasa adil kalau aku juga mentaktirmu makan malam."

"Sungguh?" kata Mia dengan mata berkilat-kilat senang. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan malam di Moratti's?"

"Baiklah," sahut Alex. "Paolo dan Eleanor juga ingin bertemu denganmu. Mereka menanyakan kabarmu ketika aku menemui mereka minggu lalu."

"Oh ya?" tanya Mia sambil tersenyum. "Bagaimana kabar mereka?"

Alex mengangguk. "Mereka baik-baik saja. Mereka bertanya kenapa aku tidak mengajakmu ke sana. Ketika kukatakan pada mereka bahwa kita bertengkar dan kau tidak mau berurusan denganku lagi, mereka langsung mengomeliku."

Mia mengangkat alis. "Apakah kau memberitahu mereka alasan kita bertengkar?"

"Tidak, aku tidak memberitahu mer\reka tentang kondisimu. Jangan khawatir. Aku hanya berkata pada mereka bahwa aku mengatakan hal-hal bodoh yang membuatmu marah dan menolak bicara denganku," kata Alex. "Seperti yang sudah kukatakan tadi, mereka mengomeliku dan menyuruhku segera meminta maaf padamu. Sayangnya mereka tidak tahu bahwa aku memang bermaksud meminta maaf, tapi kau malah menghindariku siang dan malam."

Mia tersenyum, tapi tidak berkata apa-apa.

"Lalu mereka melarangku datang lagi sebelum berbaikan denganmu," lanjut Alex.

Mata Mia melebar. "Mereka tidak mungkin berkata begitu."

"Memang tidak," kata Alex sambil tersenyum lebar, dan Mia memukul lengannya pelan. "Mereka hanya menyuruhku mengajakmu ke sana setelah kita berbaikan lagi."

"Kau tahu," kata Mia sambil berpikir-pikir," sebelum kita ke sana nanti, kurasa sebaiknya aku membeli sesuatu untuk mereka. Maksudku sebagai ucapan terima kasih karena mereka mengundangku makan malam bersama waktu itu. Bagaimana menurutmu?"

"Boleh saja," sahut Alex. "Kalau begitu, sebaiknya aku menelpon Eleanor dan memberitahu mereka bahwa kita akan mengunjunginya malam ini."

"Oh, dan katakan padanya untuk tidak perlu menyiapkan hidangan penutup karena kita yang akan menyiapkannya," sela Mia. "Kita akan mampir di toko kue sebelum pergi ke sana nanti."

"Baiklah," sahut Alex. Ia melirik jam tangannya dan berkata, "Kita masih punya waktu sebelum pergi ke tempat Paolo dan Eleanor. Apa yang ingin kaulakukan sekarang? Pulang dulu?"

"Aku ingin membeli pohon Natal!" seru Mia penuh semangat.

"Pohon Natal?"

"Ya, untuk apartemenmu."

"Apartemenku? Kenapa?"

"Karena kau tidak punya pohon Natal."

"Aku memang tidak pernah memasang pohon Natal di apartemen."

"Kenapa tidak?"

"Kenapa harus?"

"Semua orang memasang pohon Natal di musim Natal."

"Aku tidak."

"Oh, ayolah. Apartemenmu akan terlihat lebih ceria kalau ada pohon Natal."

"Aku tidak bituh apartemen yang cerah. Lagi pula, memasang dan menghias pohon Natal itu sangat merepotkan."

"Menghias pohon Natal itu sangat menyenangkan, Alex! Kalau kau tidak mau menghiasnya, biar aku saja yang melakukannya."

"Bagaimana kalau tanaman-tanamanmu yang ada di apartemenku itu dijadikan pengganti pohon Natal saja? Kau bisa menghias tanaman-tanamanmu itu."

"..."

"Bagaimana? Ideku bagus, bukan?"

"..."

Alex menyenggol lengan Mia dengan sikunya. "Clark? Tidak mau bicara denganku? Ayolah."

Mia tetap memberengut dan menatap ke luar jendela.

Alex mendesah. "Baiklah, kita akan membeli pohon Natal."

Kali ini Mia menoleh, menatapnya dengan wajah berseri-seri. "Kau tidak akan menyesal, Alex. Lihat saja nanti."

Alex tertawa kecil dan menggeleng-geleng. "Kau benar-benar merepotkan, Clark."

Namun ia tahu benar ia tidak akan menyesali keputusannya. Seperti yang sudah pernah dikatakannya pada diri sendiri, ia bersedia melakukan apa saja asal Mia Clark tersenyum kepadanya seperti sekarang.

"Karena aku sudah setuju membeli pohon Natal, apakah kau akan memberikan hadiah Natal untukku?" tanya Alex lagi.

"Apakah kau mengharapkan hadiah Natal dariku?" Mia balas bertanya sambil mengerjap heran.

"Tentu saja, woman," sahut Alex sambil menatap Mia dengan serius. "Sebaiknya kau menyiapkan hadiah Natal untukku. Kalau tidak, hadiah yang sudah kusiapkan untukmu akan kuberikan kepada... kepada nenekku!"

Mia mendengus dan tertawa. "Kau menyiapkan hadiah untukku? Apakah hadiahku ada dibelakang sana? Di antara barang-barang yang baru kaubeli tadi?"

"Tidak. Aku sudah membeli hadiahmu minggu lalu."

Alis Mia terangkat kaget, namun seulas senyum lebar tersungging di bibirnya. "Benarkah? Lalu apa yang kausaiapkan untukku?"

Alex menggeleng. "Tidak, aku tidak akan memberitahumu. Itu kejutan. Tapi seperti yang kukatakan tadi, kalau aku tidak mendapat hadiah, kau juga tidak akan mendapatkannya."

"Baiklah. Akan kupertimbangkan," kata Mia sambil mengangkat bahu.

"Akan kaupertimbangkan?" Alex menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Apa...?"

"Oh, berhentilah mengeluh," sela Mia. "Sekarang kita beli pohon Natal dulu. Tidak ada pohon Natal, tidak ada hadiah."

Nah, sebenarnya sejak kapan posisi mereka berubah seperti ini? Dulu gadis itulah yang harus menuruti apa pun yang dikatakan Alex. Sekarang Alex justru mendapati dirinya dengan senang hati melakukan apa pun yang diinginkan gadis itu.

Pengaruh gadis itu atas dirinya cukup meresahkan. Namun yang lebih meresahkan lagi adalah kenyataan bahwa Alex puas dengan keadaan mereka yang seperti ini.

*****

"Jadi mereka akan mengantar pohon kita ke apartemenmu besok pagi?" tanya Mia ketika mereka sudah masuk kembali ke dalam mobil setelah memilih pohon Natal yang mereka sukai.

"Ya," sahut Alex sambil menyalakan mesin mobil, "jadi kau bisa mulai menghiasnya besok pagi."

"Dan kau akan membuatku menghias pohon itu, Alex Hirano."

"Oh, astaga," erang Alex walaupun Mia tahu laki-laki itu tidak benar-benar keberatan membantu. "Yah, kita lihat saja besok."

Mia tertawa kecil dan memalingkan wajah ke luar jendela yang buram karena hujan. Hujan mulai mereda menjadi gerimis yang tidak pernah gagal membuat Mia merasa nyaman. Ia suka hujan. Ia suka memandangi hujan dari balik jendela dengan secangkir cokelat panas ditangannya. Memandangi hujan menenangkan jiwanya.

Sama seperti menghabiskan waktu bersama Alex. Mia mengigit bibir dan melirik laki-laki yang sedang mengemudi di sampingnya. Menghabiskan waktu bersama Alex juga selalu membuatnya merasa... tenang? Damai? Mia tidak bisa memikirkan kata yang bisa menggambarkan perasaannya. Pokoknya apa pun yang dirasakannya setiap kali bersama Alex membuatnya bisa bernapas lebih lega, membuatnya seolah-olah bisa ejamkan mata dan beristirahat sejenak tanpa perlu mencemaskan apa pun. Seperti itulah.

"Apakah sekarang kita pergi ke toko kue yang kausebut-sebut tadi?" tanya Alex tiba-tiba sambil melirik jam tangannya.

"Hm?" Mia mengerjap.

Alex menoleh menatapnya, tersenyum, lalu kembali menatap jalanan di depan. "Bukankah tadi kaubilang kau mau membeli kue untuk Eleanor?" tanya Alex lagi.

"Ya. Kalau begitu sekarang kita akan ke toko kue yang membuat tartlet paling enak di seluruh penjuru New York."

Dua puluh menit kemudian mereka berhenti di depan toko kecil bergaya Prancis di Madison Avenue. Pada papan nama di atas pintu masuk toko itu tertulis A Piece of Cake dalam tulisan berukir yang memberikan kesan antik.

"Ini tempatnya?" tanya Alex kepada Mia ketika mereka sudah keluar dari mobil lalu ia berdiri di depan toko dan mengintip ke dalam dari jendela.

Mia mengangguk. "Ya, aku dan ibuku sering membeli kue di sini. Ayo masuk."

Alex masih terlihat ragu. "Clark, aku tidak tahu apakah aku mau masuk ke dalam."

Mia yang sudah berdiri di pintu depan toko, menoleh dan menatap Alex dengan alis terangkat heran. "Kenapa?"

"Toko ini terlalu manis untuk dimasuki laki-laki," guman Alex dengan kening berkerut. "Apakah kau tak berpikir begitu? Coba lihat, toko ini didominasi warna ungu pucat."

Mia tertawa. "Astaga, kau ini konyol sekali. Tidak, aku tidak berpikir toko ini terlalu 'manis' bagi laki-laki. Bersyukurlah mereka tidak mengecat toko mereka dengan warna merah muda. Sekarang berhentilah mengeluh dan masuk."

Alex masih tidak bergerak dari tempatnya. Mia mendesah dan melangkah menghampiri Alex. Oh, ayolah, Alex. Jangan merajuk di sini. Sekarang masih gerimis dan di sini dingin sekali," katanya sambil menyelipkan tangannya di lekukan siku Alex dan menariknya ke arah toko. "Kau boleh meneruskan rajukanmu di dalam. Bagaimana?"

Mia membiarkan tangannya meluncur dari lekukan siku Alex kearah pergelangan tangannya dan meraih lengan jaketnya, berusaha menarik laki -laki keras kepala itu. Sepertinya usahanya berhasil karena Alex mendesah tanda menyerah dan membiarkan Mia menariknya ke pintu toko. Namun tiba-tiba Alex memutar pergelangan tangannya dan menggemggam tangan Mia.

Mia yakin jantungnya berhenti berdetak beberapa detik ketika tangan Alex menyentuh tangannya. Apakah tadi ia sempat mengeluh dingin? Aneh, karena sekarang ia merasa hangat. Ia mendongak menatap Alex yang tidak menunjukan ekspresi apa-apa.

"Baiklah," guman Alex pelan dan mendorong pintu toko dengan tegas, membuat bel kecil di atas pintu berdenting. "Ayo, kita selesaikan ini secepat mungkin."

Mia menunduk untuk menyembunyikan senyum dibalik syalnya, namun ia membiarkan Alex tetap menggenggam tangannya sementara mereka masuk ke dalam toko.

*****

Ray sedang berjalan menyusuri trotoar bersama Jake, temannya sesama anggota Groovy Crew, ketika ia melihat Alex turun dari Lexus hitamnya yang diparkir di tepi jalan di depan sana.

"Oh, coba lihat. Itu Alex," katanya sambil menepuk dada Jake dengan punggung tangan untuk menarik perhatian temannya.

"Siapa? Kakakmu?" tanya Jake sambil memperbaiki topi rajutannya yang hampir menutupi mata supaya ia bisa melihat dengan jelas.

Sebelum Ray sempat menjawab, ia melihat Mia turun dari sisi penumpang mobil Alex. Ray tidak bisa menahan senyum yang otomatis tersungging di bibirnya. Ia tidak bisa menahan reaksinya. Walaupun gadis itu sudah menjelaskan bahwa ia hanya menganggap Ray sebagai temannya, Ray tetap berharap suatu hari nanti perasaan gadis itu bisa berubah. Tidak ada salahnya berharap, bukan?

Ray baru hendak bergegas menghampiri Mia dan kakaknya ketika melihat Mia mendadak mengandeng siku Alex, lalu mendongak menatap Alex dan mengatakan sesuatu sambil tersenyum lebar. Lalu Mia menarik ujung lengan jaket Alex, berusaha mendesak laki-laki itu mengikutinya.

Namun bukan itu yang membuat Ray mematung di tepi jalan.Yang membuat Ray berdiri mematung di tempat adalah ketika ia melihat Alex meraih dan menggemggam tangan Mia. Cara Alex menggemggam tangan Mia terlihat ringan dan akrab, seolah-olah ia sudah sering melakukannya. Ray tahu hubungan Alex dan Mia sudah membaik dibandingkan ketika pertama mereka baru pertama kali bertemu, tetapi...

"Yo, Teman, bukankah itu Mia?" tanya Jake sambil menyikut Ray. "Jadi sekarang dia bersama kakakmu?"

Ray tidak menjawab sementara ia melihat Alex dan Mia memasuki salah sati toko yang berderet di sepanjang jalan. Saat itulah kaki Ray baru bergerak menghampiri toko kue yang dimasuki kedua orang itu tadi. Dari tempatnya berdiri di depan kaca jendela toko, Ray bisa melihat Mia sedang berbicara kepada penjaga toko sementara Alex terlihat sedang mengamati kue-kue yang dipajang di dalam lemari kaca. Kemudian Alex menggerakkan tangan kirinya-yang masih menggenggam tangan kanan Mia-untuk menarik perhatian gadis itu. Mia menoleh menatap Alex, mendengarkan sejenak, lalu tertawa, memukul pelan lengan Alex dengan tangannya yang bebas dan kembali berbicara dengan penjaga toko.

Ray memang tidak bisa melihat raut wajah Alex karena kakanya berdiri memunggunginya, tetapi ia bisa melihat raut wajah Mia dengan jelas ketika Mia menoleh ke arah Alex. Melihat Mia menatap Alex seperti itu membuat dada Ray terasa berat. Dan nyeri. Dan ia nyaris tidak bisa bernapas karena rasa kecewa yang mendadak menyelimutinya.

Melihat Mia menatap Alex seperti itu membuatnya sadar bahwa gadis itu mungkin saja tersenyum kepada mereka berdua dengan cara yang sama, tapi gadis itu sudah jelas tidak menatap mereka dengan cara yang sama.

Melihat Mia menatap Alex seperti itu membuatnya sadar bahwa gadis itu menyukai Alex. Jelas sekali terlihat di matanya. Mia Clark menyukai Alex Hirano.

Lebih daripada menyukai Ray Hirano.

Ray menarik napas dalam-dalam dan tangannya yang dijejalkan ke dalam saku jaket terkepal tanpa disadarinya.

Jake berdiri di sampingnya, mengamati Alex dan Mia yang berada di dalam toko, lalu menoleh menatap Ray. "Hei, kukira kau sedang mengejar-ngejar gadis itu," tanyanya dengan nada heran, menyentakkan Ray dari lamunannya.

Ray mengembuskan napas dengan perlahan dan rahangnya mengeras. "Ayo kita pergi," gumannya kepada Jake dan berbalik pergi.Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam benak Ray.

Apakah Alex juga menyukai Mia?

Sepertinya begitu.

Padahal Alex tahu Ray menyukai Mia, tapi kenapa Alex...?

Seumur hidup mereka, Alex dan Ray tidak pernah memperebutkan apa pun. Sejak kecil mereka tidak pernah memperebutkan mainan, tidak pernah memperebutkan kasih sayang orangtua mereka. Mereka juga tidak pernah memperebutkan wanita.Sampai sekarang.Sepertinya mereka mau tidak mau mereka harus mulai berebut. Karena untuk yang satu ini Ray tidak ingin berbagi. Dan kalau dugaannya benar, ia yakin Alex juga tidak ingin berbagi.

Bab 30

"SUDAH kubilang aku baik-baik saja," kata Mia untuk yang kesekian kalinya sambil memberengut menatap Alex yang sedang mengemudi di sampingnya. "Kau tidak perlu membatalkan acara makan malam kita dengan Paolo dan Eleanor."

Tidak, sebenarnya ia tidak merasa terlalu baik. Ia masih merasa lemah, kepalanya masih terasa berputar-putar, dan mapasnya masih terasa agak berat. Tetapi masalahnya, ia tidak ingin menambah kepanikan Alex.

"Clark, gadis penjaga toko kue tadi kaget setengah mati ketika kau tiba-tiba jatuh pingsan di hadapannya. Kurasa dia sendiri hampir pingsan juga. Jadi tolong jangan katakan padaku kau baik-baik saja," kata Alex tajam. Ia melirik Mia sekilas. "Lagi pula wajahmu masih pucat."

Yap, Mia masih bisa mendengar nada panik dan cemas dalam suara Alex walaupun laki-laki itu berusaha menyembunyikannya.

Mia mengembuskan napas panjang dan memalingkan wajah menatap keluar jendela. Ia memang sempat kehilangan kesadaran-"jatuh pingsan" terdengar terlalu berlebihan dan dramatis-ketika sedang memilih tartlet sambil mengobrol dengan gadis penjaga toko kue. Saat itu tiba-tiba saja ia merasa sesak napas dan kepalanya berputar-putar. Sedetik kemudian pandangannya menggelap. Dan hal berikut yang disadarinya adalah ia sudah duduk bersandar dalam pelukan Alex di sofa kecil yang tersedia di toko kue itu.

Ini pertama kalinya ia kehilangan kesadaran dan sejujurnya Mia merasa khawatir. Lebih tepatnya, takut. Ia merasa kondisi tubuhnya memburuk dengan cepat dan ia tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegahnya.

Namun Alex Hirano tidak perlu tahu semua itu. Mia tidak ingin membuat siapa pun khawatir. Jadi ia menoleh kembali ke arah Alex dan membuka mulut, "Tapi aku..."

"Sekali lagi kau berkata bahwa kau baik-baik saja, aku akan mencekikmu," geram Alex.

Mia mendesah keras dan menggigit bibir. Ia memutuskan mengalihkan pembicaraan. "Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang? Pulang?"

"Ya. Kau butuh istirahat," jawab Alex pendek. "Tapi sebelum itu kita mampir ke apartemenmu terlebih dahulu supaya kau bisa mengambil apa pun yang kauperlukan."

Kali ini Mia menoleh menatap laki-laki yang duduk di balik kemudi dengan alis terangkat heran. "Apa? Kenapa?" tanyanya.

"Memangnya kau tidak butuh baju ganti?" Alex balas bertanya dengan heran. "Clark, aku bisa meminjamkan pakaiankuvkepadamu. Aku punya sikat gigi baru di rumah yang bisa kuberikan kepadamu. Aku bisa menyediakan apa pun yang mungkin kaubutuhkan, kecuali satu. Aku tidak punya pakaian dalam wanita di apartemenku."

Mia melotot menatap Alex dengan mulut menganga. "Alex! Bukan itu maksudku!" ia berseru tertahan sambil memukul bahu Alex dengan keras-yah, tidak sekeras yang diinginkannya karena memukul membutuhkan tenaga besar yang tidak dimiliki Mia saat itu. Wajahnya memanas dengan cepat.

"Aduh, woman. Sakit," protes Alex setengah hati. "Asal kau tahu saja, kulitku gampang memar."

"Maksudku, kenapa aku harus membawa baju ganti ke apartemenmu?" tuntut Mia tanpa menedulikan protes Alex.

"Karena kau akan menginap di tempatku hari ini," sahut Alex seolah-olah hal itu sudah sangat jelas. Melihat alis Mia yang berkerut, ia melanjutkan, "Clark, kau tidak mungkin berpikir aku akan meninggalkanmu sendirian di apartemenmu hari ini setelah apa yang terjadi, bukan? Dan tolong jangan berdebat denganku sekarang. Kau pernah menginap di tempatku, jadi aku tidak melihat ada masalah dalam hal ini."

Mia mendengus, lalu menatap Alex dengan tajam. "Tapi kau bisa bertanya dulu padaku sebelum mengambil keputusan sendiri."

Alex mendesah pelan, lalu menoleh menatap Mia sejenak. "Baiklah," katanya sambil mengangguk. "Clark, bagaimana kalau kau menginap di tempatku malam ini?"

"Kenapa harus?"

"Karena kita berdua ingin tidur nyenyak malam ini. Kau tahu aku bisa tidur lebih nyenyak di apartemenku daripada di aparttemenmu sendiri. Dan aku baru bisa tidur nyenyak malam ini kalau aku bisa memastikan kau baik-baik saja," jelas Alex. "Jadi bagaimana menurutmu?"

Mia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan. "Baiklah," gumannya.

"Oh, ayolah, Clark. Apa salahnya-tunggu, apa katamu tadi?" Alex mengerjap menatap Mia.

"Kubilang baiklah," kata Mia sekali lagi.

"Baiklah'?" Alex mengulangi ucapan Mia. Sepertinya ia tidak menduga Mia setuju secepat itu.

Mia mengangkat bahu. "Kurasa aku tidak ingin sendirian hari ini," Lalu ia mendesah panjang, meraba keningnya, dan tersenyum muram. "Dan kau benar. Aku tidak merasa terlalu baik."

Alex terlihat cemas. "Kau mau pergi ke dokter?"

Mia mengeleng dan memejamkan mata. "Tidak perlu. Aku akan baik-baik saja setelah minum obat. Lagi pula aku dan ibuku dudah membuat janji bertemu dengan dokterku besok siang. Aku memang harus menjalani pemeriksaan sebelum pergi ke Minnesota."

"Kau akan pergi ke Minnesota?"

"Ya. Besok lusa. Apakah aku lupa memberitahumu?" ia balas bertanya sambil menoleh menatap Alex. "Karena kakek dan nenekku dari pihak ibu sudah meninggal, aku dan orangtuaku selalu menghabiskan liburan Natal dan Tahun Baru bersama kakek dan nenekku dari pihak ayah. Mereka tinggal di Eden Prairie, Minnesota. Semua keluarga besar ayahku akan berkumpul. Tradisi keluarga."

"Oh, begitu," guman Alex sambil mengangguk-angguk. "Eden Prairie. Kudengar itu kota yang indah."

Mia tersenyum membayangkan keindahan alam yang tersebar di Eden Prairie. Danau-danaunya, jalan-jalan setapaknya. "Memang indah. Sangat jauh berbeda dari New York City," gumannya dengan nada melamun. Lalu ia menoleh dan bertanya, "Kau sendiri?"

"Karena kakek dan nenekku dari pihak Mom ada di Jepang, kami akan menghabuskan Natal bersama kakek dan nenekku dari pihak Dad. Meeka tinggal di Bayside, Quenns. Jadi aku tidak akan meninggalkan negara bagian ini."

"Hmm," guman Mia pelan..Ia kembali memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Sebelah tangannya terangkat ke kening.Hening sejenak, lalu Alex membuka suara, "Maafkan aku."

Mia membuka mata dan menatap Alex dengan heran. "Untuk apa?"

Penyesalan terlihat jelas di wajah Alex. "Aku sudah tahu kau tidak boleh terlalu lelah, tapi aku malah membuatmu sibuk sepanjang hari ini. Memaksamu menemaniku..."

"Alex," sela Mia cepat dengan alis berkerut samar, "apakah kau menyesal mengajakmu keluar hari ini?"Alex tidak menjawab, namun Mia melihat rahang laki-laki itu mengeras.

"Kuharap tidak," lanjut Mia tanpa menunggu jawaban Alex, "karena aku bersenang-senang hari ini."

Alex terlihat ragu. " Benarkah?"

Mia tersenyum. "Ya. Sangat."

Alex menarik napas panjang. "Aku tidak menyesal menghabiskan waktu denganmu, Clark," gumannya.

"Bagus," guman Mia puas. "Aku juga senang menghabiskan waktu denganmu, Alex Hirano.

*****

"Aku bukan orang cacat, kau tahu?" tegur Mia ketika Alex kembali ke ruang duduk sambil membawa panci sup jamur dan semangkuk salad.

Alex meletakkan panci sup dan mangkuk salad di atas meja rendah di hadapan Mia, lalu menoleh menatap gadis yang duduk memberengut di sofa. "Astaga, aku tahu kau tidak cacat," katanya dan duduk di samping Mia. "Tapi berhubung tanganku sudah sembuh, sekarang aku bisa menyiapkan makanan sendiri tanpa perlu membuat dapurku berantakan. Kau sedang sakit, jadi aku menyuruhmu duduk manis di sini. Apakah aku salah?"

Mia masih memberengut, tetapi tidak berkata apa-apa.

"Sekarang makanlah," kata Alex sambil menuangkan sup ke mangkuk Mia. "Kuharap rasanya tidak terlalu parah."

Kali ini Mia mendengus dan tersenyum. "Mari kita lihat kemampuan memasakmu."

"Hei, aku tidak sepenuhnya tidak berguna di dapur, kau tahu?" protes Alex, pura-pura tersinggung. "Dulu aku memintamu memasak untuku karena aku tidak bisa masak dengan satu tangan dan karena kau menawarkan diri membantuku."

Mia tertawa dan mencicipi sup jamur Alex. "Mm," gumannya sambil berpikir-pikir. Lalu ia mengangkat sebelah bahunya. "Tidak terlalu buruk."

Alex menyipitkan mata menatap Mia. Gadis itu balas menatapnya sambil tersenyum lebar kepadanya, lalu mulai menyantap sup jamurnya dengan lahap. Tidak terlalu buruk katanya? Alex yakin gadis itu menyukai sup jamurnya.

"Omong-omong, Alex," kata Mia setelah ia menghabiskan supnya, "kau pernah berkata bahwa aku bisa mendengar permainan pianomu secara langsung kalau tanganmu sudah sembuh."

"Maksudmu kau ingin mendengarnya sekarang?" tanya Alex.

Mia mengangguk bersemangat."Baiklah, aku juga ingin melihat apakah pergelangan tanganku sudah bisa digerakkan seperti biasa." Alex beranjak dari sofa dan berjalan menghampiri pianonya. Mia juga berdiri dan mengikutinya. Alex duduk di bangku piano, menempatkan kesepuluh jemarinya yang panjang di atas tuts piano dan mulai memainkan beberapa nada dengan cepat. "Sepertinya tidak masalah," gumannya, lebih pada diri sendiri. Lalu ia menengadah menatap Mia yang berdiri di sampingnya. "Sini, duduklah," katsnya sambil menepuk bangkunya.

Mia menurut dan duduk di samping kansn Alex. "Lagu apa yang akan kaumainkan?"


"Sunshine Becomes You," sahut Alex. Ia menatap Mia dan tersenyum kecil. "Aku memikirkanmu ketika menulis lagu ini. Dan kalau kau bertanya apa hubungannya dengan matahari, well, itu karena setiap kali melihatmu, aku selalu teringat pada sinar matahari. Jangan tanya kengapa, karena aku juga tidak tahu."

Tanpa menunggu reaksi Mia, jari-jari Alex mulai bergerak anggun di atas piano, memenuhi seluruh penjuru apartemennya dengan alunan nada indah yang bisa menghangatkan malam-malam musim dingin.

*****

Aku memikirkanmu ketika menulis lagi ini.

Kata-kata Alex itu membuat Mia tercengang. Dan walaupun ia tidak ingin mengakuinya, perasaan hangat dan ringan mulai menjalari dadanya. Seulas senyum tanpa alasan mulai mengancam tersungging di bibirnya. Mia tidak bisa mencegah dirinya bertanya-tanya apakah Alex benar-benar memikirkannya ketika menulis lagu yang indah ini.

Lagu yang dimainkan Alex ini membuat Mia membayangkan hangatnya matahari di padang rumput yang luas dan hijau, rumput-rumput yang bergoyang ditiup angin, langit biru tak berawan, dan aroma musim semi. Dan Alex Hirano.

Mia membuka mata yang tanpa sadar dipejamkannya tadi dan mengerjap beberapa kali. Alex tadi berkata bahwa ia memikirkan Mia ketika menulis lagu ini. Dan sekarang Mia memikirkan Alex ketika mendengar lagu ini.

Sebelum Mia bisa berpikir lebih jauh, lagu indah itu berakhir.

"Bagaimana?" tanya Alex sambil menoleh menatap Mia penuh harap.

Mia tersenyum, lalu mendongak menatap Alex. "Sangat, sangat bagus. Dan aku sangat, sangat menyukainya."

"Kau tahu, awalnya lagu tadi memiliki judul ysmang lebih jelas dan sederhana," kata Alex sambil kembali melarikan jari-jarinya di atas piano, memainkan lagu lain.

"Oh ya? Apa judul awalnya?"

"Thinking of Clark."

Mia mengerjap."Tapi setelah kupikir-pikir, judul itu terdengar sangat salah. Orang-orang pasti menganggap Clark itu nama laki-laki," lanjut Alex sambil terkekeh pelan. "Jadi supaya orang-orang tidak salah paham kuputuskan untuk mengubahnya. Bagaimana menurutmu?"

Berusaha mengabaikan rasa panas yang menjalari pipinya, Mia berdeham dan berusaha mengalihkan pembicaraan, "Kenapa kau selalu memanggilku Clark? Kau bisa memanggilku dengan nama depan, kau tahu, sama seperti yang lainnya."

"Karena sudah terbiasa. Lagi pula, aku suka menjadi satu-satunya orang yang memanggilmu Clark," sahut Alex sambil mengangkat bahu. Gerakan kecil itu membuat bahu mereka bersentuhan dan membuat jantung Mia berjumpalitan. Lalu Alex tertawa kecil melanjutkan, "Kurasa satu-satunya hal yang bisa membuatku memanggil nama depanmu adalah kalau kau menikah denganku."

Kali ini Mia merasa jantungnya melonjak dan ia menatap Alex dengan mata melebar kaget.

Alex balas menatapnya sambil tersenyum lebar. "Kalau itu terjadi, berarti kau menjadi Mia Hirano. Dan saat itu aku tidak mungkin memanggilmu dengan nama belakang, bukan?"

Mia tidak berkata apa-apa. Ia tidak sadar dirinya menahan napas. Ia hanya tahu jantungnya mendadak berdebar begitu cepat dan keras sampai ia takut akan mendapat serangan lagi.

*****

Alex menunggu reaksi Mia atas gurauannya. Yah, sebenarnya ia setengah bergurau setengah serius. Ia memang tidak pernah berpikir tentang pernikahan atau ingin menikah sebelum ini, tetapi sekarang, setelah mengenal gadis yang duduk diam di sampingnya ini, ia mulai merasa menikah bukanlah sesuatu yang mengerikan.Gagasan itu membuat Alex tertegun. Astaga, sepertinya ia benar-benar sudah tak tertolong lagi.

Ia mengamati rona merah samar yang menjalari pipi Mia yang pucat sementara gadis itu menekan salah satu tuts piano dengan jari telunjuknya. Kemudian Mia menengadah dan menatap Alex sambil tersenyum. "Teknisnya, kau juga harus memanggil nama depanku kalau aku menikah dengan Ray," katanya.

"Wow, berhenti," sela Alex cepat dan menatap Mia dengan kening berkerut. "Katakan padaku kau tidak serius."

Mia tertawa. "Memangnya kenapa? Kata-kataku benar, bukan?"

"Aku menolak menjawabnya karena aku menolak memikirkan kemungkinan itu."

Setelah tawa Mia mereda, Mia berkata, "Mainkan satu lagu lagi."

"Kurasa sebaiknya kau beristirahat sekarang," kata Alex. "Aku berjanji akan memainkan satu lagu untukmu besok pagi sementara kau menghias pohon Natal-mu."

Mendengar kata "pohon Natal" mata Mia berkilat-kilat senang. "Ah, benar. Mereka akan mengantar pohon Natal-nya ke sini besok pagi."

Melihat gadis itu gembira, Alex juga merasa gembira. "Pergilah," katanya, "biar aku yang membereskan mejanya."

Mia mengangguk dan berdiri dari bangku piano. Namun ia baru berjalan beberapa langkah ketika berhenti dan berbalik kembali menatap Alex. "Oh ya, Alex, apakah hari ini kau akan melanjutkan dongengmu waktu itu?" tanyanya.

"Dongeng? Dongeng apa?" tanya Alex tidak mengerti.

"Tentang pangeran dan gadis desa."

"Ah, dongeng itu," guman Alex ketika ia teringat pada dongeng yang diceritakannya kepada gadis itu minggu lalu."Apakah aku bisa mendengar kelanjutannya hari ini?"

"Sampai di mana ceritaku waktu itu?"

"Sampai gadis desa dibawa ke istana untuk dijadikan pelayan pribadi sang pangeran."

Alex berpikir sejenak, lalu berkata, "Tapi aku belum tahu bagaimana akhir ceritanya."

Mia mengangkat alis dengan heran. "Kenapa begitu?"

"Kau lihat," kata Alex sambil memutar tubuhnya sehingga ia duduk menghadap Mia, "ketika si gadis desa mulai menjadi pelayan pribadi sang pangeran, pada awalnya sang pangeran sama sekali tidak ingin berurusan dengannya. Dia menganggap gadis itu adalah malaikat kegelapan yang akan mematahkan kakinya yang satu lagi, bahkan kedua tangannya, kalau gadis itu terus berada di dekatnya."

Alex melihat raut wajah Mia berubah, namun gadis itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, menunggu Alex melanjutkan kata-katanya.

Dan Alex pun melanjutkan, "Tapi perlahan-lahan sang pangeran mulai terbiasa dengan keberadaan gadis desa itu. Awalnya dia merasa gadis itu teman bicara yang menyenangkan, lalu dia mulai menyadari dia suka melihat gadis itu tersenyum dan tertawa, dia mulai berharap dirinya bisa selau membuat gadis itu tersenyum dan tertawa, dia mulai meletakkan kepentingan gadis itu di atas kepentingannya sendiri, dia mulai berharap gadis itu akan tetap berada di sisinya, dan dia mulai berharap gadis itu juga merasakan apa yang dirasakannya."

Alex melihat berbagai emosi berkelebat dalam mata hitam gadis itu, namun ia tidak bisa mengartikannya. Alex merasa jantungnya sendiri berdebar keras dan ia tidakcpernah merasa segugup ini. Tetapi ia harus melakukannya. Ia harus mengatakannya. Ia tidak mungkin mundur lagi setelah melangkah sejauh ini. Jadi ia pun menatap mata Mia lurus-lurus dan berkata, "Karena sang pangeran jatuh cinta pada gadis desa itu."

Dunia serasa berhenti berputar sementara Alex menahan napas menunggu reaksi Mia. Ia sudah mengatakannya dan kini semuanya terserah pada gadis itu. Ia bukan orang yang biasa mengungkapkan perasaannya, dan hanya inilah cara yang bisa dipikirkannya untuk menjelaskan maksudnya tanpa mengatakannya secara langsung.

"Jadi kau mengerti, bukan, ketika bahwa aku belum tahu bagaimana akhir ceritanya?" lanjut Alex sambil tersenyum kecil, berusaha meredakan kegugupan yang dirasakannya. "Karena aku tidak tahu apakah gadis desa itu membalas perasaan sang pangeran."

*****

Alex melongok ke dalam kamar yang ditempati Mia. Setelah melihat gadis itu sudah tertidur pulas, ia memastikan pintu kamar tidak terturup rapat supaya ia bisa mendengar apabila gadis itu memanggilnya atau membutuhkan sesuatu. Ia kembali ke ruabg duduk dan memandang berkeliling, memastikan semuanya sudah beres sebelum ia sendiri masuk ke kamarnya dan bersiap-siap tidur.

Ia berdiri tepat di tempat Mia berdiri satu jam yang lalu ketika ia menyatakan perasaannya secara tidak langsung. Setelah mendengar pengakuan Alex, Mia tidak bereaksi selama tiga puluh detik penuh. Kemudian ia mengerjap, tersenyum kecil, dan berguman, "Baiklah. Kalau kau sudah tahu akhir ceritanya, jangan lupa ceritakan padaku."

Alex harus mengakui bahwa ia merasa kecewa mendengarnya. Ia sebenarnya tidak mengharapkan jawaban, ia hanya ingin mengutarakan perasaannya. Dalam hati ia tahu Mia tidak akan memberikan jawaban yang diinginkannya karena gadis itu pernah berkata bahwa saat ini ada banyak hal yang lebih penting yang harus dikhawatirkannya. Walaupun begitu, Alex tetap merasa agak kecewa. Ia mengembuskan napas yang ditahannya dan menunduk. Biburnya melengkung membentuk seulas senyum yang menyesali ketololannya sendiri karena berharap terlalu banyak.

"Tapi, Alex," kata Mia tiba-tiba, "menurutku gadis desa itu juga menganggap sang pangeran sebagai teman bicara yang menyenangkan."

Alex mengangkat wajah dan menatal Mia yang balas menatapnya sambil tersenyum samar. Sebersit harapan kembali terbit dalam dirinya tanpa bisa dicegah.

"Dan aku yakin gadis itu menganggap sang pangeran laki-laki yang sangat baik."

Alex menunggu Mia meneruskan kata-katanya, tetapi ternyata hanya itu yang ingin dikatakannya. Setelah itu Mia mengucapkan selamat malam dan masuk ke kamarnya.

Sampai sekarang Alex masih tidak tahu apa yang harus dipikirkannya. Tetapi setidaknya Mia tidak menolaknya secara langsung. Jadi semuanya masih baik-baik saja. Mungkin ia masih boleh berharap... sedikit.

Ia baru hendak memadamkan lampu di ruang duduk ketika sesuatu yang berkerlap-kerlip di atas meja menarik perhatiannya. Ponsel Mia. Alex menghampiri neja, memungut ponsel yang berkerlap-kerlip tanpa suara itu dan membaca tulisan yang tertera di layar.

Mom.

Sejenak Alex ragu apakah ia harus menjawab telepon dari ibu Mia atau membiarkannya saja. Kalau ia tidak menjawab, ia takut ibu Mia akan khawatir mengingat Mia pernah bercerita bahwa orangtuanya merasa harus menelpon dan memeriksa keadaannya sejak ia didiagnosis menginap di apartemennya.Alex menatap ponsel yang masih berkerlap-kerlip di tangannya, berpikir. Lalu ia menekan tombol "jawab", menempelkan ponsel itu ke telinga dan berkata, "Halo? Mrs. Clark?"


Bab 31

TANGAL 24 Desember. Seluruh keluarga besarnya sudah berkumpul di Eden Prairie. Rumah kakek dan neneknya sudah dihias besar-besaran untuk menyambut Natal. Obrolan, canda, dan tawa yang tdengar di setiap sudut rumah. Perapian besar di ruang duduk juga ikut menghangatkan suasana. Saat ini para wanita sibuk di dapur, para pria mengobrol di ruang duduk dan memperbaiki sesuatu di garasi, para sepupu Mia bermain salju di pekarangan depan.

Mia sendiri berdiri mengamati bayangannya di depan cermin meja rias dan berusaha menyamarkan lingkaran hitam di matanya dengan rias wajah. Tidak terlalu berhasil, tetapi lumayanlah, daripada tidak sama sekali. Tentu saja seluruh keluarganya tahu tentang kondisinya, tetapi Mia tidak merasa perlu menambah kekhawatiran mereka, terlebih lagi dalam suasana Natal yang dipenuhi kebahagian seperti ini.

Sebenarnya hasil pemeriksaan yang dilakukan Dr. Schultz sebelum Mia dan orangtuanya datang ke Eden Prairie tidak terlalu baik. Dr. Schultz mengganti jenis dan dosis obat-obatan Mia, dengan harapan bisa lebih membantu. Dan itu sama sekali bukan pertanda baik.

Tiba-tiba Mia mendengar suara sepupunya yang memanggilnya dari halaman depan. Ia berjalan ke jendela kamar tidur yang ditempatinya bersama dua sepupu perempuannya di lantai dua rumah kakek dan neneknya, membukanya dan melongok keluar.

Lima sepupunya, dua perempuan dan tiga laki-laki berusia antara 9 sampai 20 tahun, sedang bermain salju di halaman. Sepupu laki-lakinya yang paling kecil sepertinya berusaha membuat orang-orangan salju tanpa hasil.

"Mia, sedang apa kau di atas sana? Kami butuh bantuanmu membuat orang-orangan salju," seru salah seorang sepupu perempuannya sambil tertawa.

"Aku akan segera turun," Mia balas berseru. Ia cepat-cepat menutup jendela dan menggosok-gosok kedua tangannya sambil menggigil. Ia baru hendak keluar dari kamar ketika ponsel di sakunya berdenting menandakan pesan masuk. Seulas senyum tersungging di bibir Mia ketika tahu siapa pengirim pesan itu. Alex.

Sedang apa?

Mia pun membalas. Baru akan keluar membuat orang-orangan salju bersama sepupu-sepupuku. Kau sendiri?

Baru tiba di rumah kakek dan nenekku untuk malan malam bersama. Kau sudah terima hadiahnya?

Mia mengerutkan kening. Hadiah apa?

Berarti kau belum menerimanya. Mereka berjanji kau akan menerima hadiahnya hari ini.

Mereka siapa?

Orang-orang dari jasa pengiriman.

Kau mengirimkan hadiah untukku?

Ya. Hadiah Natal. Aku mengirimkannya ke rumah kakek dan nenekmu.

Ah, jadi itu sebabnya kau menanyakan alamat kakek dan nenekku waktu itu.

Ya. Telepon aku kalau kau sudah menerimanya. Oke?

Sebelum Mia sempat membalas pesan terakhir itu, ia mendengar kehebohan di lantai bawah dan namanya dipanggil berkali-kali. Ia bergegas keluar dari kamar dan menuruni tangga. "Apa? Ada apa?" tanyanya kepada orang-orang yang berkumpul di dekat pintu depan.

"Mia, kau mendapat kiriman. Coba lihat, manis sekali!" seru salah satu sepupu perempuannya sambil menarik tangan Mia.

Sedetik kemudian Mia dihadapkan pada boneka beruang raksasa paling besar, paling imut, dan paling putih yang pernah dilihatnya. Boneka itu masih terbungkus plastik bening dan berada dalam pelukan petugas pengantar barang yang terlihat agak kesusahan.

"Mia Clark?" tanya si petugas sambil berusaha melongok dari balik punggung boneka beruang raksasa itu.

"Ya," sahut Mia setelah kekagetannya mereda dan ia menemukan suaranya kembali.Salah seorang sepupu Mia mengambil alih boneka beruang itu dari si petugas pengiriman barang sehingga ia bisa menyodorkan formulir yang harus ditandatangani Mia. Saat itu hampir semua keluarganya sudah bergerombol di pintu depan untuk melihat kehebohan yang sedang terjadi. Semua orang sepertinya berbicara pada saat bersamaan.

"Astaga, coba lihat boneka beruang itu. Untuk siapa? Siapa yang mengirimnya?"

"Ini untuk Mia."

"Aku belum pernah melihat boneka sebesar itu."

"Dari pacarmu, Mia?"

"Biasanya hadiah seperti ini memang dari laki-laki."

"Doug belum mengirimkan hadiah untukku."

'Aku boleh meminjam bonekamu malam ini, Mia? Boleh, ya?"

"Oh, kau membuatku iri, Mia!"

"Kenapa anak perempuan suka boneka?"

"Mom, aku juga mau boneka seperti boneka Mia."

Mia tidak benar-benar mendengar banjir kata-kata di sekelilingnya. Ia mengembalikan formulir yang sudah ditandatanganinya kepada si petugas pengiriman. Setelah mengucapkan selamat Natal kepada mereka semua, petugas itu berbalik pergi dan Mia menutup pintu.

"Ayo, buka plastik pembungkusnya, Mia," desak sepupu perempuannya.

Mia tertawa menatap boneka yang lebih besar dan lebih tinggi daripada dirinya itu sebelum menuruti permintaan sepupunya. Bulu boneka itu terasa sangat halus dan lembut di tangannya.

"Mia ada kartu," kata sepupunya sambil menyodorkan secarik kartu yang tertempel di pita leher si boneka.

Mia menerima kartu itu dan menjauh dari kerumunan orang yang mengagumi bonekanya untuk membaca isi kartu. Ia sudah bisa menebak siapa pengirimnya, tetapi tetap ingin membaca isi kartunya.

Peluk beruang yang manis ini kalau kau merindukanku. Selamat Natal.
-Alex

Mia tidak bisa menahan senyum lebar yang menghiasi bibirnya.

"Dari Alex, bukan?"

Mia tersentak dan mengangkat wajah menatap ibunya yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Ia tidak menjawab, hanya tetap tersenyum dan ia yakin ibunya mengerti.

"Aku sudah menduga dia laki-laki yang penuh perhatian," kata ibunya sambil tersenyum penuh arti. "Jangan lupa menelponnya dan mengucapkan terima kasih, Sayang."

Mia tahu ibunya langsung menyukai Alex sejak berbicara dengan Alex malam itu. Alex memberitahu Mia bahwa ia menjawab ponsel Mia malam itu supaya ibu Mia tidak khawatir dan menjelaskan kepada ibu Mia bahwa Mia baik-baik saja. Tetapi Alex tidak memberitahu Mia hal lain uang dikatakannya pada ibu Mia. Ibunya yang memberitahu Mia keesokan siangnya ketika mereka hendak pergi menemui Dr. Schultz.

"Kau tahu yang dikatakannya padaku, yang membuatku yakin dia benar-benar menyukaimu?" tanya ibu Mia pada Mia waktu itu. Mia mendesah berlebihan, namun tidak bisa mencegah debar jantungnya yang semakin cepat. "Apa?"

"Katanya aku tidak perlu khawatir lagi karena dia akan menjagamu."

Mia kembali membaca tulisan di kartu yang dipegangnya sambik tersenyum lebar, mengingat apa yang dikatakan ibunya kepadanya waktu itu.

"Ayo, telepon dia sekarang, Sayang." Suara ibunya membuyarkan lamunannya.

Mia menoleh ke arah boneka beruangnya, yang masih dikerebungi para sepupu dan anggota keluarganya yang lain.

"Jangan khawatir," kata ibunya. "Aku akan memastikan mereka mengembalikannya kepadamu."

Setelah memeluk ibunya dan mengucapkan terima kasih, Mia berlari kembali ke kamarnya di atas dan menelpon Alex. Laki-laki itu menjawab telepon pada deringan kedua.

"Kau sudah menerima hadiahnya?" tanya Alex langsung.

"Ya," jawab Mia sambil menggigit bibir, berusaha tanpa hasil menyembunyikan senyum lebar yang menghiasi wajahnya. "Kau membuat seluruh keluargaku terkesan dengan boneka raksasa itu, Alex. Harus kukatakan bahwa ibuku juga sangat terkesan padamu. Dia yang menyuruhku menelponmu untuk berterima kasih. Jadi, terima kasih."

"Tidak masalah," sahut Alex ringan. "Dan hadiah untukku?"

"Hadiah untukmu ada di apartemenmu," sahut Mia. "Telepon aku kalau kau sudah pulang ke apartemenmu. Akan kuberitahu di mana kau bisa menemukannya."

Masih sambil tersenyum. Mia menutup ponselnya dan mengempaskan diri ke ranjang. Ia memeluk bantalnya dan memikirkan hadiah yang dipilihnya untuk Alex. Ia sungguh tidak tahu apa yang harus dibelinya untuk Alex karena menurutnya Alex sudah memiliki segalanya. Ia tidak ingin membelikan hadiah biasa seperti yang dibelikannya untuk teman-temannya yang lain. Ia merasa harus memberikan sesuatu yang istimewa kepada Alex setelah semua yang sudah dilakukan laki-laki itu untuknya. Akhirnya sebuah ide terpikirkan olehnya dan kini ia berharap pilihannya tepat dan tidak dianggap kekanak-kanakan.

Oh, ya, sekarang waktunya menyelamatkan boneka beruang itu dari cengkraman keluargaku, putus Mia smbil bangkit dari ranjang dan keluar dari kamar.

*****

Alex tertawa kecil dan menutup ponsel. Kata gadis itu hadiah untuknya ada di apartemennya?

"Telepon dari Mia?"

Alex mengangkat wajah dan menoleh menatap Ray yang berdiri di ambang pintu ruang duduk. Ray melangkah masuk dan duduk di kursi berlengan di samping kursi Alex, di dekat perapian.

"Di mana Mom dan Dad?" tanya Alex tanpa menjawab pertanyaan Ray.

"Mom di dapur bersama Nenek dan Dad bermain catur dengan Kakek di ruang kerja."

Alex mengangguk-angguk sambil mengamati perapian."

Alex, apakah kau menyukai Mia?" tanya Ray tiba-tiba,.memecah keheningan. Suaranya terdengar serius dan penuh pertimbangan.

Alex kaget mendengar pertanyaan itu, tetapi ia menjaga raut wajahnya tetap datar. "Apa maksudmu?"

Ray terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Aku melihatmu dan Mia waktu itu. Di toko kue."

Alex tersentak. Di toko kue? Ketika Mia jatuh pingsan? Ray melihatnya? Ia menoleh menatap Ray dan bertanya, "Apa yang kaulihat?"

"Aku melihat kalian masuk ke toko kue itu sambil berpegangan tangan," sahut Ray tanpa menatap Alex, tetapi tetap menatap api di perapian. "Saat itu aku baru menyadari sesuatu yang seharusnya sudah kusadari sejak lama. Aku tidak tahu kenapa aku tidak pernah menyadarinya sebelum ini. Tapi kurasa sebenarnya aku hanya menolak menyadarinya."

Sepertinya Ray tidak melihat ketika Mia jatuh pingsan. Jadi Alex tidak berkomentar dan membiarkan adiknya meneruskan kata-katanya.

"Kau menyukai Mia, bukan, Alex?" tanya Ray sekali lagi. Kali ini ia mengangkat wajah menatap Alex, mengharapkan jawaban.

Alex menarik napas, ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya."

Ray terlihat kaget mendengar pengakuannya, tetapi ia dengan cepat mengendalikan perasaannya dan mengangguk. "Kupikir juga begitu," gumannya. "Apakah kau sudah memberitahunya?"

"Tidak." Alex memang belum beritahu Mia secara langsung.

Ray mengangguk sekali lagi, lalu tersenyum masam. "Aku tidak pernah menyangka aku akan bersaing dengan kakakku sendiri dalam hal wanita."

Alex mengangkat alis.

"Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku juga menyukai Mia," kata Ray.

"Aku tahu," sahut Alex.

"Masih menyukainya," koreksi Ray sambil memiringkan kepalanya ke satu sisi. "Dan walaupun Mia pernah berkata padaku bahwa dia hanya menganggapku sebagai teman, aku masih menyimpan harapan suatu hari nanti dia akan berubah pikiran. Karena selama ini dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda menyukai orang tertentu."

"Mm," gumam Alex tanpa maksud tertentu.

"Aku hanya ingin kau tahu," kata Ray sambil mengangkat bahu, "selama Mia belum menentukan pilihan, aku akan tetap mendekatinya walaupun aku tahu kau juga menyukainya."

Alex menatap adiknya sambil tersenyum. "Cukup adil."

Ray juga tersenyum. Lalu ia menepuk lengan kursi dan berkata, "Baiklah, bagaimana kalau sekarang kita ikut bermain catur dengan Dad dan Kakek di ruang kerja?"

"Ide bagus," kata Alex, lalu berdiri.

*****

"Kau baru sampai di rumah?" tanya Mia di ujung sana. "Bukankah di New York sekarang sudah hampir jam satu pagi?"

Alex memindahkan ponselnya dari telinga kiri ke telinga kanan sambil melepas jaket. Ia berjalan ke ruang duduk dan menyalakan lampu. Pohon Natal di sudut ruangan dekat jendela yang dihias Mia, menyambut kepulangannya. "Ya, karena dari Bayside aku mampir duluke tempat ayah dan ibuku," jelasnya. "Bagaimana dengan kau sendiri? Di Minnesota sekarang sudah hampir tengah malam dan kau belum tidur. Apakah mungkin kau menunggu telepon dariku?"

"Tidak," jawab Mia cepat. Terlalu cepat, menurut Alex sambil tersenyum dalam hati. "Di sini belum ada yang tidur, kecuali sepupuku yang masih kecil. Mereka masih mengobrol di bawah. Omong-omong, bagaimana acara makan malammu? Menyenangkan?"

"Biasa saja," sahut Alex sambil membaringkan diri di sifa dan menyandarkan kepalanya ke lengan sofa. "Kau sendiri?"

"Sangat menyenangkan. Berkumpul bersama keluarga besar selalu menyenangkan."

Alex tersenyum mendengar nada gembira dalam suara Mia. "Kau suka keluarga besar?" tanyanya.

"Tentu saja. Kau tidak suka?"

"Aku tidak punya keluarga besar, jadi aku tidak tahu. Tapi aku senang mendengar kau bersenang-senang di sana," kata Alex. "Omong-omong, aku ingin tahu di mana kau menyembunyikan hadiahku."

Mia terdengar ragu ketika berkata, "Sebenarnya aku benar-benar bingung apa yang harus kuberikan kepadamu. Jadi hanya ini yang bisa kupikirkan. Tolong jangan tertawakan aku."

"Apa yang kaubicarakan, Clark? Aku tidak mungkin menertawakanmu," kata Alex menyakinkan Mia.

Jeda sejenak, lalu, "Baiklah. Cari buku The Piano: An Encylopedia di antara buku-bukumu yang ada di rak. Aku yakin kau tahu tempatnya."

Alex bangkit dari sofa dan berjalan menghampiri rak bukunya. Ia mengambil buku yang dimaksud dan berkata, "Sudah kutemukan. Lalu?"

"Hadiahmu ada di halaman pertama."

Alex menjepit ponsel di antara telinga dan pundaknya sementara ia membuka halamwn pertama buku itu. Alisnya terangkat heran ketika tiga lembar kertas biru berbentuk persegi panjang jatuh ke lantai.

"Apa ini?" tanyanya sambil membungkuk memungut ketiga lembar kertas itu dan membaca tulisan tangan yang tertera di sana. "Voucher Permintaan Kepada Mia Clark?"

"Kau belum membaca tulisan kecil dibawahnya. Di dalam tanda kurung."

"Yang masuk akal dan tidak melanggar hukum," baca Alex.

"Apa maksudnya?"

"Maksudnya kau bisa mengajukan tiga permintaan kepadaku-apa saja, asalkan yang masuk akal dan tidak melanggar hukum-dan aku akan mengabulkannya."

Alex tertawa. "Jadi aku hanya bisa mengajukan tiga permintaan?"

"Ya."

"Jadi kalau aku memintamu menikah denganku minggu depan, kau mau melakukannya?"

"Yang masuk akal, Alex."

"Kata siapa menikah denganku tidak masuk akal?"

"Apakah kau senang kalau aku menikah denganmu karena terpaksa?"

"Astaga, tentu saja tidak."

"Kau lihat? Aku tahu kau akan bersikap masuk akal. Aku percaya padamu."

Alex tertawa. "Baiklah, akan kupikirkan baik-baik apa yang akan kuminta darimu dan memberikan alasan yang sangat masuk akal sampai kau tidak mungkin menolaknya. Malah aku sudah punya gagasan untuk permintaan pertamaku."

"Oh, ya? Apa itu?"

"Akan kuberitahu saat kau kembali ke sini."

"Oke."

Alex melirik jam tangannya dan berkata pelan, "Sudah lewat tengah malam di Minnesota, Clark. Selamat Natal."

"Selamat Natal, Alex."


Bab 32

TAHUN BARU sudah berlalu dan selama seminggu setelah itu Alex mendapati dirinya disibukkan oleh Karl dan persiapan konsernya yang dulu sempat tertunda. Karena tangan Alex sudah sembuh total, Karl tidak membuang-buang waktu dan langsung bekerja.

Alex tahu Mia sudah kembali ke New York, tetapi karena kesibukannya Alex belum sempat bertemu gadis itu. Alex hanya sempat menelponnya beberapa kali untuk menanyakan keadaan gadis itu, walaupun begitu mereka tidak bisa bicara lama-lama karena Alex harus kembali bekerja dan Mia... Mia juga sepertinya sibuk.

Sebenarnya setiap kali Alex bertanya apa yang sedang dilakukannya, Mia hanya menjawab, "Tidak ada yang penting." Awalnya Alex tidak terlalu memikirkannya, tetapi sekarang kalau dipikir-pikir lebih seksama, gadis itu memang terkesan sibuk. Kadang-kadang ia tidak menjawab teleponnya. Kadang-kadang Mia terkesan tidak bisa bicara lama-lama dan ingin segera menutup telepon.

Kening Alex berkerut sementara ia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja kerja di kantor produsernya yang katanya ingin membalas beberapa hal dengan mereka, tetapi mereka sudah menunggu selama tujuh menit dan produsernya masih belum muncul.Alex tahu ia tidak akan bisa berkonsentrasi pada pekerjaan kalau Mia Clark masih menghantui pikirannya. Ia tidak yakin apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ia merasa gadis itu menyembunyikan sesuatu. Ada yang aneh di sini. Dan ia bertekad mencari tahu. Karena itu ia harus menemui Mia sekarang.

"Karl, aku pergi dulu," kata Alex sambil berdiri dari kursi dan menyambar jaketnya.

"Woah, Alex, tunggu dulu. Kau mau ke mana?" tanya Karl kaget. "Pertemuan akan segera dimulai dan kau mau pergi begitu saja? Alasan apa yang harus kuberikan kepada produsermu?"

"Karl, aku percaya padamu," kata Alex sambil mengenakan jaketnya dan tersenyum kepada manajernya. "Tidak ada masalah yang tidak bisa kauatasi. Itu moto hidupmu, bukan? Dan soal alasan, aku yakin kau bisa memikirkan sesuatu. Kuserahkan semua masalah pekerjaan padamu. Dan sekarang aku harus menemui seseorang dan menyelesaikan sesuatu."

Karl mendesah berat, namun ia tersenyum. "Ini tentang Mia Clark, bukan? Sudah kubilang, Alex, gadis itu membuatmu bertekuk lutut."

Alex memutar bola matanya, tetapi tidak berkomentar. Ia berderap ke arah pintu kantor dan membukanya dengan satu sentakan cepat. Sebelum keluar, ia menoleh kembali kepada Karl dan berkata, "Terima kasih, Karl. Aku berutang padamu."

Karl tertawa dan mengibaskan tangannya. "Oh ya, utangmu padaku sudah setinggi Gunung Rushmore sekarang. Jangan khawatir. Akan kutagih suatu hari nanti."

*****

Gadis itu tidak menjawab telepon Alex menutup ponselnya dan mengarahkan mobilnya ke studio tari tempat Mia mengajar. Mungkin gadis itu sedang mengajar dan tidak bisa menjawab telepon.

Tetapi Mia tidak ada di studio tarinya. Setidaknya itulah yang dikatakan wanita setengah baya dan berkacamata di balik meja resepsionis. Lalu ada di mana Mia Clark sekarang? Astaga, Alex tidak akan senewen seperti ini kalau gadis ini menjawab ponselnya.

Saat itu seorang gadis berambut merah bsrjalan melewati meja resepsionis dan berkata pada si wanita berkacamata, "Agnes, aku pergi makan siang dulu, ya? Kau mau kubelikan sesuatu?"

"Tidak usah, Lucy. Terima kasih," sahut wanita yang dipanggil Agnes.

Alex baru hendak berbalik dan keluar dari gedung ketika ia mendengar seseorang memanggilnya dan bertanya, "Kau Alex, bukan?"

Alex berbalik dan menatap gadis berambut merah yang dipanggil Lucy oleh si resepsionis. Gadis itu terlihat tidak asing, pikir Alex. Ah, benar juga. Bukankah ia teman Mia?

"Ya, dan kau Lucy, teman C-maksudku Mia," sahut Alex.

Gadis berambut merah itu tersenyum. "Aku senang kau masih ingat padaku. Kau datang ke sini mencari Mia?"

"Ya, tapi katanya dia tak ada di sini. Kau tahu di mana dia?" tanya Alex.

Alis Lucy terangkat heran. "Oh, Mia belum memberitahumu? Dia berhenti mengajar di sini untuk sementara karena menerima tawaran untuk tampil dalam pertunjukan yang akan diselenggarakan Dee Black Company. Jadi kurasa kau bisa menemuinya di studio tari mereka."

*****

Dee bertepuk tangan dua kali dan berseru, "Oke, bagus sekali, Anak-anak. Latihan kita sampai di sini dulu. Besok kita lanjutkan lagi."

Mia mengusap kening dengan punggung tangan dan berusaha mengatur napasnya yang tersengal. "Mia sayang, kau luar biasa," puji Dee sambil menepuk bahu Mia ketika Mia berjalan melewatinya ke arah bangku tempat ia meletakkan tasnya. Mia mengucapkan terima kasih dengan pelan karena masih agak sulit bernapas. Kemudian ia menjatuhkan diri di samping tasnya, mengeluarkan botol air minumnya dan meneguknya.

Sudah seminggu terakhir ini is menghabiskan pagi dan siang berlatih di studio tari Dee Black Company. Ya, ia menerima tawaran Dee untuk tampil dalam pertunjukkan khusus yang direncanakan Dee. Ia tahu kondisi tubuhnya yang lemah akan menjadi gangguan, tetapi ia ingin menari. Demi Tuhan, ia penari. Ia harus menari. Dan ia juga ingin menari di atas panggung Broadway, walaupun hanya satu kali.

Ia sudah memikirkannya baik-baik, mempertimbangkan segalanya, bahkan sudah membahasnya dengan dokter dan orangtuanya-oh, tentu saja mereka tidak melompat kegirangan mendengar apa yang ingin dilakukannya, tetapi mereka memahami keinginan Mia dan akhirnya menyerah dengan enggan.Jadi Mia pun menerima tawaran Dee.

Masalahnya, sampai sekarang ia belum memberitahu Alex Hirano. Mia tidak tahu kenapa ia merasa gugup membayangkan reaksi laki-laki itu kalau sampai tahu tentang dirinya yang memutuskan untuk menari lagi. Gagasan memneritahu Alex tentang keputusannya terasa lebih menakutkan daripada ketika ia memberitahu orangtuanya. Tetapi Mia tahu ia harus segera memberitahu Alex.

Seseorang duduk di lantai di sampingnya dan membuyarkan lamunan Mia. Ia mengangkat wajah dan menatap Aaron yang tersenyum lebar kepadanya. "Capek?" tanyanya.

Mia mengangguk. "Kau tidak capek? Kau harus melanjutkan latihan untuk pertunjukan lain setelah ini, bukan?"

"Kau tahu aku sudah terbiasa dengan latihan berat," kata Aaron ringan. "Kau yang sudah terlalu lama bermalas-malasan, Mia. Karena itu latihan sedikit saja sudah membuatmu capek dan pucat seperti ini."

Mia hanya tersenyum.

"Tapi kau belum kehilangan sentuhanmu," lanjut Aaron. "Kau masih penari hebat seperti dulu. Dan aku senang bisa menari denganmu lagi."

"Aku juga senang bisa menari denganmu lagi, Aaron," balas Mia sungguh-sungguh. "Semua ini membangkitkan kenangan yang menyenangkan."

Aaron berdiri dengan satu gerakan anggun dan mengulurkan tangannya kepada Mia untuk membantunya berdiri. Mia tersenyun lebar, meraih tasnya dengan satu tangan dan menerima uran tangan Aaron dengan tangannya yang lain, membiarkan laki-laki itu menariknya berdiri dengan mulus.

"Aku masih tidak mengerti kenapa kau mengundurkan diri dari kelompok tari kita, tapi tidak apa-apa. Kurasa kau akan menceritakannya padaku kalau kau sudah siap nanti," kata Aaron sambil meremas tangan Mia yang masih berada dalam genggamannya dan menatap mata Mia dalam-dalam. Lalu ia tersenyum kecil. "Tapi untuk sekarang, mari kita tunjukkan kepada orang-orang betapa hebatnya kita di atas panggung."

Mia tertawa. Kata-kata Aaron membuat semangatnya timbul lagi. Ia melingkarkan kedua lengannya di tubuh Aaron dan memeluknya sejenak. "Terima kasih, Aaron," gumannya. "Sampai jumpa besok."

Mia berbalik dan langsung membeku di tempat ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu ruang latihan.

Alex Hirano.

Dan laki-laki itu sama sekali tidak tersenyum ketika ia menatap Mia dengan tajam dan kening berkerut.

*****

Melihat Mia yang memeluk Aaron Entah-Siapa-Namanya itu membuat darah Alex mendidih dan ia diserang desakan hebat untuk menyakiti laki-laki itu secara fisik. Namun ketika gadis itu berbalik dan jelas-jelas terkejut melihat Alex berdiri di sana, ia melihat kilatan perasaan bersalah di mata Mia dan hal itu membuatnya merasa sedikit lebih baik. Hanya sedikit.

Mia menggigit bibir dan berjalan ke arah pintu, menghampiri Alex. Ia mencoba menawarkan seulas senyum kecil kepada Alex, mungkin dengan harapan bisa meredakan amarah Alex. "Hei," sapa Mia pelan, lalu berdeham salah tingkah. "Sedang apa kau di sini?"

Alex menatap gadis yang berdiri gugup di hadapannya dengan mata disipitkan. "Lucu sekali," gumannya datar. "Aku juga ingin menanyakan hal yang sama padamu."

Mia membuka mulut. "Aku..."

"Kita bicarakan sambil makan siang saja," sela Alex datar, lalu mencengkram siku Mia dan menariknya pergi.

Empat puluh menit kemudian mereka duduk berhadapan di salah satu restoran kecil di dekat apartemen Alex. Alex masih marah, tetapi amarahnya sudah jauh berkurang selama perjalanan mereka dari studio tari ke restoran ini. Sekarang ia hanya menginginkan penjelasan. Jadi setelah pelayan mencatat pesanan mereka dan berbalik pergi, Alex menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan berkata, "Jadi kau akan ikut tampil dalam pertunjukan Dee."

Mia menarik napas dalam-dalam dan membasahi bibirnya. "Ya," jawabnya pelan. Matanya yang hitam terangkat menatap Alex dengan ragu. "Aku ingin melakukannya."

"Bukankah doktermu sudah memintamu berhenti menari karena kondisi jantungmu?"

'Ya, tapi karena hanya pertunjukan satu kali, dan karena aku bukan penari resmi kelompok mereka, aku tidak perlu menjalani latihan keras dari pagi sampai malam," Mia buru-buru menjelaskan. "Aku sudah menjelaskan kepada Dee bahwa aku hanya bisa ikut berlatih dari pagi sampai siang. Tentu saja aku tidak mengatakan alasan yang sebenarnya. Dia setuju. Padahal para penari lainnya yang ikut dalam produksi ini harus menjalani latihan rutin dan mempersiapkan pertunjukan mereka di malam hari seperti biasa. Aku sudah mengikuti latihan selama seminggu terakhir, dan sejauh ini tidak ada masalah."

Alex membuka mulut ingin mengatakan sesuatu, tetapi Mia lebih cepat. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan berkata, "Aku sudah memikirkannya baik-baik, Alex. Dan aku sudah membicarakannya dengan orangtuaku dan Dr. Schutz. Aku berjanji pada mereka akan berhenti kalau latihannya terbukti terlalu berat bagiku. Aku juga akan berjanji hal yang sama padamu. Aku tidak akan memaksakan diri. Percayalah padaku. Aku ingin sembuh "

Alex kembali membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi Mia kembali menyelanya. Sepertinya gadis itu belum selesai bicara. "Tapi aku juga ingin menari," katanya dengan suara yang lebih pelan. "Dulu aku mengundurkan diri sebelum benar-benar menunjukkan siapa diriku di atas panggung. Aku penari. Impianku sama seperti impian para penari lain. Aku ingin menari dalam pertunjukan besar di Broadway, di atas panggung, di bawah sinar lampu sorot."

Mia berhenti sejenak untuk menarik napas. Matanya terlihat berkaca-kaca dan kedua tangannya saling meremas di atas meja. Melihat Mia seperti itu membuat dada Alex terasa nyeri.

Setelah menelan ludah, Mia melanjutkan, "Aku ingin menari selama aku masih bisa, sebelum aku sama sekali tidak bisa menari lagi. Kurasa ini kesempatan terakhirku, Alex, tolong jangan menyela. Kau tahu benar aku membutuhkan jantung baru. Dr. Schultz sudah mengatakannya padaku. Sekarang kondisi jantungku memburuk dengan cepat. Kau sudah tahu itu. Jadi kuharap kau memahami keputusanku."

"Kau sudah memberitahu dokter dan orangtuamu. Kenapa kau belum memberitahuku? Kenapa sepertinya kau merahasiakan hal ini dariku?" tanya Alex penasaran.

Mia terlihat salah tingkah. Ia mengangkat bahu. "Entahlah," jawabnya jujur. "Kurasa aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir. Tapi aku memang berencana memberitahumu hari ini. Sungguh."

"Kapan pertunjukannya dilangsungkan?"

"Tiga minggu lagi."

Alex tidak berkata apa-apa. Ia sibuk berpikir sementara mengamati Mia yang pucat dan gugup di hadapannya. Gadis itu berkata tidak ingin membuat Alex khawatir, tetapi Alex selalu khawatir kalau menyangkut Mia. Kenapa gadis ini selalu membuatnya khawatir? Alex tahu dirinya tidak bisa tenang selama tidak memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa Mia baik-baik saja. Lagi pula, Alex pernah berjanji pada ibu Mia bahwa ia akan menjaga Mia. Jadi... Baiklah, inilah yang akan dilakukannya. Ia mengeluarkan secarik kertas biru berbentuk persegi panjang dari saku celananya, meletakkannya di atas meja dan mendorongnya ke arah Mia.

Awalnya Mia menunduk, menatap kertas yang disodorkan kepadanya dengan bingung, namun setelah mereka mengenali kertas itu, matanya melebar kaget dan tubuhnya menegang. Ia menatap Alex dan kertas di atas meja itu bergantian.

"Kalau kau masih ingat, itu Voucher Permintaan Kepada Mia Clark yang kauberikan kepadaku sebagai hadiah Natal," kata Alex tenang. "Aku memutuskan mengajukan permintaan pertamaku sekarang."

"Tapi... tapi..." Mia tergagap sejenak. Lalu ia mengerjap dan menatap Alex dengan alis berkerut. "Apakah kau akan memintaku keluar dari pertunjukan? Apakah kau akan memintaku membatalkan keputusanku untuk bergabung? Apakah kau akan memintaku berhenti menari?" tuduhnya.

Alex membuka mulut hendak menjawab, tetapi terpaksa menutup mulutnya kembali ketika pelayan datang membawakan makanan mereka. Setelah si pelayan pergi, Alex mencondongkan tubuh ke depan dan berkata, "Kurasa seratus lembar kertas birumu itu juga tidak bisa membuatmu berhenti dari pertunjukan itu. Bukan, yang ingin kuminta bukan itu."

Tubuh Mia berubah santai. Ia mengerjap menatap Alex dengan curiga. "Lalu apa permintaanmu kalau bukan itu?"

"Mulai hari ini kau akan tinggal di apartemenku."

Mata Mia terbelalak kaget. "Apa?"

Alex bergegas menjelaskan, "Clark, ibumu pernah memberitahuku bahwa ia dan ayahmu tidak suka melihatmu tinggal sendirian di apartemenmu. Mereka lebih tenang kalau kau kembali tinggal bersama mereka di Huntington. Aku sangat mengerti alasan kekhawatiran mereka dan aku yakin kau juga mengerti. Mereka mengkhawatirkan kesehatanmu dan mereka khawstir sesuatu terjadi padamu."

Mia mengerjap, menunggu Alex melanjutkan. Sepertinya ia masih terlalu kaget untuk berkomentar."

Tapi aku tahu kau pasti merasa repot kalau harus mondar-mandir dari Huntington ke New York setiap hari, terlebih lagisekarang kau harus berlatih untuk pertunjukan yang direncanakan Dee itu," lanjut Alex. "Dan kurasa kau tidak bisa tinggal bersama temanmu Lucy atau teman-temanmu yang lain tanpa menjelasksn kondisi jantungmuvkepada mereka. Tapi kau bisa tinggal bersamaku. Aku sudah tahu kondisimu. Kau sudah pernah tinggal di apartemenku. Lagi pula, orangtuamu pasti akan lebih tenang kalau ada orang yang menemanimu."

Mia menatap Alex dengan ragu. "Tapi..."

"Aku tidak memintamu memibdahkan semua barangmu ke apartemenku, Clark. Kau boleh tetap mempertahankan apartemenmu yang sekarang, jadi kau hanya perlu membawa barang-barang yang benar-benar kaubutuhkan," tambah Alex.

"Tapi kenapa kau melakukan ini?" tanya Mia sambil menatap Alex lurus-lurus. "Kenapa kau mau repot-repot membantuku?"

Alex menghela napas dan mengembuskannya dengan pelan. "Kurasa kau tahu alasannya, Clark," gumannya. "Lagi pula, aku sudah berjanji pada ibumu bahwa aku akan menjagamu."

Wajah Mia merona samar sementara ia mengigit bibir dan mengaduk-ngaduk sup jamur di hadapannya."Kau tahu permintaanku ini masuk akal, Clark. Dan kau sudah berjanji akan nengabulkan permintaanku yang masuk akal," kata Alex sambil mengetuk kertas biru di atas meja dengan jari telunjuknya.

"Kau tahu?" guman Mia sambil mengangkat wajah dan kembali menatap Alex. Seulas senyum kecil tersungging di bibirnya. "Kau seharusnya menggunakan vouchet itu untuk memintaku melakukan sesuatu untukmu, bukannya malah menggunakannya untuk kepentinganku."

"Oh, jangan salah paham, Clark. Aku mengajukan permintaan itu demi diriku sendiri. Demi ketenangan jiwaku," bantah Alex.

"Ketenangan jiwamu?" ulang Mia dengan alis terangkat. Alex mengangguk. "Dan supaya aku bisa kembali berkonsentrasi pada pekerjaanku," tambahnya.

Mia mengerutkan kening tidak mengerti.

"Kau mau tahu keuntungan lain bagiku kalau kau tinggal bersamaku? Aku bisa minum kopimu setiap pagi," kata Alex sambil tersenyum lebar. "Bagaimana? Apakah alasan itu cukup untuk membuatmu setuju mengabulkan permintaanku?"

"Kurasa aku tidak punya pilihan lain, bukan?" Mia balas bertanya.

Alex menggeleng. "Tidak."

Mia menatap voucher birunya yang ada di atas meja. Lalu ia meraihnya dan memasukkannya ke dalam saku. "Baiklah, kukabulkan permintaanmu."

Dan Alex yakin ia belum pernah merasa selega itu seumur hidupnya.

Bab 33

MIA meletakkan tabung obatnya ke atas meja dapur dengan tangan gemetar dan menarik napas kesal. Kepalanya terasa berat dan dadanya terasa nyeri. Setelah menarik napas panjang beberapa kali, ia mencoba membuka tutup tabung obatnya lagi. Tetap tidak bisa. Tangannya terasa seperti agar-agar hari ini.

Tepat pada saat itu ia mendengar bunyi pintu dibuka dan Mia mengangkat wajah penuh harap. Sedetik kemudian terdengar suara Alex yang memanggilnya, "Clark?"

Alex sudah pulang, pikir Mia lega. Ia tidak beranjak dari bangku tinggi di dapur karena tidak ingin jatuh tertelungkup di lantai setelah berjalan beberapa langkah. Ia sedang merasa tidak sehat dan tidak bertenaga, karena itu ia tetap duduk di tempatnya dan berseru, "Di dapur,"

Sesaat kemudian Alex muncul di dapur. Keningnya berkerut cemas ketika melihat wajah Mia yang lesu. "Hei, Clark, kau tidak apa-apa?" tanyanya otomatis mengulurkan tangannya dan meraba kening Mia.

"Aku hanya merasa agak lelah hari ini," aku Mia cepat. Ia yakin wajahnya tidak lagi pucat setelah Alex menyentuhnya, karena pipinya mulai terasa hangat. "Tapi aku tidak bisa membuka ini." Ia mengacungkan tabung obatnya.

"Sini, berikan padaku," kata Alex. "Sudah waktunya minum obat?"

Mia mengangguk. Ia mengamati Alex buka tabung obatnya dengan mudah dan mengeluarkan obat-obat lain yang harus diminum Mia malam ini dari lemari obat.

Sudah dua minggu terakhir ini Mia tinggal bersama Alex dan sejauh ini semuanya berjalan tanpa masalah. Mia pergi ke studio tari untuk berlatih setiap pagi-diantar Alex yang juga harus pergi bekerja-dan kembali ke apartemen Alex di siang hari. Kalau ia merasa sehat, ia akan mampir ke Small Steps sepulangnya dari latihan untuk menemui Lucy sebelum pulang dan menunggu Alex pulang di sore hari.

Orangtuanya, terutama ibunya, merasa lega dan sepenuhnya mendukung keputusan Mia untuk tinggal bersama Alex, sedangkan ayahnya agak ragu membiarkan putri semata wayangnya tinggal berdua dengan laki-laki. Namun ayahnya kemudian menyimpulkan bahwa ia lebih suka melihat ada seseorang yang menemani Mia dan memastikan Mia baik-baik saja daripada Mia harus tinggal sendirian dan tidak ada orang yang tahu seandainya terjadi sesuatu. Dan setelah orangtuanya datang untuk bertemu dan berbicara dengan Alex minggu lalu, ayahnya merasa lebih yakin dengan keputusannya.

"Ini. Minun obatmu." Suara Alex membuyarkan lamunan Mia.

Ia menelan semua obatnya dengan patuh dan meneguk air yang sudah disediakan Alex untuknya. "Bagaimana harimu?" tanya Mia sambil meletakkan gelasnya yang sudah kosong di atas meja.

"Sibuk. Tapi Karl jauh lebih sibuk lagi," kata Alex sambil tersenyum. "Kau sendiri?"

Mia mengangkat bahu dengan pelan. "Aku agak kesulitan mengikuti latihan hari ini," akunya muram. "Kakiku sempat kram beberapa kali."

"Besok akan lebih baik," hibur Alex. "Tapi kau bisa menceritakan semuanya kepadaku nanti setelah aku mandi. Kau tahu, mungkin tentang bagaimana Rogers menginjak kakimu ketika kalian menari atau tentang Rogers yang tidak bisa mengikuti irama dengan benar."

Mia tertawa. Alex selalu berhasil membuatnya tertawa, bahkan ketika perasaannya buruk seperti sekarang. "Aaron tidak pernah menginjak kakiku, Alex, dan kau tahu dia penari yang sangat berbakat," katanya. "Apa yang pernah dilakukannya padamu sehingga kau tidak bisa bersikap ramah padanya?"

Alex mengangkat sebelah alisnya, namun tidak menjawab. "Aku mandi dulu," katanya dan berjalan keluar dari dapur. Namun ketika ia menyadari Mia tetap duduk diam di tempat, ia berbalik dan bertanya, "Clark apa lagi yang kau tunggu di situ? Pergilah ke ruang duduk. Di sana lebih hangat."

Mia memang ingin pergi ke ruang duduk, tetapi tadinya ia berencana menungu sampai Alex pergi sebelum mencoba berjalan.

"Kenapa? Kau bisa berdiri?" tanya Alex lagi ketika Mia tidak menjawab.

Mia menggigit bibir dan turun dari bangku tinggi. Ketika kakinya menginjak lantai, ia merasa kakinya cukup kuat menopangnya. Mungkin ia sudah bisa berjalan tanpa masalah.

Alex mendesah dan berkata, "Kau tahu, Clark, kalau kau membutuhkan bantuan, yang perlu kaulakukan hanya memintanya."

Mia memekik kaget ketika tiba-tiba sudah bwrada dalam gendongan Alex. "Alex! Aku tidak perlu digendong. Aku bisa jalan sendiri!" protenya.

"Baiklah, kalau begitu kita anggap saja aku yang ingin menggendongmu. Oke?" kata Alex sambil berjalan ke ruang duduk dengan langkah lebar. Ia mendudukkan Mia yang memberengut di sofa dengan perlahan, lalu menegakkan tubuh dan tersenyum lebar. "Hei, coba lihat. Wajahmu tidak pucat lagi. Kurasa aku harus sering-sering menggendongmu."

Mia melotot kepada Alex, namun Alex hanya tertawa dan berjalan masuk ke kamarnya. Kondisi tubuh Mia memang tidak menentu. Ada kalanya ia merasa sangat sehat dan bisa beraktivitas seperti biasa. Namun ada kalanya, seperti hari ini, ia merasa tidak bertenaga, sesak napas, dan sakit kepala. Mia menyadari akhir-akhir ini ia lebih sering merasa sakit daripada merasa sehat. Itu berarti obat-obatan baru yang duberikan dokternya sama sekali tidak membantu.

Mia mendesah berat dan meraih remote control untuk menyalakan CD player. Ia berbaring di sofa dan memejamkan mata sementara lagu yang akan mereka gunakan dalam pertunjukan khusus Dee Black mengalun di ruang duduk. Mia tidak bisa menari saat ini karena ia harus memulihkan diri untuk latihan besok, tetapi ia bisa berlatih dengan otaknya. Ia bisa mengulangi setiap gerakan dalam pikirannya. Maka itulah yang dilakukannya saat ini, mencoba mengingat dan membayangkan setiap gerakan dalam tariannya.

Di tengah-tengah "latihan"-nya ia mendengar bel interkom. Mia membuka mata dan menoleh ke arah interkom yang terpasang di dekat pintu. Bel berbunyi lagi. Ia bangkit dari duduk dan mencoba berdiri, sebelum berjalan dengan perlahan menghampiri alat itu. Ia menekan tombol interkom untuk menjawab, namun ketika ia baru membuka mulut, ia sudah disela oleh orang yang menekan bel di bawah sana.

"Alex? Kenapa lama sekali baru menjawab? Ini aku. Buka pintunya. Aku sudah hampir beku di sini."

Mia mengerjap mendengar suara Ray. Lalu tanpa berpikir panjang, ia menekan tombol untuk membuka pintu gedung dan membiarkan Ray masuk. Beberapa menit kemudian bel pintu apartemen berbunyi dan Mia membuka pintu.

"Hai, Alex, apa..." Ray menghentikan kata-katanya dan menatap Mia dengan mata terbelalak heran. "Mia? Kenapa kau ada di sini?"

Ketika mendengar pertanyaan Ray, Mia baru sadar bahwa ia sama sekali tidak pernah memikirkan kemungkinan seperti ini. Kemungkinan bahwa Ray atau Karl atau siapa pun akan datang ke apartemen Alex dan mempertanyakan keberadaannya di sana. Jadi ia sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya atau dikatakannya. Akhirnya ia memaksa bibirnya tersenyum kecil dan menyapa, "Hai, Ray. Masuklah."

Ray melangkah masuk, namun masih terlihat bingung. "Alex ada di rumah?"

"Ya. Dia sedang mandi," jawab Mia dan berjalan pelan kembali ke ruang duduk.

"Tapi kenapa kau ada di sini? Bukankah tangan Alex sudah sembuh? Apakah dia masih memaksamu membantunya?" tanya Ray dan mengikuti Mia ke ruang duduk. "Dan omong-omong, apa yang terjadi padamu? Kau sakit?"

Mia mendudukkan dirinya di sofa dan memijat-mijat pelipisnya. Kepalanya berputar-putar mendengar rentetan pertanyaan Ray.

"Clark tinggal di sini sekarang, Ray."

Mereka serentak menoleh ke arah Alex yang berdiri di ambang pintu ruang duduk sambil mengeringkan rambut dengan handuk.

"Apa?" tanya Ray tidak mengerti sementara Mia melemparkan tatapan tajam dan memperingatkan ke arah Alex.

Namun Alex hanya mengangkat sebelah bahunya dan berkata pada Mia, "Cepat atau lambat orang-orang akan tahu, Clark. Kau tahu itu."

Alis Ray berkerut. Ia menatap Mia dan Alex bergantian, lalu berseru, "Salah satu di antara kalian, tolong jelaskan padaku apa yang sedang kalian bicarakan."

*****

Ray menatap Mia tanpa berkedip. Ia baru saja mendengar penjelasan panjang-lebar dari gadis itu dan kakaknya, dan Ray hampir tidak mempercayai sepatah kata pun yang didengarnya. "Katakan padaku kalian hanya bercanda," katanya, memecah keheningan di apartemen Alex.

Mia menoleh menatap Alex yang duduk di sampingnya di sofa dam menghela napas dalam-dalam. Lalu ia menoleh kembali ke arah Ray dan balas bertanya dengan nada lelah, "Tentang apa, Ray? Kau ingin aku hanya bercanda soal apa? Penyakitku? Kurasa itu bukan sesuatu yang bisa dijadikan bahan tertawaan."

Ray mengerjap dan terlihat malu. "Bukan itu maksudku, Mia. Maafkan aku. Kurasa aku hanya... Maksudku, semua ini terlalu mengejutkan. Aku tidak pernah menduga... Aku hanya kesulitan mempercayainya," katanya cepat dan agak tergagap. "Tapi kenapa kau tidak pernah memberitahuku selama ini?"

"Karena tidak ada alasan bagiku untuk memberitahumu. Atau siapa pun juga," sahut Mia sambil mengangkat bahu.

Alis Ray berkerut samar. "Tapi kau memberitahu Alex," katanya sambil melirik kakaknya.

Kali ini Alex membuka suara. "Itu karena aku menemukan obatnya tanpa sengaja dan juga karena aku menemukannya ketika ia mendapat serangan. Jadi dia tidak punya pilihan lain selain menceritakan semuanya kepadaku."

Ray terdiam sejenak, lalu kembali menatap Mia. "Tapi kau juga bisa memberitahuku," ia bersikeras.

Kilatan kesal berkelebat di mata Mia dan tubuhnya menegang. "Maaf, Ray tapi aku tidak tahu kenapa aku harus memberitahumu tentang penyakitku," tukasnya. "Kalau Alex tidak menemukan obatku dan tidak melihatku ketika aku mendapat serangan, aku juga tidak akan memberitahunya."

Saat itu Alex menyentuh pundak Mia sekilas dengan tangannya yang direntangkan di punggung sofa. Mia menoleh menatapnya dan dan Ray bisa melihat ketegangan di bahu Mia perlahan-lahan menguap.

"Kurasa aku perlu beristirahat sekarang," guman Mia perlahan. "Kalian boleh meneruskan obrolan kalian."

Ray mengamati Mia yang bangkit dari sofa dan berjalan perlahan ke arah kamar tamu yang kini ditempatinya. Gadis itu terlihat tidak sehat. Ray belum pernah melihatnya seperti ini. Semua ini terasa sangat asing bagi Ray.

Alex menghela napas pelan dan menatap Ray. "Tunggu di sini," gumannya sebelum bangkit dan berjalan menyusul Mia.

Ditinggal sendiri, Ray kembali memikirkan apa yang sudah didengarnya malam ini. Mia sakit parah. Ray baru mengetahui hal itu hari ini, sedangkan kakaknya sudah lama tahu. Ia tahu tidak sepantasnya berpikir seperti ini, tetapi ia merasa Mia seharusnya lebih percaya padanya daripada kakaknya. Bagaimanapun, Ray-lah yang lebih dulu mengenal Mia. Ray-lah yang lebih dulu dekat dengan Mia. Lalu kenapa Alex yang mendapatkan seluruh kepercayaan gadis itu?

Dan tadi ketika kedua orang itu bertatapan... Ray mengernyit mengingat bagaimana Mia berubah lebih tenang ketika ia menatap Alex. Seharusnya dirinyalah yang ditatap Mia seperti itu. Seharusnya dirinyalah yang memberikan ketenangan bagi Mia.

"Dia sedang tidak sehat hari ini. Tolong jangan membuatnya kesal."

Suara Alex yang lelah menyentakkan Ray dari pikirannya yang kacau. Ia mendongak dan melihat kakaknya duduk kembali di sofa sambil mengembuskan napas panjang.

"Dan jangan lampiaskan kecemburuanmu padanya," lanjut Alex menatap Ray lurus-lurus. Ada nada memperingatkan dalam suaranya yang pelan.

Tidak ingin membicarakan tentang kecemburuan pada kakaknya, Ray mengalihkan pembicaraan. "Kalau jantungnya tidak memungkinkan baginya untuk menari lagi, kenapa kau diam saja dan membiarkannya ikut dalam pertunjukan Dee? Kenapa kau tidak menghentikannya?"

"Reaksi pertamaku ketika tahu dia menerima tawaran Dee adalah ingin berteriak padanya dan memaksanya membatalkan niatnya," aku Alex. "Tapi kurasa aku bisa memahami alasannya."

Ray mendengus.

"Kau juga penari. Coba tempartkan dirimu di posisinya," sela Alex, mengabaikan dengusan Ray. "Kalau kau tidak bisa menari lagi, kalau kau tidak bisa menjadi b-boy lagi dan tidak bisa melakukan semua gerakan yang biasa dilakukan para b-boy, bagaimana perasaanmu?"

Ray tidak menjawab, tetapi ia memikirkan kata-kata kakaknya. Kalau ia tidak bisa menjadi b-boy lagi, apa yang harus dilakukannya? Entahlah. Mungkin ia akan depresi, lalu... Entahlah, ia tidak pernah benar-benar memikirkannya.

"Apabila kau mendapat kesempatan menari sekali lagi sebelum harapan untuk menari itu pupus sama sekali, bukankah kau akan mengambil kesempatan itu?" lanjut Alex.

Ya, batin Ray, namun tidak menyuarakannya. Mereka berdua tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Lalu Ray bertanya, "Apakah menurutmu dia akan baik-baik saja?"

"Dia akan baik-baik saja," sahut Alex yakin. "Dia pasti akan baik-baik saja."

Ray mengangkat wajah menatap kakaknya dengan pandangan bertanya. "Bagaimana kau bisa seyakin itu, Alex? Bagaimana kau bisa setenang itu? Jujur aja, saat ini pikiranku sangat kacau. Aku merasa tidak berdaya, tidak berguna, dan tidak bisa berhenti mencemaskannya. Jadi katakan padaku bagaimana kau bisa setenang ini? Kau tidak khawatir?" desaknya.

Alex mengernyit dan rahangnya mengeras. Ia menelan ludah dengan susah payah dan Ray melihat tangan Alex terkepal di sisi tubuhnya. Kemudian ia berdiri dari sofa, berjalan ke arah jendela dan berdiri di sana tanpa berkata apa-apa. Hanya memandang kosong ke luar jendela. Selama satu menit penuh apartamen itu diselimuti keheningan. Lalu Alex menghela napas dan memecah keheningan. "Aku khawatir," katanya lirih, tanpa memandang Ray. Tangannya terbuka dan terkepal lagi di sisi tubuhnya. "Aku takut. Tapi aku tidak mungkin menunjukan apa yang kurasakan di hadapannya."

Suara kakaknya terdengar serak, tercekat, dan ia belum pernah melihat kakaknya seperti ini.

"Setiap kali kondisinya memburuk dan dia hampir tidak bisa berjalan, aku bisa merasakan rasa frustasinya dan aku berharap aku bisa memberikan seluruh tenagaku kepadanya," lanjut Alex, masih dengan nada serak dan pandangan menerawang yang sama. "Setiap kali ia mendapat serangan dan menangis menahan rasa sakit, aku berharap bisa menggantikannya dan mengambil semua rasa sakit itu darinya supaya dia tidak perlu merasakan rasa sakit sedikit pun." Alex menelan ludah lagi. "Dan ketika dia jatuh pingsan, aku berani bersumpah aku merasakan jantungku berhenti berdetak dan ketakutan besar, yang belum pernah kukenal. Seluruh diriku terasa lumpuh. Pada saat seperti itu aku mulai membayangkan kemungkinan terburuk, lalu aku sadar aku sama sekali tidak siap menerima kemungkinan terburuk, lalu aku sadar aku sama sekali tidak siap menerima kemungkinan terburuk. Dan kesadaran itu membuat ketakutan yang sudah ada berlipat ganda."

Ray menahan napas mendengar pengakuan Alex. Ia bisa melihat dan merasakan kekhawatiran kakaknya. Mereka memang memiliki hubungan yang dekat sejak kecil, namun Ray merasa inilah pertama kalinya Alex mencurahkan isi hatinya dengan jujur. Mungkin ketakutan dan kekhawatiran yang dipendamnya secara paksa selama ini mulai mencekiknya, membuatnya sulit bernapas, dan ia harus menceritakannya kepada seseorang sebelum ia menjadi gila.

"Tapi aku tidak bisa menunjukan kelemahan seperti itu di hadapannya. Dia membutuhkan seseorang yang bisa mendukungnya, seseorang yang bisa membantunya ketika dibutuhkan, yang bisa diandalkannya, seseorang yang bisa meyakinkannya bahwa segalanya akan baik-baik saja." Alex meboleh ke arah Ray dan tersenyum samar. "Jadi kuputuskan aku harus menjadi orang seperti itu."

Sejenak Ray tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa terpana dalsm diam ketika menyadari perasaan Alex. Lalu ia mengembuskan napas yang ditahannya dan membuka mulut menyanyakan hal yang sebenarnya sudah diyakininya, tetapi ia hanua ingin mengucapkannya untuk menegaskan kenyataan. "Kau... sangat mencintainya, bukan?"

Alex mengerjap. Matanya yang muram terlihat berkaca-kaca ketika menggumankan dua patah kata dari dasat jiwanya dengan lirih.

"Sepenuh hati."

----tbc---- 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Berbagi Pengalaman Template by Ipietoon Cute Blog Design