Jumat, 06 November 2015

lanjutan SUNSHINE BECOMES YOU

Bab 19

"AKHIRNYA ayam kung pao-ku datang," guman Karl gembira ketika makanan kesukaannya diantarkan kepadanya. Ia mendongak menatap wanita kurus berambut keriting yang mengantarkan makanannya dan tersenyum lebar. "Terima kasih, Mrs. Li. Asal anda tahu, ayam kung pao anda yang paling enak di seluruh Chinatown."

Mrs. Li, wanita setengah baya pemilik restoran Eastren Sea di Chinatown, yang sudah sering menerima pujian Karl, menepuk bahu Karl dengan pelan. Simpan bualanmu, anak muda, dan makanlah," katanya, walaupun ia tertawa senang menerima satu pujian lagi dan Karl Jones yang terkenal pandai bicara. Ia menoleh ke arah Alex dan bertanya, "Kau bisa makan dengan tangan seperti itu?"

Alex mengalihkan tatapan dari ponselnya di atas meja dan tersenyum. "Aku sudah bisa menggerakkan tanganku, Mrs. Li. Tenang saja."

"Kalau tanganmu sudah sembuh, kita bisa mulai merencanakan konsermu yang tertunda," kata Karl setelah Mrs. Li meninggalkan mereka. "Mungkin di bulan Februari atau Maret?"

"Kita akan membahas konser itu setelah tanganku benar-benar sembuh," sahut Alex datar sambil kembali menatap ponselnya dengan kening berkerut samar. "Tidak perlu terburu-buru."

Karl mengangkat sebelah alis. "Kalau aku tidak salah ingat, dulu kau sendiri yang tidak sabar ingin cepat sembuh dan segera kembali bekerja. Sekarang kelihatannya kau tenang-tenang saja. Sudah terbiasa hidup bermalas-malasan?"

"Bukan bermalas-malasan," bantah Alex. "Hanya berusaha menikmati waktu libur yang tersisa."

"Baiklah, terus saja bermalas-malasan," gerutu Karl. "Biarkan manejermu ini yang menghadapi orang-orang yang mendesak ingin tahu kapan kau bisa mengadakan konser."

Alex terkekeh pelan. "Bukankah Karl Jones bisa mengatasi masalah apa pun?"

"Tentu saja. Tidak ada yang tidak bisa kuatasi," kata Karl tegas. "Tapi aku butuh beberapa dokumen yang waktu itu kutinggalkan di apartemenmu. Kita bisa mampir dulu di sana setelah makan siang?"

"Tentu."

"Apakah kita akan bertemu Mia di apartemenmu?" tanya Karl penuh harap.

Alex mendongak menatap temannya. "Memangnya kenapa?"

Karl mengangak bahu. "Karena sudah lama aku tidak melihatnya. Jadi apakah dia ada di apartemenmu?"

"Tidak," sahut Alex. "Tadi katanya dia janji makan siang dengan ibunya."

"Sayang sekali," desah Karl. "Kalau begitu, tolong sampaikan salamku kalau kau bertemu dengannya. Tidak, tidak usah. Biar aku yang menelponnya nanti. Mungkin aku akan mengajaknya makan malam hari ini."

"Tidak mungkin," sela Alex cepat. Terlalu cepat.

"Kenapa tidak?"

"Karena kami akan menghadiri pesta yang diadakan Dee Black Company."

Alis Karl terangkat heran. "Oh? Bukankah waktu itu kau bilang kau tidak mau pergi?"

"Aku berubah pikiran." Alex kembali melirik ponselnya. "Benar juga. Aku tidak tahu nomor apartemennya. Aku harus bertanya kepadanya," gumannya sambil meraih ponsel.

Karl mengerjap, lalu perlahan-lahan seulas senyum lebar tersungging di bibirnya. "Alex, apakah kau sedang mencari-cari alasan untuk menelpon Mia?"

"Apa?" Alex berhenti mengutak-atik ponselnya. "Tentu saja tidak."

Karl tetkekeh. "Benarkah? Tapi asal kau tahu, kau tidak pelu alasan untuk menelpon gadismu."

"Dia bukan gadisku," gerutu Alex pelan.

"Ah, tapi kau ingin dia menjadi gadismu."

Alex mengabaikan Karl. "Aku tidak mendengar kata-katamu," katanya datar dan kembali memusatkan perhatiannya kepada ponsel di tangannya. Ia menekan beberapa tombol, lalu menempelkan ponsel ke telinga.

Beberaa detik kemudian di ujung sana terdengar sura yang sudah sangat ingin di dengarnya. "Ya, Alex?"

Tanpa sadar senyuman kecil tersungging di bibir Alex sebelum ia berkata, "Kau belum memberitahu aku nomor apartemenmu."

*****

Mia mendesah pelan dan meletekkan majalah Cosmopolotan edisi bulan lalu di kursi kosong di sebelah kanannya. Hanya beberapa kursi di antara deretan kursi di sepanjang dinding putih itu yang terisi. Seorang pria tua duduk sendirian di kursi paling ujung, lalu ada sepasang pria dan wanita stengah baya, setalah itu ada Mia dan ibunya.

Mia menoleh menatap ibunya yang duduk di sebelah kirinya. "Kau tahu, Mom, aku bisa datang sendiri. Mom tidak perlu menemaniku," katanya.

Ibunya mengangkat wajah dari majalah O edisi terbaru di pangkuannya dan tersenyum. "Aku mau menemanimu sayang." Ia mengulurkam sebelah tangannya dan mengemgam tangan Mia. "Semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir."

Mia memaksakan seulas senyum, karena walaupun ia meragukan kata-kata ibunya, ia merasa ibunya ingin melihatnya tersenyum. "Ya, tentu saja. Semuanya akan baik-baik saja," gumannya. Lalu ia mengalihkan pembicaraan, "Setelah ini kita akan makan siang di mana? Atau Mom harus kembali ke kantor?"

Ibunya menggeleng. "Tidak, aku tidak akan kembali ke kantor hari ini. Jadi, kita bisa makan siang bersama. Oh, terserah saja kau mau makan di mana, sayang. Ada ide?"

Mia berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil. "Bagaimana kalau makanan Italia? Aku tahu ada satu restoran Italia yang enak di Upper West Side. Moratti's. Mom pernah mendengarnya?"

"Tidak. Kau sudah pernah pergi ke sana?"

"Ya, bersama Alex."

"Oh, temanmu yang tangannya patah itu?"

"Tangannya tidak patah, Mom."

"Ya, ya. Kau tahu maksudku. Apa kabarnya?"

"Tangannya sudah hampir sembuh."

"Itu bagus." Ibunya kembali menunduk menatap majalah O di pangkuannya, tetapi sesaat kemudian ia kembali menatap Mia. "Omong-omong, Mia, apakah dia tahu?"

"Tahu apa?" tanya Mia. Tetapi kemudian ia mengerti maksud ibunya. Mia mengalihkan pandangannya dan berkata pelan, "Tidak, dia tidak tahu," guman Mia sekali lagi dengan lebih pelan.

"Apakah kau berencana memberitahunya?"

Ponsel Mia berbunyi nyaring, menyelamatkannya dari keharusan menjawab ibunya. Ia bergegas mengeluarkan ponsel dari tas tangannya. Jantungnya mulai berdebar lebih cepat ketika ia melirik nama yang muncul di layar ponsel. Mia menarik napas dalam-dalam sebelum menempelkan ponsel ke telinga dan memastikan suaranya terdengar biasa ketika menyapa, "Ya, Alex?"

"Kau belum memberitahuku nomor apartemenmu," kata Alex di ujung sana.

"Apa?" tanya Mia tidak mengerti.

"Nomor apartemen. Sudah kubilang, aku akan menjemputmu malam ini, tapi aku lupa menanyakan nomor apartemenmu. Aku hanya tahu alamatmu bahwa apartemenmu di lantai dua," kata Alex.

"2-A. Nomor apartemenku 2-A," sahut Mia. "Tapi kalau kau sudah tiba, kau hanya perlu menelponku dan aku akan turun."

"Kita lihat saja nanti."

Mia tidak mengerti, tapi tidak bertanya.

"Jadi... apa yang sedang kaulakukan?"

Mia mengigit bibir dan melirik ibunya yang sudah kembali membaca majalahnya "Aku bersama ibuku."

"Sedang makan siang?"

"Mm... Ya. Kau sendiri?"

"Aku juga sedang makan siang. Bersama Karl. Dia titip salam untukmu," sahut Alex. Ia terdiam beberapa detik, lalu tiba-tiba berkata, "Tidak, aku tidak akan membiarkanmu bicara dengannya. Aku sudah menyampaikan salammu, bukan? Jadi sekarang diamlah."

Mia mengerjap kaget. "Apa?"

"Maaf. Kata-kata tadi itu untuk Karl, bukan untukmu," kata Alex cepat.

Mia tersenyum kecil. "Sampaikan salamku pada Karl."

Alex menggerutu tidak jelas."Kalian makan siang di mana?" tanya Mia.

"Chinatown."

"Kedengarannya menyenangkan."

"Aku akan mengajakmu ke sini lain kali," kata Alex. "Menurut Karl, ayam kung pao Mrs. Li yang paling enak di seluruh Chinatown."

Mia tertawa kecil. "Benarkah? Aku percaya saja padanya."

Tiba-tiba Mia mendengar seseorang memanggilnya, "Mia? Dr. Schultz akan menemuimu sekarang."

"Oh, Alex, aku harus pergi sekarang," kata Mia kepada Alex. "Mm... Sampai jumpa nanti malam."

Mia menutup ponsel dan berdiri dari kursi, disusul oleh ibunya. Mereka memasuki ruang periksa lalu menyapa dokter setengah baya dan berkacamata yang sudah mereka kenal baik.

Dr. Harold Schultz, salah seorang kardiolog terbaik di rumah sakit itu, menyapa ibu Mia, lalu menoleh menatap Mia sambil tersenyum ramah. "Jadi, Mia, bagaimana keadaanmu? Apakah ada perkembangan atau perubahan yang harus kuketahui?"

*****

"Aku akan nengambil dokumen yang kauperlukan," kata Alex setelah ia dan Karl masuk ke apartemennya. "Kalau kau mau minum, ambil saja sendiri di dapur."

Alex berjalan ke kamar tidurnya sementara Karl berjalan ke dapur. Setelah menemukan dokunen yang dicarinya, ia keluar dari kamar dan berjalan ke ruang duduk.

"Hei, Alex," panggil Karl dari dapur. Alex agak heran mendengar nada sura Karl yang serius.

"Apa?" seru Alex dari ruang duduk.

Tidak lama kemudian Karl muncul di ruang duduk sambil membawa tabung plastik kecil berwarna cokelat. Ia menatap Alex dengan kening berkerut curiga.

"Apa?" tanya Alex sekali lagi.

"Apakah ada sesuatu yang tidak kauceritakan kepadaku?" tanya Karl. Nada suaranya masih terdengar serius. Dan khawatir.

"Apa maksudmu?" tanya Alex tidak mengerti.

Karl menacungkan tabung plastik yang dipegangnya. "Pil-pil ini. Apakah ini milikmu?"

Alex menggeleng. "Bukan. Di mana kautemukan itu?"

"Di meja dapur," sahut Karl pendek.

"Mungkin itu milik Clark," tebak Alex.

"Milik Mia ?" guman Karl, lebih kepada dirinya sendiri

"Mungkin ketinggalan di sini ketika dia datang pagi tadi." Alex mengangkat bahu.

Karl terlihat ragu. "Tapi obat ini..."

"Kenapa? Kau tahu obat apa itu?"

Karl mengangguk. "Bibiku, Edith-dia adik perempuan ibuku-juga minum obat ini. Aku tahu benar kadang-kadang bibi Edith suka menyuruhku menebus obat-obatannya."

Alex menunggu Karl melanjutkan kata-katanya.

Lalu Karl menatap Alex dan bertanya, "Apakah Mia menderita penyakit jantung?"


Bab 20

"DI mana? Di mana kutaruh?" guman Mia sambil mengaduk-aduk isi tasnya dengan kening berkerut cemas. Tidak menemukan apa yang dicarinya, ia pun menuangkan seluruh isi tasnya ke atas meja. Tidak ada. Obatnya tidak ada.

Mia berputar, menggigit bibir dan berjalan cepat ke kamar mandi. Ia membuka lemari obat di sana, memeriksa deretan tabung plastik kecil di sana, tetapi obat yang dicarinya tidak ada. Ia menutup pintu lemari obatnya dengan keras dan memandang bayangan wajahnya sendiri di cermin. Di mana obat sialan itu? Ia butuh obat itu. Ia butuh...

Tiba-tiba bel interkom apartemennya berbunyi. Mia melangkah ke pintu dan menekan tombol interkom di sana. "Ya?"

"Ini aku."

Mia tersenyum kecil mendengar suara Alex di interkom. Ia menekan tombol lain untuk membuka pintu di bawah, lalu berputar memandang sekeliling ruang duduk apartemennya untuk mencari tas tangannya. Baiklah, ia akan mencari obatnya sepulangnya dari pesta. Semoga ia tidak membutuhkan obatnya malam ini. Semoga ia bisa bertahan sampai pesta itu berakhir.

Tepat setelah ia meraih tas tangan dan mantelnya, bel pintunya berbunyi. Ia menarik napas dalam-dalam, membuka pintu dan tersenyum lebar kepada Alex Hirano yang berdiri di hadapannya. "Kau sangat tepat waktu," kata Mia.

Alex balas tersenyum. Ia mengamati Mia dengan alis terangkat, lalu matanya menyusuri gaun panjang Mia yang berwarna hijau gelap dan akhirnya kembali ke wajah Mia. "Dan kau terlihat... cantik," pujinya.

Mengabaikan jantungnya yang mendadak berdebar lebih kencang dan berharap semoga pipinya yang mendadak terasa panas tidak merah padam, Mia berusaha tersenyum ringan seperti biasa dan berkata, "Tentu saja. Sudah kubilang aku tidak akan membuatmu malu, Alex."

"Aku tidak meragukannya," kata Alex sambil tersenyum lebar. Ia mengulurkan lengannya ke arah Mia. "Kita berangkat sekarang?"

"Baiklah," sahut Mia. Ia menggandeng lengan Alex tanpa ragu dan sekali lagi berusaha mengabaikan getaran aneh yang menjalari sekujur lengannya ketika tangannya menyentuh lengan Alex.

"Jadi apakah kau baik-baik saja?" tanya Alex setelah Lexus hitam mengilap miliknya melaju di jalan raya.

"Hm? Apa maksudmu?" tanya Mia sambil menoleh menatap Alex yang duduk di sampingnya di kursi belakang sementara seorang supir berseragam duduk dibalik kemudi. Alex menyewa jasa sopir untuk mengemudikan mobilnya malam ini karena ia tidak mungkin mengemudi sendiri dengan tangan masih diperban.

"Kau tidak terlihat terlalu baik kemarin malam di Ramses," kata Alex.

Mia teringat pada komentar Alex kemarin tentang wajahnya yang pucat dan berat badannya. "Mm. Aku baik-baik saja."

"Sungguh? Kau sungguh baik-baik saja?"

"Sungguh." Mia menoleh menatap Alex. Melihat laki-laki itu sepertinya tidak percaya pada kata-katanya, Mia tersenyum kecil dan menambahkan, "Aku hanya agak lelah. Hanya itu."

"Berapa jam kau tidur semalam?"

Mia mendesah. "Kenapa sepertinya kau terobsesi sekali dengan jam tidurku?" ia balas bertanya, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.

"Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan seperti kemarin," sela Alex cepat. "Berapa jam?"

"Dua atau tiga jam." Mia memalingkan wajah. "Tapi aku sudah terbiasa."

Alex diam sejenak, lalu bertanya, "Kau sudah mencoba berkonsultasi dengan dokter?"

Mia kembali menatap Alex dengan kening berkerut. Ia tidak suka mendengar kata "dokter". "Untuk apa?" tanyanya tajam.

"Kau sudah menderita insomnia selama... berapa lama? Tiga bulan?" kata Alex. "Kau tahu itu tidak normal dan sudah seharusnya kau berkonsultasi dengan dokter."

"Itu tidak perlu," sahut Mia tegas. "Aku bisa mengatasinya. Sudah kubilang aku sudah terbiasa. Kau tidak usah khawatir. Ini sama sekali bukan masalah." Ia melihat Alex membuka mulut hendak membantah, jadi ia mengangkat sebelah tangan dan berkata, "Aku tidak mau membicarakannya lagi."

Alex menyerah dan tidak berkata apa-apa lagi. Mia menghela napas dan menatapcke luar jendela, tetapi ia tetap menyadari tatapan di belakang kepalanya. Akhirnya ia menoleh kembali ke arah Alex dan balas menatapnya lurus-lurus. "Apa?" tanyanya langsung.

Alex mengeluarkan sesuatu dari saku bagian dalam jasnya dan bertanya, "Apakah ini milikmu?"

Mia menatap benda di tangan Alex dan terkesiap.

*****

Alex mengacungkan tabung plastik kecil yang ditemukan Karl di apartemennya tadi siang dan mendengar gadis itu terkesiap. Melihat reaksi gadis itu, Alex yakin obat ini memang miliknya.

"Di mana kau menemukannya?" tanya Mia setelah berhasil mengendalikan ekspresi wajahnya.

"Kau meninggalkannya di apartemenku," sahut Alex dan mengulurkan tabung kecil itu kepada Mia. Alisnya berkerut samar ketika ia melihat tangan gadis itu agak gemetar saat menerima tabung tersebut. "Jadi," kata Alex dengan suara yang disahakan terdengar ringan, "obat apa itu?" Tentu saja ia tahu obat apa itu, tetapi ia ingin mendengarnya langsung dari gadis itu.

Mia berdehem. "Vitamin," sahutnya pendek tanpa memandang Alex. "Hanya vitamin."

"Vitamin?" ulang Alex sambil menatap Mia dengan seksama. Ia berpikir sejenak, lalu berkata, "Kata Karl, itu obat untuk penyakit jantung."

Apakah wajah Mia Clark memucat? Entahlah. Sulit memastikannya karena mereka sedang berada di dalam mobil dan penerangannya sama sekali tidak cukup.

"Karl berkata begitu?" tanya Mia pelan. Ia berdehem sekali lagi. "Apa lagi katanya?"

"Hanya itu," jawab Alex. "Jadi?"

"Ini vitamin untuk jantung," sahut Mia cepat dan memasukkan tabung plastik itu ke dalam tas tangan kecilnya. "Dokter menyarankannya untukku karena sebagai penari aku harus menjaga kondisi jantungku."

"Apakah ada masalah dengan jantungmu sampai dokter mengharuskanmu minun vitamin itu?" tanya Alex. "Tidak ada yang serius."

"Kau yakin?"

Mia menoleh dan Alex melihat seulas senyum samar tersungging di bibir gadis itu. Kemudian ia kembali memandang keluar jendela dan berguman pelan, "Apakah kita masih jauh? Kuharap kita tidak terlambat."

Sudah jelas Mia tidak ingin membahas masalah itu lebih lanjut dan sudah jelas ia berusaha mengalihkan pembicaraan, jadi sekali lagi Alex memutuskan tidak akan mendesak gadis itu. "Terlambat juga tidak apa-apa. Mereka tidak mengharuskan kita datang tepat waktu," katanya sambil tersenyum menenangkan.

Empat puluh menit kemudian mereka tiba di gedung tempat pesta itu diadakan. Setelah Alex menitipkan mantel mereka di tempat di penitipan dan menyebutkan namanya kepada penerima tamu, ia dan Mia melangkah memasuki aula luas yang dipenuhi orang berpakaian indah. Perhatian semua orang terarah ke panggung, tempat wanita cantik berusia awal lima puluhan tengah memberikan kata sambutan kepada para tamu.

Alex menyentuh siku Mia yang sedang mengagumi ruangan megah itu untuk menarik perhatiannya. Mia menoleh dan mengikuti pandangan Alex ke arah wanita anggun yang berdiri di atas panggung. Alex mencondongkan tubuh ke arah Mia dan berkata pelan, "Itu Dee Black."

Mia mengangguk-angguk.

"Kau mau minum?" tanya Alex, masih dengan suara pelan. Mia mengangguk lagi.

"Kalau begitu, ayo." Alex meraih tangan Mia dan mengajaknya ke arah meja minuman. "Fruit punch?"

"Beralkohol?" tanya Mia ragu.

"Mungkin sedikit."

"Kalau hanya sedikit kurasa tidak apa-apa."

Alex mengulurkan segelas punch yang diambilnya dari meja kepada Mia, lalu menerima segelas sampanye dari salah seorang pramusaji yang berkeliling ruangan menawarkan sampanye dan anggur.

Mereka menyesap minuman masing-masing dan mendengarkan Dee Black mengakhiri kata sambutannya. "Sekali lagi, terima kasih atas kehadiran anda semua. Silahkan menikmati hidangan kecil yang kami sediakan dan silahkan mengajak pasangan anda berdansa."

Para tamu bertepuk tangan sementara Dee Black turun dari panggung dan band mulai memainkan lagu untuk mengiringi pasangan-pasangan yang ingin berdansa.

"Alex, aku tidak menyangka kau akan datang ke sini."


Alex menoleh ke arah suara itu dan tersenyum kepada ibunya yang entah bagaimana sudah berdiri di sampingnya. "Hai, Mom. Di mana Dad?"

"Dia sedang mengobrol dengan temannya di sana," sahut ibunya sambil melirik ke balik bahu. "Biarkan saja."

"Hai, Mrs. Hirano," sapa Mia.

Kim Hirano berseri-seri melihat Mia. "Oh, hai, Mia. Kau juga datang rupanya." Matanya mengamati Mia dari kepala sampai ke ujung kaki. "Kau terlihat sangat cantik, Mia."

Wajah Mia merona. "Eh, terima kasih, Mrs. Hirano. Anda juga terlihat mengagumkan."

Ibu Alex mengibaskan sebelah tangannya sambil tersenyum lebar. "Omong-omong, kalian sudah bertemu dengan Ray?" tanyanya sambil memandang ke sekeliling ruangan, mencari putra bungsunya.

"Belum," sahut Alex. "Dia sudah datang?"

"Sudah. Dia datang bersama Kelly."

Ibunya terkekeh. "Kelly tahu kita akan menghadiri pesta ini dan dia praktis memohon atau memaksa Ray mengajaknya ke sini."

Mia menoleh ke arah Alex dan bertanya, "Siapa Kelly?"

"Kelly adalah saudara sepupu kami. Aku tidak tahu apa yang membuat Ray setuju mengajaknya ke sini. Yah, mungkin Kelly memang sangat berambisi menjadi penari walaupun dia tidak memiliki bakat sedikit pun. Walaupun begitu, Kelly bukan tipe gadis yang bisa kuajak nenghadiri pesta-pesta resmi seperti ini."

"Kenapa?"

Alex tersenyum lebar. "Karena Kelly walaupun dia sebenarnya gadis yang manis dan cerdas-termasuk gadis yang... tidak bisa nengendalikan mulutnya."

Mia mengangkat alis tidak mengerti.

Ibu Alex memukul lengan anaknya dengan pelan, lalu menatap Mia. "Kelly orang yang blakblakan. Dia akan mengatakan apa yang dipikirkannya tanpa ragu dan tanpa memikirkan orang lain. Dia juga sangat suka berdebat mengenai apa saja, dan di mana saja. Mungkin itu akibatnya kalau seseorang terlalu pintar. Hanya saja kadang-kadang sebagian orang tidak terlalu suka berbicara dengan gadis yang menurut mereka terdengar sok tahu." Ia memandang melewati bahu Mia dan berkata, "Oh, itu Ray."

Alex menoleh mengikuti pandangan ibunya dan melihat Ray sedang berjalan ke arah mereka sambil tersenyum lebar. Yah, sebenarnya senyum lebar itu dilemparkan ke arah Mia.

"Hai, Alex. Ini kejutan yang menyenangkan. Biasanya kau tidak menghadiri pesta-pesta semacam ini," kata Ray ketika sudah berdiri di dekat mereka. Ia menoleh ke arah Mia dan menambahkan, masih sambil tersenyum, "Alex selalu mengeluh bosan kalau ia terpaksa hadir."

"Karena itulah aku mengajak Clark," sahut Alex datar. "Supaya dia bisa menemaniku dan aku tidak akan bosan."

"Tapi kuharap kau tidak keberatan aku meminjamnya sebentar," kata Ray. Dan sebelum Alex sempat menjawab, ia menoleh menatap Mia dan bertanya, "Kau terlihat cantik malam ini, jadi maukah kau berdansa denganku?"

Mia tersenyum dan baru hendak menerima ajakan Ray ketika teringat bahwa ia seharusnya menemani Alex. Ia menatap Alex dengan ragu. "Kau tidak keberatan, bukan?" tanyanya pelan.

Keraguan gadis itu membuat Alex merasa senang. Setidaknya Mia tidak langsung menerima ajakan Ray dan meninggalkan Alex berdiri sendirian seperti orang bodoh.

"Alex tidak keberatan," jawab Ray, walaupun bukan dirinya yang ditanya.

"Kata Mom kau datang bersama Kelly. Di mana dia?" tanya Alex agak ketus.

"Kelly sedang... entahlah, tadi kulihat dia sedang berkenalan dengan beberapa penari pria di sebelah sana," jawab Ray acuh tak acuh. "Jadi sementara dia sedang sibuk mengumpulkan mangsa-mangsa baru, Mia bisa menemaniku berdansa. Ayo, Mia."

Alex memberenggut melihat Ray meraih tangan Mia dan menyelipkannya di lekukan sikunya.

Mia tertawa kecil, tetapi kembali menoleh ke arah Alex dan tatapan bertanya terlihat jelas di matanya.

Alex menatap gadis itu, lalu mengembuskan napas pelan. Ia mengambil gelas punch dari tangan gadis itu dan berkata, "Pergilah. Aku akan menunggu di sini."

Seulas senyum cerah tersungging di bibir Mia dan matanya berkilat-kilat gembira. "Aku akan segera kembali," katanya sebelum ia membiarkan Ray menariknya ke tengah-tengah ruangan tempat beberapa pasangan mulai berdansa mengikuti irama musik.

"Alex, apakah kau sedang memberikan kesempatan kepada adikmu?" tanya ibunya.

"Sebaiknya dia sadar bahwa ini untuk terakhir kalinya," guman Alex sebelum ia benar-benar memahami maksud ucapannya sendiri. Matanya terus mengamati sosok Mia yang sedang berdansa dan tertawa dengan Ray dengan kening berkerut. Siapa yang menduga seorang b-boy seperti Ray bisa berdansa waltz?

"Melihat caranya tersenyum, sepertinya Mia juga menyukai Ray."

Kepala Alex berputar cepat ke arah ibunya, kerutan di keningnya semakin dalam. "Mia selalu tersenyum seperti itu kepada semua orang."

"Ah, kau benar," guman ibu Alex, sama sekali tidak menanggapi nada suara Alex yang tajam atau wajahnya yang memberenggut. "Dia tersenyum pada semua orang dengan cara yang sama dan dia menatap semua orang dengan cara yang sama. Tapi, tunggu. Hm, tidak. Itu tidak benar. Aku pernah melihat dia menatap seseorang dengan cara yang berbeda."

"Apa maksud Mom?"

Ibunya tersenyum lebar kepadanya lalu mengulurkan tangannya dan nenepuk pipi Alex dengan pelan. "Jangan memasang wajah menakutkan seperti itu. Kau tahu..."

"Kim! Alex! Senang sekali kalian bisa datang malam ini."

Alex dan ibunya serentak menoleh ke arah Dee Black yang sedang berjalan menghampiri merka dengan kedua lengan terentang lebar.

"Oh, Dee. Tentu saja aku tidak akan melewatkan pestamu," balas ibu Alex sambil merangkul temannya. "Pestamu selalu hebat."

"Alex, Alex, Alex." Dee Black menoleh ke arah Alex yang berhasil melenyapkan kerutan di wajahnya. "Senang melihatmu lagi. Kau datang berdua bersama ibumu?"

Sebelum Alex sempat menjawab, ibunya menyela, "Tentu saja tidak. Kurasa dia tidak mungkin mau menjadi pasangan ibunya di pesta-pesta seperti ini. Ayahnya sedang berbicara dengan temannya entah di mana dan Ray baru saja menculik pasangan Alex. Jadi aku terpaksa menemaninya."

Alex harus berusaha keras tidak memberengut ke arah ibunya.Dee tertawa. "Ah, Ray juga datang?"

"Ya, itu dia," sahut Alex sambil menunjuk ke arah orang-orang yang berdansa. "Kau bisa melihatnya?"

Dee memanjangkan leher dan menyipitkan mata menatap ke arah yang ditunjuk. Lalu ia tersenyum. "Ya, ya, aku melihatnya. Dia-oh... oh!"

"Apa? Ada apa?" tanya Alex ketika ia melihat mata Dee melebar dan terpaku ke arah Ray."Astaga, bukankah yang berdansa dengannya itu Mia Clark?" suara Dee terdengar takjub.Alex terkejut. "Kau mengenalnya?"

"Tentu saja," sahut Dee tegas. Ia menoleh menatap Alex dan ibunya bergantian, seolah-olah tidak mengerti kenapa mereka tidak mengenal siapa Mia Clark sebenarnya. Lalu ia kembali mengarahkan pandangannya ke arah Mia. "Dia penari terbaik yang pernah bergabung dengan kelompok tariku dan salah satu dari lima penari kontemporer terbaik di dunia saat ini. Dan aku sangat, sangat kecewa ketika dia tiba-tiba mengundurkan diri tahun lalu."


Bab 21

KETIKA ia dan Ray berjalan kembali ke tempat Alex dan ibunya berdiri setelah lagu berakhir, Mia melihat Dee juga ada di sana. Dee melambai ke arahnya sambil tersenyum lebar dan Mia yakin Dee sudah memberitahu Alex bahwa ia dulu pernah bergabung dengan kelompok tarinya. Mia mendesah dalam hati. Alex pasti ingin tahu kenapa Mia tidak pernah menyinggung soal itu. Bagaimana ia harus menjawabnya?

"Mia!" seru Dee dengan wajah berseri-seri dan merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. "Ini kejutan yang menyenangkan! Apa kabar?"

Mia membiarkan dirinya dipeluk erat oleh sahabat sekaligus gurunya. "Hai, Dee, sudah lama sekali tidak bertemu denganmu," balasnya hangat. "Dan kabarku sangat baik. Bagaimana denganmu?"

Ray memandang mereka berdua bergantian dengan heran. "Kalian saling kenal?"

Mia melepaskan pelukan Dee dan menoleh ke arah Ray. "Ya. Dee adalah guruku dan aku sudah belajar banyak darinya."

"Omong-omong. Kau tahu kau penari terbaik yang pernah kumiliki dan kau sudah mengusai semua yang perlu dikusai. Aku tidak mengajarimu apa-apa," bantah Dee sambil tertawa. "Aku ingin mengobrol banyak denganmu, Sayang, tapi aku harus menyapa tamu-tamuku yang lain lebih dulu. Kau jangan pulang dulu. Kita harus mengobrol. Oh ya, kau sudah bertemu Aaron?"

Mia tersentak mendengar nama itu dan matanya berkilat-kilat senang. "Aaron? Dia ada di sini?"

"Tentu saja dia ada di sini. Aku akan memberitahunya bahwa kau juga ada di sini. Dia pasti ingin bertemu denganmu," kata Dee sebelum akhirnya memohon diri untuk menyapa tamu-tamunya yang lain. Namun sebelum pergi ia masih sempat menoleh ke arah Mia dan mengingatkannya sekali lagi, "Dan kau jangan ke mana-mana, young lady. Ada yang harus kubicarakan denganmu."

Setelah Dee pergi, ibu Alex juga meninggalkan mereka, berkata bahwa ia sebaiknya pergi mencari suaminya yang kini entah berada di mana.

"Wah, Mia, aku tidak menyangka kau pernah bergabung dengan Dee Black," kata Ray dengan nada takjub. "Kenapa kau tidak pernah berkata apa-apa selama ini?"

Mia mengangkat bahu. "Aku hanya merasa hal itu tidak perlu dibesar-besarkan."

"Ray," tiba-tiba Alex mbuka suara, "kurasa sebaiknya kau pergi mencari Kelly. Tidak baik kalau kau meninggalkannya begitu saja sendirian."

Ray mengerang. "Kurasa kau benar. Sebaiknya aku pergi mencarinya sebelum dia memangsa semua orang di sini. Apa yang kupikirkan tadi ketika memutuskan mengajaknya ke sini? Seharusnya aku mengajak orang lain."

Ray berbalik dan berjalan pergi sambil menggerutu pelan, meninggalkan Alex dan Mia berdua. Mia melirik Alex sekilas dan menunggu laki-laki itu menanyakan sesuatu yang kurang lebih sama seperti yang ditanyakan Ray tadi.

Tetapi ketika Alex berbicara, yang keluar dari mulutnya adalah, "Mau berdansa denganku?"

Alis Mia terangkat kaget. "Denganmu?"

Alex meletakkan kedua gelas mereka yang sejak tadi dipegangnya ke atas meja. "Clark, aku memang tidak tahu apa-apa soal tarian waltz, hip-hop, atau kontemporer, tapi aku jelas tahu cara menari," katanya dengan nada menggerutu. "Sedikit-sedikit."

Mia tersenyum kecil. "Kalau begitu, baiklah. Mari kita lihat kemampuanmu menari."

"Kau akan tercengang," guman Alex sambil tersenyum lebar sementara meraih tangan Mia dan menuntunnya ke lantai dansa.

Getaran hangat kembali menjalari lengan Mia. Ia selalu merasakannya setiap kali Alex menyentuh lengannya atau menggengam tangannya. Tetapi ua mengenyahkan perasaan itu dan berkata, "Tolong jangan injak kakiku."

Mia seorang penari. Jadi sudah pasti ini bukan pertama kalinya ia berdiri berhadapan begitu dekat dengan laki-laki. Ini juga sudah pasti bukan pertama kalinya ia menyentuh laki-laki. Tetapi ini pertama kalinya ia berdiri begitu dekat dengan Alex Hirano. Ini pertama kalinya ia meletakkan sebelah tangannya di bahu Alex sementara tangannya yang lain berada dalam genghaman Alex.

Mia membasahi bibir dengan gugup. Jantungnya berdebar begitu keras dan ia hampir tidak berani mendongak menatap wajah Alex. Dan ketika tangan kanan Alex meraih pinggangnya dan menariknya lebih dekat, Mia pun hampir lupa cara bernapas.

Oh, demi Tuhan, Mia, kendalikan dirimu! Mia menomeli dirinya sendiri dalam hati.

Kemudian Alex mulai bergerak dan Mia mendapati dirinya mengikuti gerakan Alex dengan mudah. Oh, Alex memang bukan penari profesional dan ia tidak berusaha menari waltz, tetapi ada sesuatu yang terasa menyenangkan dari gerakannya yang ringan. Mia berubah santai. Ia tidak lagi memikirkan teknik yang benar atau postur tubuh yang tepat. Tangan Alex yang mengeggam tangannya terasa hangat. Tangannya yang lain yang menempel di punggungnya juga mengirimkan getaran hangat menjalari sekujur tubuhnya. Mia merasa begitu nyaman sampai ia harus berusaha keras mencegah dirinya menyandarkan dagu di bahu Alex.

Ini menyenangkan, pikir Mia sambil memejamkan mata. Menyenangkan, tapi berisiko. Ia menghela napas dalam-dalam. Ia tidak bisa mengambil risiko saat ini. Untuk mengendalikan pikirannya yang mulai melantur, Mia pun berusaha membuka percakapan. "Kau tidak ingin bertanya kepadaku kenapa aku tidak pernah bercerita bahwa aku mengenal Dee?" tanyanya kepada Alex. Ia agak heran karena Alex belum bertanya apa-apa tentang hal itu karena ia yakin laki-laki itu pasti penasaran.

Alex mengangkat bahu dan memutar Mia dengan pelan. Ketika Mia kembali dalam pelukannya, Alex berkata, "Ray sudah bertanya dan kau sudah menjawab. Walaupun tentu saja kau tidak benar-benar menjawab dan bukan itu jawaban yang sebenarnya."

Mia hendak membuka mulut untuk membantah, tetapi Alex nenyelanya. "Tapi kurasa kau punya alasan sendiri kenapa kau tidak mau-atau lebih tepatnya, belum mau-mengatakan yang sebenarnya."

Mia mendongak menatap Alex. Yang dikatakan Alex memang benar dan Mia kaget ketika menyadari laki-laki itu mengenal dirinya dengan baik.

"Jadi aku tidak akan mendesakmu," lanjut Alex sambil menunduk menatap Mia. Seulas senyum samar tersungging di bibirnya. "Kau akan mengatakannya kepadaku saat kau memang ingin mengatakannya kepadaku."

Mia menghela napas lega karena Alex tidak mendesaknya menjelaskan segalanya. Nah, siapa yang menyangka Alex Hirano bisa bersikap penuh pengertian seperti ini? "Terima kasih," gumannya lirih.

"Tapi ada satu hal yang harus kutanyakan," kata Alex, membuat Mia menegang kembali.

"Apa itu?"

"Siapa Aaron?"

*****

Mata hitam yang menatal Alex melebar sedikit, lalu kecemasan yang srmpat berkelebat di sana sedetik menghilang. "Oh, Aaron?"

"Ya, siapa Aaron?" tanya Alex sekali lagi.

"Salah satu penari utama Dee Black Dance Company dan teman yang sangat baik," sahut Mia. Pandangannya menerawang dan seulas senyum samar tersungging di bibirnya. "Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Aku jadi ingin tahu bagaimana kabarnya sekarang."

"Kalian tidak berhubungan setelah kau mengundurkan diri?" tanya Alex.

Mia menggeleng dan tersenyum menyesal. "Mereka berbasis di Miami, Florida, sedangkan aku kembali ke New York setelah mengundurkan diri. Kurasa kami hanya terlalu sibuk dengan kegiatan masing-masing."

Alex menatap Mia yang sepertinya masih melamunkan masa lalunya. Ia tidak ingin bertanya, tetapi ia harus tahu. "Kau yakin dia hanya teman baik?" tanya Alex dengan nada yang diusahakan terdengar ringan. "Sepertunya hubungan kalian lebih dari itu."

Mia tertawa kecil dan menatap Alex. "Kau benar," akunya. Dan Alex langsung merasa perutnya menegang. "Dulu aku memang menyukainya. Bagaimana tidak? Aaron laki-laki yang menarik, berbakat, baik, dan penuh perhatian. Seandainya aku tidak mengundurkan diri, kurasa kami akan bersama."

Terlalu banyak informasi, gerutu Alex dalam hati. Terlalu banyak informasi yang rtdak ingin kudengar. Jadi Mia pernah menyukai laki-laki bernama Aaron itu. Gagasan itu membuat Alex gelisah. Apakah perasaan itu masih bertahan sampai sekarang?

"Kau sangat percaya diri," guman Alex sambil memberenggut. "Kenapa kau yakin kalian pasti akan bersama kalau kau tidak mengundurkan diri. Kau yakin dia juga memiliki perasaan yang sama padamu?"

Mia terdiam, menarik napas sejenak, lalu berkata pelan, "Dia pernah menyatakan perasaannya padaku. Tepat setelah aku memutuskan mengundurkan diri."

Lagi-lagi informasi yang tidak ingin Alex dengar. Mia dan laki-laki itu saling menyukai. Hebat. Alex mengertakkan rahangnya dan bertanya, "Tapi kenapa kau mengundurkan diri?"

"Itu..." Mia mendongak dan tersenyum samar kepada Alex. "Ceritanya panjang. Akan kuceritakan lain kali."

Sebelum Alex sempat berbicara, lagu itu berakhir dan orang-orang bertepuk tangan. Mia menurunkan kedua tangannya dan mundur selangkah, memberi jarak di antara mereka. Ini memang gila, tetapi Alex merasa kehilangan. Berusaha menutupi perasaannya yang aneh, Alex bertanya, "Mau minum lagi?"

"Tentu," sahut Mia ringan.

Namun sebelum mereka sempat meninggalkan lantai dansa, seseorang memanggil nama Mia dan mereka serentak menoleh. Seorang pemuda jangkung, ramping, dan berambut gelap berhenti melangkah di hadapan Mia dan tersenyum lebar kepadanya.

"Ketika Dee memberitahu kau ada di sini, aku hampir tidak percaya. Tapi kau benar-benar di sini," kata laki-laki itu pelan. Mata hijaunya menatap Mia yang saat itu terlihat mematung. Perlahan-lahan sudut-sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas, membentuk seulas senyum yang sangat menawan. "Halo, Mia. Kau tidak mau menyapaku?"

Mia mengerjap sekali. "Aaron," bisiknya pelan, tetapi Alex mendengarnya. Sedetik kemudian Mia sudah melemparkan diri ke arah si laki-laki berambut gelap dan melingkarkan kedua lengannya di leher laki-laki itu.

Apa- apaan...? Dengan susah payah Alex menahan desakan untuk menarik Mia dari laki-laki itu. Apalagi ketika laki-laki itu mengangkat kedua lengannya dan balas memeluk Mia dengan erat.

"Aaron," guman Mia sambil tersenyum lebar, masih memeluk laki-laki itu. "Aaron, Aaron, Aaron."

Aaron tertawa lirih. "Aku juga senang melihatmu lagi, Mia."

Tepat ketika Alex merasa tidak bisa menahan diri lebih lama lagi, Mia melepaskan pelukannya dan menatap Aaron dengan mata berbinar-binar.

"Jadi bagaimana kabarmu?" tanya Aaron. Dan Alex memberengut melihat laki-laki itu mengenggam tangan Mia.

Mia menggeleng-gelengkan kepala, seolah-olah ingin menjernihkan pikiran, namun senyum lebar masih tersungging di bibirnya. "Kabarku sangat baik. Bagaimana denganmu?"

"Kau bisa lihat sendiri. Aku juga baik-baik saja," sahut Aaron. Lalu matanya beralih ke arah Alex yang masih berdiri di sana dan menolak meninggalkan Mia bersama laki-laki itu.

Seolah baru menyadari keberadaan Alex, Mia menoleh ke arahnya dan berkata, "Oh, Alex, kenalkan ini teman baikku, Aaron Rogers. Aaron, ini Alex Hirano."

Alex menjabat tangan Aaron yang terulur dan berguman, "Halo."

"Apa kabar?" sapa Aaron ramah. Lalu ia berkata, "Omong-omong, kuharap kau tidak keberatan aku berdansa dengan Mia."

Alex mengertakkan gigi. "Tentu. Tapi pastikan kau mengembalikannya kepadaku setelah itu," katanya sambil tersenyum kecil, mengabaikan tatapan tajam yang di lemparkan Mia ke arahnya.

Alis Aaron terangkat heran. Ia menatap Mia dengan ragu, lalu kembali menatap Alex dan berkata, "Baiklah. Tidak masalah."

Alex menoleh menatap Mia dan tersenyum sekilas. "Aku akan menunggu di tempat tadi," katanya pelan, lalu berbalik dan berjalan pergi tanpa menunggu jawaban Mia.

Di tengah jalan ia berpapasan dengan pelayan yang menawarkan sampanye. Tanpa berpikir panjang, Alex mengambil segelas sampanye dari nampan si pelayan dan menghabiskannya dalam sekali teguk. Ia meletakkan gelas kosongnya kembali ke nampan dan mengambil segelas sampanye lagi sebelum membiarkan pelayan itu pergi.

"Pasangan yang serasi, bukan?"

Alex menoleh ke arah Dee Black yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya. Ia mengikuti arah pandang wanita itu dan matanya terpaku pada sosok Mia dan Aaron yang sedang berdansa mengikuti irama musik. Gerakan mereka sangat tepat dan anggun. Aaron Rogers memang pandai berdansa. Sialan, mereka memang terlihat serasi.

"Tentu," guman Alex. Matanya masih terpaku pada Mia yang bergerak ringan seperti kupu-kupu di pagi hari. Kemudian Aaron Rogers memutar Mia beberapa kali dan ketika ia menarik Mia kembali ke dalam pelukannya, gadis itu mengadahkan kepala dan tertawa lepas.

Tiba-tiba saja Alex merasa ada sesuatu yang menegang di dadanya.

"Aaron dan Mia adalah pasangan emasku," lanjut Dee dengan nada bangga. "Mereka memiliki kemampuan yang sama, teknik yang sempurna, dan gairah menari yang besar. Dan yang terpenting, mereka saling menyukai."

Alex menatap Dee dengan alis berkerut. Salah mengartikan ekspresi Alex, Dee berkata, "Oh ya, itu sangat penting. Aku pernah melihat pasangan penari yang terlihat sangat serasi dari segi fisik, kemampuan, dan teknik, tapi saling membenci. Dan itulah yang merusak penampilan mereka secara keseluruhan. Itu bencana yang mengerikan."

Alex menyesap sampanyenya dan kembali menatap Mia yang masih menatap Aaron dengan mata berbinar-binar.

Dee mencondongkan tubuh ke arah Alex dan berkata dengan nada rendah, "Aku selalu merasa mereka terlihat lebih dari sekedar teman biasa. Bagaimana menurutmu?"

Alex memilih untuk tidak menjawab dan kembali menyesap sampanyenya.

Sama sekali tidak tersinggung karena Alex tidak menjawab, Dee mendesah dan berkata, "Seandainya saja Mia tidak mengundurkan diri. Seandainya saja mereka bisa berpasangan dalam peetunjukanku ini. Yah, tentu saja penari utama wanitaku untuk pertunjukan ini juga sangat berbakat dan cocok berpasangan dengan Aaron, tapi tidak ada yang bisa menandingi Mia. Singguh. Seandainya saja aku bisa melihat Mia menari dalam pertunjukan ini, walaupun hanya sekali, aku pasti akan..."

Tiba-tiba Dee menghentikan aliran kata-katanya dan tertegun. Alex menoleh menatapnya dan bertanya, "Ada apa?"

Dee mengerjap satu kali, lalu menoleh menatap gagasan bagus," katanya dengan wajah berseri-seri. "Oh, Alex, aku harus pergi sekarang dan mengurus beberapa hal."

Sebelum Alex sempat berkata apa-apa, wanita itu sudah berbalik dan berjalan pergi dengan langkah lebar. Alex menggeleng-gelengkan kepala tidak mengerti, lalu kembali mengamati Mia dan Aaron yang masih asyik berdansa dengan kening berkerut.

Tiba-tiba Alex merasa seseorang menggandeng lengan kanannya dan mendengar suara yang sudah tidak asing baginya berkata, "Halo, Sepupu, kenapa kau berdiri sendirian di sini seperti orang patah hati?"

Alex menoleh dan tersenyum kepada sepupunya yang balas menatapnya sambil tersenyum lebar. Kelly Hirano adalah gadis cantik bertubuh kecil, berambut cokelat panjang, dan bermata cokelat cerah. Alex memandang ke kiri dan ke kanan, lalu bertanya, "Di mana Ray? Kulihat tadi dia sedang mencarimu."

Kelly mengibaskan sebelah tangannya. "Oh, dia sudah berhasil menemukanmu tadi. Kemudian dia diculik oleh wanita tua genit yang memaksa Ray berdansa dengannya. Kasihan Ray, dia tidak bisa melarikan diri tanpa harus bersikap kasar."

Alex tertawa.

"Kurasa teman kencanmu juga dicilik orang lain?" tanya Kelly.

Sebagai jawaban, Alex menggerakkan dagunya, menunjuk sosok Mia di lantai dansa. Kelly mengikuti arah pandangannya dan mengangguk. "Itu yang namanya Mia Clark? Gaun hijau, rambut hitam, wajah cantik, dan senyum secerah matahari yang bisa menerangi dunia itu?"

"Satu-satunya." Alex mengangguk.

Kelly menoleh ke arah Alex dan berkata, "Karena pasangan kita sama-sama diculik orang lain, kurasa kita harus berdansa bersama. Bagaimana menurutmu?"

Alex tersenyum dan mengangkat bahu. "Kurasa itu gagasan yang bagus, Sepupu," gumannya sambil meletakkan gelas sampanyenya di atas meja.

"Aku tahu Ray menyukai gadis itu," kata Kelly ketika mereka sudah bergabung dengan passngan-pasangan lain di lantai dansa. "Siapa?" tanya Alex pura-pura bodoh, walaupun ia bisa menebak siapa gadis yang dimaksud Kelly.

"Mia Clark."

"Oh, ya?"Kelly mengangguk. "Tidak sulit menebaknya. Lagi pula Ray sama sekali tidak merahasiakan perasaannya," katanya acuh tak acuh. "Dan dari caramu menatap hadis itu sejak tadi, kurasa kau juga tertarik padanya dan tidak suka melihatnya berdansa dengan pria lain."

"Kelly, imajinasimu berlebihan."

"Apakah Ray tahu kau juga tertarik pada Mia Clark?"

"..."

"Apakah Mia Clark tahu kalian berdua tertarik padanya?"

"..."

"Kurasa dia tahu Ray menyukainya, tapi tidak tahu bahwa kau juga menyukainya."

"..."

"Aku benar, bukan?"

"Kelly?"

"Ya?"

"Tidak heran sampai sekarang kau masih belum punya pacar. Kau terlalu banyak bicara."

Kelly melotot kepada Alex. "Apa? Alex Hirano, asal kau tahu, banyak laki-laki yang mengejarku dan..."

Alex tertawa sementara Kelly mulai berceloteh tentang semua laki-laki yang menurutnya mengejar-ngejar sirinya di kampus. Setidaknya sekarang Alex berhasil mengalihkan perhatian Kelly dari topik tentang Mia Clark. Alex memandang melewati kepala Kelly ke arah Mia yang saat itu sedang... Tunggu, apa yang sedang dilakukan gadis itu? Kenapa ia lagi-lagi berpelukan dengan Rogers? Dan kenapa ia harus tersenyum kepada Rogers seperti itu?Sementara Kelly terus bercerita panjang lebar tentang kehidupan cintanya, Alex lagi-lagi mendapati dirinya berusaha menahan diri untuk tidak berderap ke arah pasangan itu dan menarik Mia dengan paksa dari Rogers.

Sungguh, Mia harus berhenti memeluk Rogers setiap sepuluh menit. Dan, demi Tuhan, sebaiknya ia berhenti tersenyum kepada semua orang seperti itu.

*****

"Mia kau melamun?"

Mia tersentak dan mengalihkan pandangannya dari Alex Hirano yang sedang berdansa dengan gadis cantik berambut gelap panjang dan kembali memandang Aaron. "Maaf, kau mengatakan sesuatu?"

"Aku tadi berkata bahwa kita akan sering bertemu sekarang karena aku akan tinggal di New York selama satu bulan ke depan, selama pertunjukan kami di sini."

"Oh, begitu," guman Mia sambil tersebyum lebar. "Ya, itu bagus sekali."

"Jadi apakah kau punya waktu luang besok siang? Mungkin kita bisa makan siang bersama?"

"Oh." Teringat bahwa waktu luangnya kini tergantung pada Alex Hirano, Mia otomatis kembali memandang ke arah Alex yang saat itu sedang menertawakan sesuatu yang dikatakan gadis dihadapannya. Mia tertegun. Itulah pertama kalinya Mia melihat Alex Hirano tertawa. Dan Mia mendapati dirinya bertanya-tanya apa yang dikatakan gadis itu sampai bisa membuat Alex Hirano tertawa seperti tadi.

"Mia?"Mia mengerjap dan kembali menatap Aaron. "Eh, besok? Ya, ya, tentu saja," sahutnya.

"Bagus," kata Aaron sambil tersenyum gembira. Mata hijaunya melembut menatap Mia. "Aku senang bertemu denganmu lagi, Mia. Aku merindukanmu."

Mia balas tersenyum. "Aku juga, Aaron. Aku juga," gumannya, lalu berjinjit dan merangkul Aaron sekilas.

Saat itu bayangan Alex Hirano yang sedang tertawa lepas kembali terbesit dalam benaknya. Tiba-tiba saja Mia mendapati dirinya berharap bisa melihat tawa itu sendiri. Tiba-tiba saja Mia mendapati dirinya berharap dirinyalah yang membuat Alex tertawa seperti itu.


Bab 22

DI mana gadis itu?

Alex melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari sosok Mia tanpa hasil. Satu jam yang lalu Aaron Rogers sudah "mengembalikan" Mia kepada Alex setelah mereka selesai berdansa. Kemudian Mia dihampiri oleh beberapa orang teman lamanya sesama penari yang dikenalnya di Dee Black Compeny. Alex membiarkan Mia mengobrol dengan mereka sementara ia sendiri berbicara dengan beberapa orang yang dikenalkan ayahnya kepadanya. Lalu Mia berdansa dengan beberapa orang temannya setelah memastikan Alex tidak keberatan ditinggal sebentar. Alex tidak keberatan, karena setelah itu Mia mengajaknya berdansa lagi.

Tetapi di mana gadis itu sekarang? Sudah dua puluh menit berlalu sejak gadis itu berkata kepada Alex bahwa ia ingin pergi ke kamar kecil dan sampai sekarang gadis itu belum terlihat. Alex tidak benar-benar khawatir karena sepanjang pengetahuannya wanita memang sering menghabiskan banyak waktu di kamar kecil. Entah bergosip, entah membedaki hidung mereka, entah apa lagi. Ia hanya ingin memastikan keberadaan Mia, memastikan Mia tidak mengalami kesulitan atau semacamnya.

Alex menghampiri Kelly yang sedang berdebat sengit dengan dua orang wanita tentang kelebihan dan kekurangan mencari pasangan melalui internet dan menyela ringan, "Maaf, ladies, kuharap kalian tidak keberatan aku meminjamnya sebentar."

Kedua wanita itu merelakan Kelly dengan senang hati. Salah seorang di antara mereka malah berguman lirih, "Kau boleh meminjamnya selama yang kauinginkan."

"Ada apa?" tanya Kelly heran ketika Alex menariknya agak menjauh.

"Aku ingin kau pergi ke kamar kecil dan melihat apakah Mia ada di sana," kata Alex tanpa ekspresi.

Kelly mendengus keras dan menarik sikunya dari pegangan Alex. "Astaga. Alex, dia bukan anak kecil yang harus selalu dijaga. Dia wanita dewasa yang sangat mampu menjaga dirinya sendiri. Dan asal kau tahu, laki-laki yang posesif sudah keringgalan zaman. Mengerti? Sama sekali tidak menarik."

Alex menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Kelky dengan tajam. "Aku tidak posesif. Sudah dua puluh menit berlalu sejak dia pergi ke kamar kecil," katanya dengan tenang. "Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Jadi kau hanya perlu masuk dan melihat apakah dia masih ada di sana."

Kelly menatap Alex sejenak dengan mata disipitkan, lalu menyerah. "Oh, baiklah," desahnya dan berbalik pergi.Beberapa menit kemudian Kelly kembali dan berkata pendek, "Tidak ada."

Alex mengangkat alis. "Dia tidak ada di sana?"

Kelly menggeleng.

"Kalau begitu di mana dia?" guman Alex, lebih kepada dirinya sendiri. Ia mengeluarkan ponselnya, menekan nomor telepon Mia sebelum menempelkannya ke telinga. Nada sambung terdengar dan Alex berjalan ke arah pintu kaca ganda yang terbuka lebar ke arah taman kecil yang terawat rapi. Udara terasa dingin dan Alex memasukkan tangannya yang tidak memegang ponsel ke saku celana. Taman kecil itu sepi dan gelap, hanya ada empat lampu taman di setiap sudut yang memberikan penerangan remang-remang. Para tamu lebih memilih tetap di dalam ruangan yang hangat daripada menggigil di luar, tetapi Alex ingin menjauh sebentar darkebisingan supaya bisa menelpon.

Mia tidak menjawab telepon. Alex kembali menekan nomor gadis itu dan kembali nenempelkan ponsel ke telinga. Ia menuruni tangga batu beranda dan berdiri di tengah-tengah jalan setapak sementara kembali mendengar nada sambung monoton di ponselnya.

Tiba-tiba ia mendengar bunyi samar yang membuatnya tertegun. Ia menurunkan ponselnya dan memasang telinga. Benar. Ia mendengar dering ponsel yang samar-smar. Tanpa menutup ponsel, Alex bergerak menyusuri jalan setapak mencari sumber dering ponsel yang semakin jelas dan yang kini dikenalinya sebagai dering ponsel Mia.

Alex berbelok di sudut gedung, mengikuti arah jalan setapak, kemudian tiba-tiba langkah kakinya berhenti dan matanya melebar kaget melihat apa yang ada di depan matanya.

*****

Mia baru saja keluar dari kamar kecil dan hendak kembali ke ruang pesta ketika dadanya tiba-tiba terasa sakit. Rasa sakitnya begitu mendadak sampai ia harus berhenti melangkah dan menggapai dinding untuk menahan tubuhnya. Karena tidak ingin membuat kehebohan, Mia bergegas menghampiri salah satu pintu kaca di dekatnya dan mendapati dirinya berada di taman kecil yang sepi dan disinari bulan.

Udara dingin bulan Desember menerjangnya, tetapi Mia tidak sempat merasakan dinginnya karena begitu ia menginjakkan kaki di taman itu, rasa sakit di dadanya kembali menyerangnya. Ia mengerang tertahan dan memejamkan mata erat-erat. Ia berusaha mengatur napas selagus jatuh terduduk di salah satu bangku kayu yang berderet di jalan setapak taman itu.

Obat, pikir Mia sambil menggigit bibir menahan sakit. Obatku. Dengan susah payah karena tangannya gemetar, ia berusaha membuka tas tangan kecilnya dan menuangkan isinya yang tidak seberapa ke bangku. Ia meraih tabung plastik kecil itu dengan panik, membuka tutupnya dan mengeluarkan sebutir pil yang kemudian dimasukkannya ke dalam mulut. Ia membiarkan tas tangan dan ponsrlnya jatuh tergeletak di tanah. Tangannya yang memeras tabung plastik itu ditempelkan ke dada, berharap hal itu bisa meredakan rasa sakit di sana, walaupun ia tahu itu sia-sia saja.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Mia hampir tidak menyadarinya karena ia sedang kesakitan dan berusaha mengatur napas. Pandangannya mulai buram dan ia harus menopang tubuhnya di bangku itu dengan sebelah tangan supaya tidak jatuh ke tanah.

Sebutir air mata jatuh bergulir di pipinya sementara ia merintih menahan sakit. Ia ingin rasa sakitnya berhenti. Ia tidak boleh jatuh pingsan di sini. Tidak boleh.

Tepat pada saat itu suara seseorang menerobos kabut rasa sakitnya yang menyelubungi otaknya. Lalu Mia merasa seseorang menahan tubuhnya. Ia membuka mata dan melihat wajah Alex Hirano yang pucat dan menatapnya dengan mata terbelalak cemas.

"Clark, ada apa?" tanyanya. Mia bisa mendengar nada cemas dalam suara Alex. "Ada apa?"

Oh, astaga. Kenapa Alex Hirano bisa ada di sini? Kenapa laki-laki itu harus melihatnya dalam keadaan seperti ini? Kenapa laki-laki itu harus melihatnya dalam keadaan seperti ini? Mia berusaha menggeleng. Alex duduk di sampingnya dan membiarkan Mia menyandarkan tubuh ke sisi tubuhnya."Kau sakit?" tanya Alex lagi. "Kita harus ke rumah sakit."

Mendengar itu Mia cepat-cepat mengcengkram lengan Alex dan mebggeleng lebih keras lagi. "Tidak," katanya dengan susah payah. Suaranya hanya terdengar seperti bisikan serak. "Aku akan baik-baik saja."

Sepertinya Alex hendak memprotes keras, tapi cengkraman Mia di lengannya semakin erat dan Mia menambahkan, "Sudah minum obat... Sebentar lagi... aku akan baik-baik saja... Sebentar lagi."

Mia tahu laki-laki itu pasti gusar, tetapi Alex tidak membantahnya dan membiarkan Mia mengcengkramengannya, bersandar padanya. Kemudian Alex memperbaiki posisi tubuh Mia ketika ia melepaskan jasnya, yang kemudian disampirkannya ke sekeliling tubuh Mia.

"Kau gemetaran." Mia mendengar Alex berguman dengan nada kaku. Ia merangkul bahu Mia dan mengisap-usap lengan dan punggung Mia yang terbungkus jas.

Mia membiarkan matanya tetap terpejam sementara napasnya perlahan-lahan kembali normal dan rasa sakit di dadanya berkurang. Ia tidak tahu apakah karena sentuhan Alex atau karena laki-laki itu sendiri, tetapi ia merasa sedikit lebih baik.

"Apakah sakit sekali?" Suara Alex yang lirih dan bernada khawatir terdengar dekat di telinga Mia.

Mia tersentak dan menggigil. Alex melihatnya dalam keadaan seperti ini. Ia tidak mungkin membiarkan orang lain melihatnya seperti ini. Ia harus pergi. Sekarang. "Aku ingin pulang," bisiknya dengan suara yang sedikit lebih terkendali. "Apakah kau keberatan?"

"Sama sekali tidak," sahut Alex tanpa ragu. Ia mengeluarkan ponsel dan menelpon sopirnya, memintanya menunggu mereka di pintu depan. Setelah itu ia menunduk dan menatap Mia. "Kau bisa berdiri?"

Sebenarnya Mia masih belum merasa cukup kuat untuk bergerak, apalagi berdiri, tetapi ia tahu ia harus memaksakan diri. Namun sebelum ia sempat menarik diri menjauh dari Alex, Alex sudah mengambil keputusan untuknya. Alex mrnunduk untuk memungut tas tangan dan ponsel Mia, meletakkannya di pangkuan Mia, lalu berdiri dengan perlahan, sebelah tangannya merangkul bahu Mia dan tangannya yang lain diselipkan di bawah lutut Mia. Dan tiba-tiba saja Mia sudah terangkat dari kursi dan berada dalam pelukan Alex.

"A-Alex... kau tidak perlu..."

"S-st, tidak apa-apa," guman Alex dengan nada menenangkan. Ia memperbaiki posisi Mia dalam pelukannya dan berjalan dengan langkah lebar ke dalam ruangan, menyusuri koridor yang untungnya sepi dan langsung ke pintu depan.

Mia mendesah pelan. Ia terlalu lemah dan kesakitan untuk memprotes atau melakukan apa pun selain menyandarkan kepala ke bahu Alex dan memejamkan mata. Lagi pula ia merasa nyaman dipeluk seperti itu.

*****

Alex tidak mau mengingat bagaimana perasaannya ketika menemukan Mia yang mengerang kesakitan di bangku taman. Rasa dingin yang menjalari tubuhnya saat itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan udara dingin dan itu bukan sesuatu yang pernah dirassakannya atau ingin dirasakannya lagi. Ketakutan, kebingungan, kecemasan, dan kepanikan bercampur baur dalam pikirannya sementara ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk gadis yang menangis menahan sakit di hadapannya.

Dan Mia memang benar-benar kesakitan, kaena gadis itu mengcengkram lengan Alex begitu erat, kuku-kuku gadis itu seolah-olah menembus kemeja putihnya dan tertancap di kulitnya.

Ketika mereka sudah berada di kursi belakang Lexus Alex, Mia mulai bernapas sedikit lebih teratur walaupun wajahnya masih pucat pasi. Ia masih membiarkan Alex merangkul bahunya dan ia masih membiarkan dirinya bersandar di sisi tubuh Alex.

"Mr. Hirano, apakah teman Anda sakit?" tanya sopir Alex dengan nada cemas sambil menatapnya melalui kaca spion. "Kita ke rumah sakit?"

Alex ingin membawa Mia ke rumah sakit. Gadis itu benar-benar kesakitan dan ia tidak ingin mengambil resiko. Tetapi kemudian Mia mengangkat wajah dari bahunya dan menatap mata Alex dengan tatapan memohon.

"Aku tidak ingin ke rumah sakit. Aku akan baik-baik saja," bisiknya lirih. Lalu ia menelan ludah dan melanjutkan , "Ini sudah pernah terjadi. Aku hanya perlu minum obat dan aku akan baik-baik saja. Sungguh."

Alex menatap Mia dengan kening berkerut ragu."Sekarang aku sudah merasa lebih baik," tambah Mia, berusaha menyakinkan Alex. "Kalau kau melihatku kesakitan lagi, kau boleh membawaku ke rumah sakit. Tapi sekarang aku hanya ingin pulang."

Alex memalingkan wajah ke depan, berpikir, sejenak, lalu mengangguk enggan. "Baiklah." Alex menatap sopirnya melalui kaca spion dan berkata, "Kita pulang sekarang."

"Terima kasih," bisik Mia lagi.

Alex menunduk menatapnya. "Kita tidak akan pergi ke rumah sakit, tapi kau akan menginap di tempatku malam ini."

Mata Mia melebar.

"Aku tidak mungkin dan tidak akan meninggalkanmu sendirian di apartemenmu dalam keadaan seperti ini," kata Alex dengan nada suara yang menyatakan bahwa ia tidak ingin dibantah. "Kita bisa mampir di apartemenmu terlebih dahulu kalau ada obat lain yang harus kaiminum malam ini."

Mia memejamkan mata sejenak dan membasahi bibirnya yang kering. Sebelah tangannya terangkat ke kening, lalu ia menarik napas perlahan dan mengernyit samar. Ia memutuskan bahwa ia masih terlalu lemah untuk memprotes, jadi ia akhirnya berkata dengan nada menggerutu, "Tidak perlu. Aku menyimpan cadangan obat di apartemenmu," katanya pelan.


Bab 23

"JADI selama ini kau menyimpan obat-obatmu di sana?" tanya Alex sambil menyandarkan sebelah bahunya ke pintu kulkas.

Saat itu mereka sudah berada di apartemennya dan Alex mengamati Mia mengeluarkan kantong plastik bening berisi obat-obatnya dari salah satu lemari di dapur. Keadaan Mia sudah jauh lebih baik ketika mereka tiba di apartemen Alex. Walaupun wajahnya masih pucat pasi, gadis itu sudah bisa berdiri tegak dan berjalan tanpa perlu dipapah.

"Sudah kubilang aku sudah merasa sehat," gerutu Mia sambil memilah-milah obatnya di atas meja di dapur. "Aku tidak perlu dijaga."

Alex menyilangkan lengan di depan dada. "Aku tidak mau berdebat denganmu soal itu lagi," katanya tegas. "Kau tidak akan pergi ke mana-mana malam ini. Kau bisa tidur di kamar tamu."

Mia menelan obatnya satu per satu, lalu melotot kepada Alex yang membalasnya dengan senyum lebar. Kalau gadis itu sudah bisa merasa gusar padanya, itu tanda bagus. Setidaknya itu berarti ia sudah merasa cukup sehat untuk marah-marah.

"Omong-omong," kata Alex sambil mengamati gaun Mia dengan alis berkerut, "apakah kau juga menyimpan pakaian di sini?"

"Apa? Tidak. Memangnya kenapa?"

Alex mengangkat bahu. "Kau terlihat menganggumkan, Clark, percayalah padaku, tapi kau tidak mungkin merasa nyaman tidur dengan gaun itu," katanya.

Mia menunduk menatap gaunnya. "Oh," gumannya datar.

"Jangan khawatir. Ikut aku," kata Alex sambil berbalik dan berjalan menyusuri koridor ke arah kamar tidurnya. Mia ragu sejenak sebelum beranjak dari tempatnya berdiri dan menyusul Alex.

Alex membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan langsung berderap menghampiri lemari di sisi ruangan. Ia membuka pintu lemari dan mengamati isinya sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan sweter putih dengan tulisan I <3  NY di bagian depan dan sehelai handuk bersih.

"Pakai ini," katanya sambil menjejalkan sweter dan handuk itu ke tangan Mia. "Sweter ini pasti jauh lebih nyaman daripada gaun yang kulakukan sekarang."

Mia menunduk menatap sweter di tangannya dan tidak tahu harus berkata apa.

Alex menatap Mia sejenak, lalu tersenyum kecil dan bertanya, "Kau butuh bantuan?"

Mia mengangkat wajah dan menatap Alex dengan alis terangkat, lalu menunduk lagi menatap sweter di tangannya dan gaun hijau yang masih melekat di tubuhnya. Kemudian ia kembali menatap Alex sambil mengeluarkan suara yang setengah mendengus setengah tertawa. "Tidak usah, terima kasih banyak. Aku sudah merasa cukup sehat untuk berganti pakaian sendiri," katanya sambil berbalik dan berjalan keluar dari kamar Alex ke kamar tamu.

*****

Mia mendesah menatap bayangan dirinya di cermin panjang yang tergantung di kamar tamu. Ia sudah berganti pakaian dan sekarang mengenakan sweter Alex yang panjangnya mencapai lututnya. Ia merentangkan kedua lengan ke samping dan tersenyum kecil melihat dirinya yang seolah-olah tenggelam dalam sweter itu. Perlahan-lahan senyumnya memudar. Sweter itu juga membuatnya terlihat jauh lebih kurus dan mengingatkannya bahwa berat badannya memang menurun akhir-akhir ini.

Mia menyentuh pipinya yang pucat dan mendesah sekali lagi. Ia tahu ia harus menjelaskan keadaannya kepada Alex Hirano. Laki-laki itu pasti membutuhkan penjelasan seelah melihat Mia dalam kondisi seperti tadi. Mia memiringkan kepalanya dan bertanya-tanya bagaimana perasaan Alex ketika melihatnya kesakitan seperti itu. Takut? Panik? Suara laki-laki itu pada awalnya memang terdengar panik, tetapi kemudian, ketika ia merangkul Mia dan membiarkan Mia bersandar di tubuhnya, nada suaranya terdengar terkendali. Saat itu Mia terlalu kesakitan untuk mendengar apa yang dikatakan Alex, tetapi suaranya yang rendahvdan menenangkan berhasil meredakan ketegangan yang dirasakan Mia.

Ya, Alex pasti menginginkan penjelasan, tetapi kenapa sampai sekarang ia belum menanyakan apa pun kepada Mia? Tadinya Mia mengira Alex akan membanjirinya dengan pertanyaan setelah mereka tiba di apartemennya. Tetapi ternyata laki-laki itu tidak berkata apa-apa. Kenapa?

Mia mendesah sekali lagi, lalu berbalik dan berjalan keluar dari kamar tamu.

Mia menemukan Alex di ruang duduk. Ia sudah melepaskan tuxedonya dan kini mengenakan kaus lengan panjang berwarna abu-abu dan celana panjang putih yang terlihat nyaman. Ia sedang duduk di sofa sambil berbicara dengan seseorang di telepon ketika Mia muncul. Alex melihatnya dan memberi isyarat supaya Mia mendekat.

"Aku tahu," kata Alex di ponselnya," tapi kami harus meninggalkan pesta lebih awal karena aku tiba-tiba teringat bahwa aku punya janji lain."

Mia duduk di samping Alex di sofa dan bertanya, "Ray?" kepada Alex tanpa suara.

Alex mengangguk singkat sebelum berkata di ponsel lagi, "Akan kujelaskan besok. Tolong sampaikan permintaan maafku pada Dee, oke?"

"Kita tidak pamit kepada siapa pun tadi," guman Mia dengan kening berkerut samar ketika Alex menutup ponsel dan melemparkannya ke atas meja seperti biasa. "Teman-temanku pasti heran aku menghilang begitu saja. Dan Dee juga pasti kebingungan mencariku. Tadi katanya dia ingin berbicara kepadaku dan menyuruhku jangan pulang dulu."

"Aku sudah meminta Ray menjelaskan kepergian kita kepada Dee. Kau tidak usah khawatir," kata Alex. Ia menunjuk dua cangkir cokelat panas di atas meja. "Itu untukmu."

"Cokelat?" tanya Mia dengan mata berkilat-kilat senang. Ia mencondongkan tubuh ke depan dan meraih cangkir yang paling dekatcdengannya. Aroma cokelat yang harum memenuhi hidungnya. Mia menyesapnya sedikit dan berguman senang. Lalu ia menatap Alex dan bertanya hati-hati, "Apa yang kaukatakan pada Ray?"

"Tidak ada," sahut Alex, "jadi kau tidak perlu khawatir."

Mia kembali menyesap cokelatnya dan berpikir sejenak. Tanpa mengangkat wajah, ia bertanya lagi, "Alex, kenapa kau belum bertanya apa-apa padaku?"

Alex mencondongkan tubuh ke depan dan meraih cangkirnya. "Aku berencana bertanya padamu besok pagi," sahutnya. "Kupikir sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya."

Alex tidak berpura-pura tidak mengerti apa maksud Mia dan dia juga tidak menuntut penjelasan saat ini juga. Karena itu Mia merasa bersyukur. "Terima kasih," guman Mia sambil tersenyum. "Padahal kukira kau akan langsung menginterogasiku setibanya kita di rumah."

Alex menatapnya dan balas tersenyum. "Aku memang penasaran, tapi aku tidak mungkin menghujanimu drngan pertanyaan sementara kau jelas-jelas sedang tidak sehat. Jadi kita akan bicara besok," katanya. Ia menatap Mia sejenak, lalu bertanya dengan nada lebih lembut, "Bagaimana perasaanmu sekarang?"

"Aku sudah merasa lebih baik," guman Mia. Ia menangkup cangkir cokelatnya dengan kedua tangan, membiarkan rasa hangat menjalari telapak tangan, lengan, dan sekujur tubuhnya.

"Kau merasa lelah?"

Mia mengangguk. Ia merasa lelah. Dan mengantuk. Ini aneh, karena ia jarang mengantuk. Mungkin minuman cokelat ini yang membuatnya mengantuk.

"Kalau begitu, ayo," kata Alex sambil berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Mia. "Sebaiknya kau beristirahat sekarang."

Mia tersenyum dan menghabiskan cokelatnya sebelum menyambut uluran tangan Alex. Alex meletakkan kedua tangannya di bahu Mia dan mendorongnya dengan lembut ke kamar tamu.

"Apakah kau akan menyelimutiku?" tanya Mia sambil tertawa pelan ketika mereka sudah berada di kamar tamu.Alex mengangkat selimut dan memberi isyarat supaya Mia naik ke tempat tidur. Mia memutar bola matanya, tetapi ia menurut, merangkak naik ke atas ranjang dan membiarkan Alex menyelimutinya.

"Apakah sekarang kau akan mbacakan dongeng pengantar tidur untukku?" gurau Mia sambil tersenyum lebar.

Alex tertawa."Siapa tahu itu bisa membantuku tidur nyenyak malam ini," lanjut Mia sambil mengangkat bahu.

*****

Alex mendesah, namun ia tersenyum dan memutuskan untuk ikut bermain. "Baiklah, kau ingin mendengar cerita tentang apa?"

"Tentang apa saja," sahut Mia sambil meringkuk miring, mencari posisi yang nyaman di balik selimut. "Mari kita lihat seberapa kreatifnya dirimu."

Alex duduk di tepi ranjang di dekat kaki Mia dan mulai berpikir. "Pada zaman dahulu kala," ia mulai bercerita, "di negeri yang sangat jauh yang diperintah oleh raja yang bijaksana, hiduplah gadis desa yang tinggal bersama bibinya yang sudah tua. Gadis desa itu memiliki wajah yang cantik, rambut hitam sehitam arang, mata gelap segelap malam, dan kulit pucat sepucat bulan purnama. Astaga, sepertinya gadis itu mirip denganmu, Clark. Mengejutkan, bukan?"

Mia tertawa, berusaha meredakan debar jantungnya ketika menyadari bahwa Alex menyamakan dirinya dengan gadis desa dalam ceritanya, gadis yang ia bilang cantik. "Lucu sekali. Ayo, lanjutkan ceritanya."

"Dan gadis itu suka menari, sama sepertimu," lanjut Alex. "Dia menari di mana pun ia berada. Di dalam rumah, di tengah jalan, di alun-alun desa, di mana saja. Dan walaupun sudah dilarang keras oleh bibinya, gadis itu juga suka menari di hutan, di antara kiicauan burung dan ditemani kupu-kupu.

"Suatu hari, ketika ia sedang menari di hutan seperti biasa, ia mendengar keributan. Ternyata sang pangeran sedang berburu rubah bersama para pengawal. Itulah pertama kalinya si gadis melihat sang pangeran dengan mata kepalanya sendiri. Oh, ya, kau mau aku menggambarkan rupa sang pangeran?" tanya Alex kepada Mia.

Mia tersenyum lebar. "Apakah kau akan berkata bahwa sang pangeran memiliki ciri-ciri yang sama denganmu?"

Alex berpura-pura berpikir keras. "Hmm... Ya, sebenarnya kalau dipikir-pikir, dia memang hampir mirip denganku. Tampan, tinggi, penuh pesona, dan memiliki karisma yang luar biasa."

Mia tertawa.

"Oke, sampai di mana kita tadi?" tanya Alex.

"Sang pangeran sedang berburu," jawab Mia di sela-sela tawanya.

"Ya, sang pangeran sedang berburu bersama rombongan pengawalnya. Si gadis desa ingin melihat sang pangeran dari dekat, supaya ia bisa menggambarkannya dengan jelas ketika ia menceritakan kejadian langka itu kepada teman-temannya di desa nanti. Namun gerakannya entah bagaimana membuat kuda hitam sang pangeran terkejut dan mendompak. Sang pangeran terlempar dari kuda dan jatuh ke tanah dengan keras. Kecelakasn itu membuat kakinya patah.

"Sang pangeran marah besar. Oh, tentu saja ia marah. Ia memerintahkan gadis desa itu diseret ke istana dan dihukum menjadi pelayan pribadi sang pangeran."

Mia menyipitkan mata dan seulas senyum tersungging di bibirnya. "Hmm, kau yakin bukan si gadis desa yang menawarkan diri menjadi pelayan pribadi sang pangeran karena dia merasa bersalah dan ingin bertanggung jawab?"

Alex pura-pura berpikir. "Mungkin si gadis desa memang ingin membantu, tapi dia sudah pasti tidak dengan sukarela menawarkan diri menjadi pelayan pribadi sang pangeran."

Mia tertawa lagi. "Lalu bagaimana kelanjutannya? Bagaimana gadis itu menjalani hukumannya?"

"Itu," kata Alex tegas," adalah cerita untuk lain hari. Sekarang waktunya tidur."

"Astaga, kau terdengar seperti ayahku," gerutu Mia.

Alex mendengus, namun tidak mengomentari kata-kata Mia tadi. "Panggil saja aku kalau kau membutuhkan sesuatu. Oke?" katanya.

"Alex?" panggil Mia ketika Alex sudah mencapai ambang pintu.

Alex berbalik, sebelah tangannya berada di kenop pintu. "Ya?"

Mia bangkit dan duduk di atas ranjang. Ia menatap Alex lurus-lurus dan berkata dengan nada tulus, "Terima kasih. Terima kasih karena kau membuatku merasa jauh lebih baik."

Alex tersenyum. "Selamat malam, Clark," katanya sebelum keluar dan menutup pintu di belakangnya.


Bab 24

ALEX membuka matanya yang berat dan duduk di ranjangnya dalam satu gerakan mulus. Ia menguap sejenak sebelum mengayunkan kakinya ke lantai dan melirik beker di samping tempat tidurnya. Jam 07.10. Alex berdiri dan berjalan ke pintu. Ia bermaksud pergi ke kamar sebelah untuk melihat keadaan Mia, namun begitu membuka pintu, aroma kopi yang harum menyerangnya. Itu berarti Mia Clark sudah bangun.

Alex menemukan Mia di dapur, masih mengenakan sweter putih Alex yang kebesaran untuknya. Mia pasti baru bangun, wajahnya terlihat cerah dan segar, karena terakhir kali Alex melihatnya pada pukuk 06.20, gadis itu masih tertidur pulas di balik selimut di kamarnya.

"Hai," sapa Mia sambil tersenyum lebar ketika ia melihat Alex di ambang pintu dapur. "Selamat pagi."

Alex berguman tidak jelas dan duduk di salah satu bangku tinggi di dapur.

"Astaga," kata Mia sambil mengamati wajah Alex dengan seksama. "Kau terlihat mengerikan. Ada lingkaran hitam di matamu. Tidurmu tidak nyenyak semalam?"

Alex memang merasa mengerikan. Ia masih mengantuk dan lelah. Dan semua itu karena ia bangun setiap jam sepanjang malam untuk memeriksa keadaan Mia dan memastikan gadis itu baik-baik saja. Ia lega melihat gadis itu tertidur pulas sepanjang malam. Tetapi tentu saja ia tidak bisa mengatakan hal itu kepada Mia. Sebagai gantinya ia bertanya, "Bagaimana keadaanmu pagi ini?"

"Sangat baik," sahut Mia senang. "Dan tidurku sangat nyenyak kemarin. Ajaib, bukan? Kau tahu aku jarang tidur lebih dari tiga jam. Ini benar-benar kejutan yang sangat menyenangkan. Aku tidur selama hampir tujuh jam semalam. Dan pagi ini aku merasa sangat sehat."

Alex tersenyum. "Aku senang mendengarnya," katanya. "Itu berarti kau memang harus di sini kalau ingin tidur lebih dari tiga jam."

Mia tertawa. "Atau mungkin ini gara-gara ceritamu kemarin malam. Kau akan melanjutkan ceritanya hari ini?"

"Tidak masalah," sahut Alex ringan. "Tapi setelah kau menjelaskan beberapa hal padaku."

Mia menghela napas dalam-dalam dan mengigit bibir menatap Alex. "Ya, kurasa sebaiknya begitu," katanya pelan sambil tersenyum masam. "Kau mau cuci muka dulu sementara aku menggoreng telur untukmu?"

Lima belas menit kemudian mereka duduk berhadapan di meja makan. Alex menyesap kopi sementara Mia meneguk jus buah.

"Jadi kau mau menjelaskan kenapa kau kesakitan seperti itu kemarin?" tanya Alex.

"Tidakkah sebaiknya kita sarapan dulu?" tanya Mia, berharap mengulur-ngulur waktu walaupun tidak tahu kenapa ia melakukannya, toh pada akhirnya ia tetap harus memberikan penjelasan.

"Kita bisa bicara sambil makan," sahut Alex. Untuk menegaskan maksudnya, ia pun memasukkan sepotong telur orak-arik ke dalam mulut.

Mia meletakkan jus buahnya di atas meja dan menghela napas. Setelah diam sejenak dan menatap jari telunjuknya yang menelusuri pinggiran gelas, Mia berdeham dan berkata pelan, "Ada sedikit masalah dengan jantungku. Aku tidak boleh terlalu lelah."

"Masalah seperti apa?" guman Alex ketika Mia tidak menunjukjan tanda-tanda hendak melanjutkan kata-katanya.

Mia tidak menjawab.

"Clark?" panggil Alex.

Mia mengangkat wajah menatap Alex. "Kenapa kau selalu memanggilku Clark?"

"Usahamu tidak berhasil," sela Alex dengan nada datar, "jadi sebaiknya kau berhenti mengalihkan pembicaraan."

Mia memberengut, lalu meraih garpu dan mulai menusuk-nusuk telurnya."Masalah seperti apa?" tanya Alex sekali lagi.

"Jantungku tiba-tiba saja berhenti berfungsi normal sekitar satu setengah tahun yang lalu dan tidak bisa lagi memompa darah sekuat seharusnya," sahut Mia dengan nada enggan. Ia tidak menatap Alex, tetapi tetap menatap gelas jusnya di atas meja. "Dokter sudah melakukan berbagai macam tes tapi dia tetap tidak tahu apa yang menyebabkan jantungku terus melemah setiap hari. Menurut dokter ada kemungkinan ini penyakit keturunan, tetapi berhubung aku tidak tahu siapa orangtua kandungku, kami tidak bisa memeriksa riwayat kesehatan keluargaku."

Mia mengangkat wajah menatap Alex. Laki-laki itu terlihat kaget dan matanya mengerjap menatap Mia seolah-olah ia tidak percaya pada apa yang didengarnya tadi. Selama beberapa saat tidak ada yang bersuara. Alex tetap menatap Mia sementara Mia memalingkan wajah menatap ke arah lain. Kemudian suara Alex terdengar, "Apa lagi yang dikatakan dokter?"

Mia menggigit bibir sejenak, lalu berkata, "Katanya aku tidak boleh terlalu lelah, aku harus menjaga pola makanku, dan aku harus minum obat yang diharapkan bisa memperbaiki kondisi jantungku." Ia berhenti sejenak sebelum akhirnya menambahkan, "Atau setidaknya membantu memperlambat proses melemahnya jantungku."

"Itukah sebabnya kau mengundurkan diri dari Dee Black Dance Company?" tanya Alex. Pengertian terdengar dalam suaranya.

Mia mengigit bibir lagi dan menghela napas dalam-dalam. "Dokter berkata aku harus berhenti menari kalau tidak ingin membuat kondisi jantungku semakin parah. Saat itu sebagian diriku ingin mengabaikan perintah dokter. Maksudku, aku penari. Menari adalah hidupku. Apa lagi yang bisa kulakukan kalau aku tidak boleh menari?" Ia mendesah. "Tapi bagian diriku yang lain sadar bahwa kondisiku yang seperti ini tidak memungkinkanku untuk menjalani latihan keras setiap hari seperti yang harus dijalani penari lain tanpa mengalami serangan."

"Serangan?" tanya Alex dengan kening berkerut. "Maksudmu serangan seperti yang kaualami kemarin malam di pesta?"

"Mm," guman Mia membenarkan.

Alex terdiam sejenak, terlihat sedang berpikir. Lalu ia bertanya lagi, "Apakah kau sering mengalami serangan seperti itu?"

"Hanya kalau aku terlalu lelah atau terlalu memaksakan diri," sahut Mia. Ia mengangkat bahu. "Tidak terlalu sering."

"Apakah kau pernah mengalami serangan di sini?"

Mia mendongak dan menatap mata Alex. "Tidak," jawabnya tenang.

"Kau yakin?" tanya Alex lagi.

"Ya," sahut Mia."Alex, membersihkan apartemen dan menyiapkan makanan untukmu sama sekali bukan pekerjaan berat."

Mia mengamati Alex, mengira akan melihat tatapan kasihan yang akan dilemparkan Alex kepadanya, dan ia sudah mempersiapkan diri. Ia bahkan sudah siap nembela diri apabila Alex mulai menunjukjan rasa kasihan kepadanya. Ia tidak butuh rasa kasihan, terlebih lagi dari Alex Hirano.Tetapi ia salah. Ketika ia menatap mata Alex, tidak ada kilatan rasa kasihan di sana. Malah laki-laki itu terlihat... marah?

"Kenapa kau tidak pernah mengatakannya padaku sebelum ini?" tanya Alex tajam sebelum Mia sempat bereaksi.

"Aku tidak melihat ada alasan untuk memberitahumu," balas Mia, masih tidak mengerti kenapa Alex tiba-tiba marah padanya.

"Tidak ada alasan untuk memberitahuku?" seru Alex tidak percaya.

Mia mengernyit mendengar suara Alex yang meninggi. "Ya," balas Mia keras kepala. "Ini masalah pribadiku dan tidak ada hubungannya denganmu. Jadi kenapa aku harus menceritakannya kepadamu? Dan kenapa kau berteriak-teriak kepadaku?"

"Perlukah kuingatkan bahwa kau menghabiskan sebagian besar waktumu di sini?" Alex balas bertanya dengan kesal. Oh, ia masih marah, tetapi ia berusaha mengendalikan suaranya. "Apakah kau sadar bahwa apabila sesuatu terjadi padamu di sini maka akulah yang mungkin akan disalahkan?"

Mia mengatupkan bibir rapat-rapat sementara amarahnya sendiri mulai terbit.

"Bodoh," lanjut Alex, masih terlihat sangat marah, "Apa yang kaupikirkan, Clark? Kenapa kau melakukan semua ini dengan kondisi seperti itu? Kenapa kau masih datang ke sini, membersihkan rumah, menyiapkan makanan dengan kondisi seperti ini? Kau mau aku pulang ke rumah suatu hari dan menemukanmu tergeletak tak sadarkan diri di lantai?"

"Sudah kubilang aku baik-baik saja! Jadi kau tidak perlu takut menemukanku tergeletak tak sadarkan diri di lantaimu dan tidak ada orang yang akan meminta pertanggungjawabanmu," bantah Mia dengan suara keras. Matanya berkilat-kilat marah menatap Alex. "Kau bertanya kenapa aku melakukan semua ini? Bukankah kau yang memaksaku menjadi pengurus rumahmu? Kau masih berani bertanya?"

"Itu karena kau tidak pernah berkata apa-apa tentang kondisimu," balas Alex sama kerasnya. "Kalau saat itu aku tahu, aku tidak mungkin membiarkanmu menginjak apartemenku!"

Mia tersentak dan memucat mendengar kata-kata Alex. Ia mebelan ludah, berusaha mengatur napas yang mendadak tercekat di dada. Ia mengerjap ketika air mata mulai terasa menusuk-nusuk bagian dalam kelolak matanya.

Selama ini Mia mengira-bahkan yakin-Alex akan merasa kasihan kepadanya setelah laki-laki itu tahu kondisi jantungnya. Bukannya Mia mengharapkan rasa kasihan dari Alex. Sama sekali tidak. Tetapi ia selalu menduga itulah reaksi umum orang-orang apabila mereka tahu tentang keberadaannya. Ia tidak pernah berpikir Alex akan marah.Dan Alex Hirano marah karena Mia tidak memberitahunya sejak awal. Ia marah karena merasa terbebani oleh "penyakit" Mia. Ia marah karena tidak ingin dipersalahkan kalau sesuatu terjadi pada Mia di apartemennya. Katanya kalau ia tahu tentang penyakitnya, ia tidak mungkin membiarkan Mia menginjak apartemennya.

Mia tidak tahu mana yang lebih buruk, dikasihani atau dibenci Alex Hirano. Yang jelas, saat ini ia merasa seolah-olah seseorang telah menusuk dadanya. Hatinya terasa nyeri. Dan rasa nyeri itu membuatnya hampir tidak bisa menahan air mata.Baiklah. Sudah jelas Alex Hirano tidak ingin Mia berada di dekatnya, jadi sebaiknya ia pergi.

Tanpa berkata apa-apa dan tanpa melirik Alex sedikit pun, Mia mendorong kursi ke belakang, berdiri, dan berderap ke kamar tamu. Beberapa detik kemudian ia keluar sambil membawa tas tangannya dan gaun pesta yang dikenakannya kemarin malam. Ia langsung berjalan ke pintu, mengenakan mantel panjang dan sepatu pestanya dengan cepat. Ia masih tidak berkata apa-apa. Ia takut air matanya akan tumpah keluar begitu membuka mulut. Tanpa menoleh ke belakang sekali pun, Mia membuka pintu, berjalan keluar, dan membanting pintu di belakangnya.

*****

Sialan! gerutu Alex dalam hati. Terkutuklah dirinya. Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutnya, ia langsung sadar ucapannya terdengar salah. Teramat sangat salah. Ia bisa melihat ekspresi Mia berubah dari marah menjadi... menjadi sesuatu yang membuat Alex ingin melukai dirinya sendiri.

Oh ya, ia memang marah pada gadis itu karena merahasiakan kondisi jantungnya. Menurut Alex, Mia benar-benar bodoh karena mengambil resiko memperparah kondisi jantungnya dengan membiarkan Alex memperlakukannya seperti pengurus rumah. Demi Tuhan, Alex bukan monster. Kalau dia tahu kondisi Mia sejak awal, dia pasti tidak akan memaksa Mia datang membersikan apartemennya dan menyiapkan makanan untuknya setiap hari.

Alex juga merasa bersalah. Ia sadar ia tidak selalu bersikap ramah pada gadis itu. Terutama pada awal pertemuan mereka. Alex berusaha mengingat-ingat apakah ia pernah melakukan sesuatu yang menyulitkan gadis itu. Sering. Ia sering menyuruh gadis itu melakukan ini dan itu. Ia bahkan pernah menyuruh Mia datang ke apartemennya ketika gadis itu sedang sakit. Astaga!

Membayangkan Mia Clark mungkin mendapat serangan dan kesakitan sendirian di sini, di apartemen Alex, tanpa sepengtahuannya, membuat sekujur tubuh Alex terasa dingin. Membayangkan Mia Clark mungkin tergeletak tak sadarkan diri di sini tanpa sepengetahuannya membuat darah Alex seolah-olah membeku. Ia tidak tahu kenapa ia merasa seperti itu, tetapi apabila sesuatu terjadi pada Mia Clark... Tidak, ia tidak akan memikirkannya.

Kalau saja ia tahu kondisi gadis itu sejak awal, ia tidak mungkin memakssa gadis itu menjadi pengurus rumahnya. Ia tidak mungkin melakukan apa yang sudah dilakumannya pada gadis itu. Ia tidak mungkin memperlakukan gadis itu dengan buruk. Itulah maksud kata-kata Alex tadi. Tetapi perasaan bingung, marah, dan bersalah membuat ucapannya terdengar lebih kasar daripada maksudnya sebenarnya.

Sekarang ia malah menyakiti gadis itu. Alex bisa melihatnya. Kilatan amarah yang sedetik tadi masih terlihat di mata gelap Mia Clark meredup. Mati. Wajahnya berubah pucat dan gadis itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia tidak menatap Alex sementara ia menghela dan mengembuskan napas dengan perlahan.

Sebelum Alex sempat memikirkan sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya, tiba-tiba Mia mendorong kursinya ke belakang dengan keras, berdiri, dan berjalan pergi. Alex masih terpaku di kursi ketika Mia muncul lagi sambil membawa tas tangan kecil dan gaun pestanya. Alex menatap gadis itu, mencoba mengira-ngira yang sedang dilakukannya, apa yang sedang dipikirkannya. Tetapi Mia sama sekali tidak menoleh kearah Alex. Gadis itu langsung berjalan ke arah pintu apartemen dengan langkah lebar dan mengenakan mantel panjang serta sepatunya dengan cepat.

Saat itulah Alex baru sadar bahwa Mia bermaksud pergi. Gadis itu akan meninggalkannya dengan marah dan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Oh, sialan, Alex lagi-lagi mengutuk dirinya sendiri. Apa yang sudah kulakukan?

Ia tidak ingin Mia pergi. Ia tidak ingin Mia pergi dalam keadaan seperti itu. Tetapi apa yang harus dilakukannya? Sungguh saat itu Alex tidak bisa berpikir jernih. Terlalu banyak yang berlalu-lalang dalam benaknya sampai ia tidak bisa mengatakan sesuatu, atau melakukan sesuatu, untuk mencegah gadis itu melangkah melewati pintu apartemennya.

Alex mematung di kursinya ketika Mia mbuka pintu dengan satu sentakan cepat. Ia juga tetap mematung di tempatnya ketika Mia keluar dari apartemennya dan membanting pintu.

Ketika Mia keluar dari apartemennya, rasanya seolah-olah Mia berjalan keluar dari hidupnya. Dan Alex hanya bisa duduk di sana seperti orang bodoh sementara perasaan hampa perlahan-lahan merayapi dirinya.

----tbc---

0 komentar:

Posting Komentar

 

Berbagi Pengalaman Template by Ipietoon Cute Blog Design