Jumat, 06 November 2015

lanjutan SUNSHINE BECOMES YOU

Bab 10

BAYANGAN dirinya samar-samar memantul di kaca jendela di ruang duduknya. Langit di luar terlihat hitam kelam. Alex berdiri di sana dan memandang ke luar jendela tanpa benar-benar memandang sesuatu. Ia sudah berdiri di sana sejak setengah jam yang lalu, ketika Mia mengantarnya pulang ke apartemen. Keningnya berkerut samar. Otak kreatifnya berputar. Bayangan-bayangan jelas berkelebat dalam benaknya.

Bayangan gadis itu ketika sedang menari di atas panggung. Seperti melayang. Seperti...Tiba-tiba Alex berputar dan berjalan cepat ke arah pianonya. Ia meraih setumpuk partitur yang kosong dan meletakkannya di atas penyangga buku musik. Tangan kanannya mulai menari-nari di atas tuts piano, memainkan beberapa nada, lalu ia berhenti dan meraih pensil untuk menuliskannya di atas kertas. Proses itu berulang terus. Ia tidak bisa menggunakan tangan kirinya, tetapi tidak apa-apa. Ia bisa membayangkan gabungan nadanya, kord-kord yang akan menemani melodi ini. Ia bisa membayangkan keseluruhan lagunya. Ia bisa mendengarnya.

Ia bukan melanjutkan lagunya yang belum selesai waktu itu. Ia sedang menulis lagu baru. Lagu yang tiba-tiba saja terbersit dalam pikirannya dan mengalun cepat dalam benaknya

.Alex Hirano akhirnya mendapat inspirasi.

*****

Hari ini adalah hari yang melelahkan, pikir Mia sambil menelan pil terakhir yang ada di telapak tangan kirinya, lalu merangkak ke atas ranjang. Melelahkan, namun menyenangkan.

Sangat menyenangkan, malah. Mia tersenyum sendiri sementara meringkuk di balik selimut, mencari posisi yang enak. Suasana hati Alex Hirano yang baik, kunjungan ke Juilliard, kembali menari di atas panggung—walaupun hanya sebentar dan bukan untuk pertunjukan apa pun, berkenalan dan mengobrol dengan pasangan Morratti.

Mia mendesah senang. Tubuhnya terasa berat. Kelopak matanya juga mulai terasa berat. Hal terakhir yang terlintas dalam benak Mia sebelum ia tertidur adalah semoga suasana hati Alex Hirano tetap baik untuk seterusnya.

Malam itu adalah malam pertama dalam tiga minggu terakhir ketika Mia akhirnya berhasil tidur selama enam jam tanpa terbangun.


Bab 11

Ray Hirano menekan bel interkom gedung apartemen kakaknya dan menunggu. Tidak ada jawaban. Ia menekan bel sekali lagi. Tetap tidak ada jawaban.

"Ke mana mereka?" guman Ray heran. Yah, mungkin kakaknya pergi bersama Karl, jadi Mia juga sudah pasti tidak ada di sini, pikir Ray. Ia mengeluarkan ponsel dan menekan nomor telepon Mia. Telepon berdering berkali-kali tetapi gadis itu tidak menjawab. Akhirnya Ray menutup ponsel dan berpikir. Mungkin saat ini Mia berada di Small Steps, jadi sebaiknya Ray pergi ke sana.

Ray berbalik dan menuruni anak tangga gedung. Ia bertanya-tanya apakah Mia baik-baik saja, apakah Alex memperlakukannya dengan baik. Terakhir kali Ray melihat mereka dua minggu yang lalu, Alex masih uring-uringan dan sama sekali tidak berusaha bersikap ramah kepada Mia.

Ray baru menginjak trotoar ketika melihat mobil VW Beetle kuning milik Mia melambat dan berhenti di seberang jalan. Pintu penumpang terbuka dan alis Ray terangkat heran melihat Alex turun dari mobil. Alex mengitari mobil ke sisi pengemudi dan menunggu sementara Mia membuka pintu dan turun. Ray memperhatikan tangan kiri Alex tidak lagi tergantung di depan dada walaupun pergelangan tangannya masi diperban.

Mereka menyeberangi jalan ke arah Ray, tetapi masih belum melihat Ray yang berdiri di sana. Alex mengatakan sesuatu kepadanya dan Mia balas mengatakan sesuatu sambil mencari-cari sesuatu di dalam tas tangannya. Saking sibuknya mengaduk-mengaduk tas mencari apa pun yang dicarinya itu, kunci mobil Mia terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah. Tanpa disuruh, Alex membungkuk dan memungutnya.

Ray tertegun, lalu tersenyum kecil. Wah... ada seseorang yang mulai berubah, pikirnya.

"Kau ini benar-benar merepotkan," gerutu Alex sambil menyodorkan kunci mobil kepada Mia.

"Pegang dulu sebentar," kata Mia, madih mengaduk-aduk isi tasnya. "Di mana...?"

Alex mendesah. "Jangan katakan kau menghilangkan kunci rumahku."

"Aku yakin sudah memasukkannya ke dalam tas tadi. Aku yakin... Ah! Ini dia!" Mia mendongak dan mengacungkan kunci rumah Alex dengan penuh kemenangan. Tepat pada saat itu ia melihat Ray dan senyumnya mengembang. "Hai, Ray!"

Alex ikut menoleh. "Oh, kau sudah kembali dari San Francisco?"

Ray tersenyum lebar kepada mereka berdua, lalu matanya terpaku pada Mia. "Halo, Mia." Ia tidak melihat Alex memutar bola matanya dan menggeleng pelan. "Kalian dari mana?"

"Kami baru dari rumah sakit," sahut Mia. "Pemeriksaan rutin. Lihat, kata dokter tangannya tidak perlu digantung lagi."

Ray menoleh ke arah kakaknya. "Itu berita bagus, bukan?"

"Kalau kau berpikir begitu," guman Alex. "Aku masih belum bisa menggerakkan tanganku."

"Kurasa sebaiknya kau tidak mengibas-ngibaskan tanganmu seperti itu," kata Mia.

"Aku tidak mengibas-ngibaskannya," bantah Alex. "Aku hanya ingin menunjukkannya kepada Ray."

"Tadi aku menelponmu," kata Ray kepada Mia sambil mengeluarkan ponselnya dari tas."Ya, tapi kau tidak menjawab. Kukira kau sedang mengajar."

Mia melirik Alex sekilas. "Alex melarangku menjawab telepon ketika sedang mengemudi. Padahal aku..."

"Tentu saja kau tidak boleh menelpon sambil mengemudi," sela Alex.

"Padahal aku selalu menggunakan speaker phone. Aku tahu aku tidak boleh memegang ponsel ketika sedang mengemudi," Mia melanjutkan kata-katanya sambil menatap Alex yang balas memelototinya.

"Baiklah," sela Ray dengan nada riang untuk mencegah Mia dan Alex bertengkar lagi padahal hubungan mereka sepertinya sudah membaik. "Omong-omong, Mia, kau tidak mengajar hari ini?"

Mia terkesiap dan melirik jam tangannya. "Aduh, aku lupa. Aku harus pergi sekarang." Lalu ia menatap Ray dan tersrnyum. "Untunglah kau ada di sini. Kau bisa menemani kakakmu. Ini." Ia meyodorkan kunci rumah Alex kepada Ray.

Ray menerima kunci itu dengan bingung. Sudah seminggu ini ia tidak melihat Mia dan sekarang setelah bertemu sebentar gadis itu malah mau pergi? "Tapi Mia..."

Namun Mia sudah berbalik dan berjalan ke arah mobilnya.

"Clark," panggil Alex.

Mia berhenti melangkah dan menoleh. "Ya?"

"Kau melupakan sesuatu," tanya Alex sambil mengancungkan kunci mobil Mia yang masih dipegangnya.

Mia tertawa malu dan berlari-lari kecil menghampiri Alex. "Terima kasih," katanya sambil mengambil kuncinya dari tangan Alex.

Sebelum Mia sempat berbalik dan berlari pergi lagi, Ray cepat-cepat bertanya, "Mia, kau ada waktu malam ini?"

Mia menoleh dan menatapnya. "Malam ini? Ya, kurasa begitu. Ada apa?"

"Makan malam denganku?"

Mia tersenyum. "Tentu saja."

Ray tersenyum lebar. Oh, ia baru ingat... Ia menoleh ke arah Alex yang berdiri di sampingnya tanpa berkomentar apa-apa. "Omong-omong, kau tidak membutuhkan bantuan Mia malam ini, bukan?"

Alex tidak langsung menjawab. Ia menatap Ray sejenak dengan tatapan aneh, lalu akhirnya berkata, "Tidak."

"Bagus," kata Mia sambil bertepuk tangan sekali. "Kalau begitu sampai jumpa nanti malam, Ray."

*****

"Jadi," kata Ray sambil membuka pintu apartemen Alex dan melangkah masuk. "Semuanya baik-baik saja selama aku tidak ada?"

"Seperti yang bisa kaulihat sendiri," sahut Alex pendek.

Ray mengempaskan diri ke sofa dan berkata, "Kau tahu Mom dan Dad akan segera kembali ke New York, bukan?"

Alex berjalan ke dapur sambil berkata, "Ya. Mom menelponku sebelum nereka naik pesawat."

"Mom pasti akan serangan jantung kalau dia tahu soal tanganmu."

"Oh, Mom sudah tahu. Dan dia sudah berteriak-teriak kepadaku di telepon," kata Alex masam. "Hei, kau mau minum apa?"

"Apa saja," Ray balas berseru. "Lalu apa kata Mom?"

Alex kembali ke ruang duduk sambil membawa sebutir apel dan sebotol jus jeruk dengan satu tangan. "Dia bertanya bagaimana tanganku bisa sampai cedera. Minum ini."

Ray menatap jus jeruk yang disodorkan kepadanya dengan alis terangkat. "Hei kau kira aku anak kecil atau apa?"

"Dia menjejali kulkasku dengan buah dan jus. Kalau kau tidak suka jeruk, masih ada tomat, apel, dan entah apa lagi. Cari saja sendiri."

"Dia maksudmu Mia? Yah, jeruk juga tidak apa-apa," kata Ray sambil mengangkat bahu "Lalu kau memberitahu Mom soal Mia?"

Alex duduk di bangku piano dan menggigit apelnys. "Tidak. Kubilang padanya aku jatuh dari tangga. Dan itu memang benar. Aku memang terjatuh, setelah ditabrak gadis itu."

"Kau harus bersiap-siap," kata Ray. "Kurasa Mom akan langsung datang ke sini setelah turun dari pesawat."

"Yah, aku tahu," sahut Alex dan mendesah keras.

"Kau tahu aku senang kau sudah tidak lagi sinis pada Mia," kata Ray sambil tersenyum senang. "Dia gadis yang menyenangkan, bukan?"

"Oh, ya?" balas Alex acuh tak acuh.

"Jangan terlalu keras padanya," bujuk Ray. "Dia hanya ingin membantumu."

Alex hanya berguman tidak jelas dan kembalu menggigit apelnya.

"Omong-omong," kata Ray sambil menunjuk ke arah deretan pot tanaman kecil yang ada di bingkai jendela ruang duduk," apa itu?"

Alex memandang ke arah yang ditunjuk dan menjawab, "Gadis itu yang membawanya ke sini. Katanya tanaman-tanamannya bisa mendapatkan lebih banyak cahaya matahari di sini daripada di apartemennya."

Ray menoleh menatap kakaknya dengan heran. "Mia yang membawanya ke sini?" tanyanya.

Alex mengangguk. "Dia suka tanaman."

"Dan kau mengizinkannya membawa semua itu ke sini?"

Alex menganggkat bahu. "Dia suka tanaman," katanya sekali lagi, seolah-olah itu sudah menjelaskan semuanya.

Ray mengerjap, lalu menoleh menatap pot-pot kecil itu. Mia suka tanaman? Kenapa selama ini ia tidak tahu? Apa lagi yang disukai Mia? Apakah kakaknya tahu? Ray kembali menoleh ke arah Alex dan berkata ragu, "Akhir-akhir ini Mia lebih banyak menghabiskan waktunya bersamamu di sini. Jadi kurasa kau lebih tahu..." Ray terdiam sejenak, lalu bertanya, "Apa lagi yang kau ketahui tentang Mia?"

"Apa?" tanya Alex bingung.

"Apa lagi yang kau ketahui tentang Mia?" tanya Ray sekali lagi. "Kau harus membantuku, Alex. Dia sering bersamamu dan kau pasti memperhatikan sesuatu tentang dirinya selama ini. Kau tahu aku ingin mendekatinya, tetapi selama ini aku merasa tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Apakah dia pernah berbicara tentang aku? Bagaimana pendapatnya tentang aku?"

Alex mengangkat tangannya yang memegang apel, yang tinggal setengah, untuk menghentikan banjir kata-kata Ray. Ray menutup mulut dan Alex menatapnya dengan kening berkerut samar. "Kalau kau memang menyukainya," kata Alex, "Kalau kau memang ingin mengenalnya lebih baik, kenapa kau tidak bertanya secara langsung? Bukankah kalian berdua cukup dekat?"

"Aku... aku tidak tahu," jawab Ray jujur. "Entahlah. Walaupun dia selalu bersikap baik, aku mendapat kesan dia masih menjaga jarak. Aku jadi tidak berani bertanya, takut menanyakan sesuatu yang tidak seharusnya ditanyakan dan dia akan semakin menjaga jarak dariku." Ray menatap Alex dengan bingung. "Aku tidak tahu bagaimana menghadapinya."

Alex menatap Ray sejenak, lalu menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan, seolah-olah menyerah. "Dia penari," kata Alex pelan.

"Aku tahu itu," kata Ray sambil mengibaskan tangannya.

"Lulusan Juilliard."

Ray menatap Alex. "Apa?"

Ray menggeleng. Kenapa ia tidak tahu Mia lulusan Juilliard? Kenapa ia bisa tidak tahu?

"Dia penari yang hebat," lanjut Alex. "Tapi kau tentu sudah tahu itu karena kau bilang kau pernah melihatnya menari."

Ray membuka mulut ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.

"Dia suka lagu Italia."

"Lagu Italia?"

"Dan makanan Italia."

"Kalau begitu aku harus membawanya ke restoran Italia malam ini, guman Ray, lebih kepada dirinya sendiri. Lalu karena Alex tidak melanjutkan kata-katannya, Ray mengangkat wajah menatap kakaknya dan bertanya, "Apa lagi?"

"Dia..."

"Dia apa?"

"Tidak apa-apa," kata Alex sambil berdiri dari bangkunya. "Kadang-kadang dia bisa sangat merepotkan. Itu saja."

Ray menatap kakaknya dengan kecewa. "Apa? Hanya itu yang bisa kauceritakan kepadaku?"

"Kau sudah mengenalnya lebih dulu sebelum aku mengenalnya," kata Alex datar. "Seharusnya kau yang tahu lebih banyak tentang dirinya."

"Seharusnya memang begitu," Ray membenarkan. "Tapi kau lihat sendiri, aku bahkan tidak tahu dia lulusan Juilliard."

"Itu karena kau tidak pernah bertanya."

Ray terdiam. Kakaknya benar. Ia tidak pernah bertanya. Tetapi seperti yang dikatakannya tadi, ia tidak tahu apa yang harus ditanyakannya dan apakah yang ditanyakannya itu pantas atau tidak. Walaupun selalu terlihat tenang, riang, dan ceria, sebenarnya Ray selalu merasa salah tingkah dan tidak yakin di depan Mia. Ia tidak tahu apakah Mia hanya menganggapnya sebagai teman atau apakah Mia pernah memandangnya sebagai laki-laki. Bagaimana caranya membuat Mia memandangnya dan hanya dirinya?

"Jangan bertanya padaku. Kau yang harus memikirkannya sendiri," kata Alex.

Ray mendongak dan menyadari bahwa ia sudah mengucapkan apa yang dipikirkannya. "Kurasa begitu," katanya dengan nada merenung. "Aku harus melakukan sesuatu yang bisa membuatnya terkesan.Sehingga aku akan terlihat berbeda di matanya dibandingkan laki-laki lain."

Alex tidak berkomentar.

"Aku bukan satu-satunya orang yang berusaha mendekatinya, kau tahu?" tanya Ray.

"Mm, aku tahu itu," guman Alex.

"Kau tahu?"

"Dia sering mendapat telepon," kata Alex pendek. "Dari laki-laki. Katanya semua itu temannya."

"Nah, kau lihat kan?" Ray merentangkan tangannya dengan menggebu-gebu. "Itulah masalahnya. Aku harus bergerak cepat."

"Semoga beruntung."

Ray memberengut sejenak. Lalu ia menggeleng-geleng dan berkata, "Ah, nanti saja kupikirkan caranya. "Ia meneguk jus jeruknya dan nenoleh ke arah Alex. "Jadi apa yang akan kaulakukan malam ini?"

Alex mengangkat bahu. "Entahlah. Menyelesaikan laguku, mungkin."

"Oh? Sudah mendapat inspirasi?"

"Kurasa aku sudah bisa membuat album baru dengan semua lagu yang ada di kepalaku sekarang."

"Wah, tanganmu terkilir dan kau mendadak mendapat inspirasi. Mungkin kau harus sering-sering mencederai tanganmu," gurau Ray dan tertawa.

"Lucu," balas Alex datar.

Ray menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan keras. Lalu ia menepuk pahanya dan berkata, "Baiklah, aku harus pergi sekarang. Aku harus memikirkan kata-kata yangvtepat untuk menyatakan perasaanku."

Alex tertegun menatap Ray. "Kau ingin menyatakan perasaanmu padanya? Malam ini?"

"Tentu saja," tegas Ray. "Memangnya sampai kapan aku harus berdiam diri begitu? Aku harus melakukannya sebelum orang lain melakukannya."

Alex tidak berkata apa-apa. Hanya kembali menggigit apelnya.

Ray mengangkat bahu. "Siapa tahu Mia bersedia memberiku kesempatan?"

"Mm, siapa tahu?" guman Alex.

Ray berdiri dan berjalan ke pintu, lalu menoleh. "Doakan supaya aku sukses malam ini," katanya sambil tersenyum lebar.

Ia membuka pintu dan melangkah keluar tanpa menunggu jawaban kakaknya.

Dan tanpa menyadari bahwa kakaknya sama sekali tidak menjawab.


Bab 12

ALEX menekan tuts yang menghasilkan nada mi rendah dengan jari telunjuk. Setelah beberapa detik, ia mengangkat jarinya. Lalu ia menekan tuts yang sama sekali lagi, menahannya sebentar, dan mengangkat jarinya lagi. Ia melakukannya berulang-ulang sampai hanya satu nada monoton menyedihkan itulah yang bergema di apartemennya yang sunyi.

Tadinya Alex berencana menghabiskan malam ini di depan piano, menulis lagu. Tetapi begitu ia duduk di depan piano, pikirannya mendadak buntu. Tidak ada satu ide pun terlintas dalam benaknya. Otaknya kosong melompong.

Bosan...

Lapar...

Alex bangkit, berjalan ke dapur, dan memandang berkeliling. Gadis itu tidak menyiapkan makan malam untuknya. Dan ia sendiri tidak bisa menyiapkan makanan yang layak dengan satu tangan tanpa membuat dapurnya kacau-balau. Ia tidak bisa menggoreng telur dengan satu tangan. Ia tidak bisa membuka makanan kaleng dengan satu tangan. Ia tidak bisa mengupas kentang dengan satu tangan. Ia tidak bisa melakukan apa pun dengan satu tangan!

Yah, sebenarnya ia mungkin bisa melakukannya kalau mau mencoba. Masalahnya ia tidak mau. Karena selama ini gadis itulah yang melakukan segala hal untuknya. Karena selama ini gadis itu selalu ada di sini.



Dan hari ini gadis itu tidak ada. Tidak ada orang yang bisa disuruh-suruh.

Itulah alasannya Alex uring-uringan Benarkah itu alasannya?

Sebenarnya selama ini Mia Clark juga tidak pernah tinggal di apartemen Alex sampai malam. Ia selalu pulang sebelum jam tjujuh, setelah menyiapkan makan malam untuk Alex. Alex tidak pernah keberatan atau uring-uringan sebelumnya. Lalu kenapa hari ini berbeda?

Karena gadis itu pergi makan malam bersama Ray?

Alex tertegun letika pikiran itu berkelebat dalam benaknya.

Karena gadis itu pergi makan malam bersama Ray dan membiarkanku kelaparan sendirian di sini, koreksi Alex dalam hati. Itulah alasannya.

Alex kembali ke ruang duduk dan mengempaskan diri kesofa. Matanya terpaku pada ponsel di atas meja. Ia bisa menyuruh gadis itu datang ke sini setelah makan malam dengan Ray. Gadis itu pasti akan datang. Ya, begitu saja.

Karena tidak ingin mengganggu acara kencan Ray, Alex memutuskan mengirim pesan ke ponsel gadis itu.

Kau bisa datang ke sini setelah acara makan malammu selesai?

Beberapa menit berlalu dan tidak ada balasan. Alex tetap menatap ponselnya dengan tajam, menunggu bunyi singkat yang menandakan ada pesan masuk. Kalau pandangan bisa menghancurkan sesuatu, ponsel Alex sudah hancur lebur. Alex sedang berpikir apakah sebaiknya ia menelpon gadis itu secara langsung dan mengambil resiko merusak kencan Ray ketika ponselnya akhirnya berbunyi. Alex cepat-cepatcmeraih ponselnya dan membaca pesan yang masuk. Memang dari gadis itu. Tetapi hanya satu kata.

Kenapa?

Kenapa? Gadis itu bertanya kenapa? pikir Alex jengkel. Bukankah sudah jelas? Ia pun mengetik.

Karena kau belum menyiapkan makan malam untukku.

Satu menit tiga puluh detik kemudian ponsel Alex berbunyi lagi.

Bagaimana kalau kau mengajak Karl makan bersama hari ini?

Alex membalas, Karl sudah punya janji makan malam dengan orang lain.

Dan balasan dari gadis itu. Mungkin Ray bisa menemanimu

.Ray? pikir Alex. Ia melirik jam tangan. Jam delapan lewat sedikit. Apakah kencan merka sudah selesai? Cepat sekali, Kalau begitu, mungkin Ray bisa menemaninya makan di luar. Tapi...

Alex kembali menatap layar ponselnya dengan alis berkerut. Kenapa sepertinya gadis itu menolak datang? Kalau kencannua dengan Ray sudah selesai, seharusnya ia bisa datang. Apakah...? Alex brnar-benar tidak suka berpikir seperti itu, tetapi apakah Mia Clark sedang bersama laki-laki lain? Salah seorang laki-laki yang selalu menelponnya?

Mencoba menghentikan pikiran-pikiran tidak masuk akal yang melintas dalam benaknya, Alex berkata pada diri sendiri bahwa itu sama sekali bukan urusannya. Kalau gadis itu mau berkencan dengan orang lain setelah berkencan dengan Ray, itu sama sekali bukan urusannya.

Sebaiknya kau datang ke sini sekarang juga, ketik Alex, lalu ia menekan tombol "kirim" dengan tenaga lebih besar daripada yang diperlukan.

*****

Sebaiknya kau datang ke sini sekarang juga.

Mia membaca pesan terakhir dari Alex dan mendesah. Ini benar-benar... Apakah laki-laki itu tidak bisa membiarkannya tenang sedikit?

Tanpa beranjak dari posisinya yang terlentang di tempat tidur, Mia mengangkat sebelah tangan ke dada. Sudah tidak terlalu sakit, tetapi napasnya belum tetlalu lancar. Tangannya terangkat ke kening dan ia memejamkan mata, berusaha menenagkan diri dan mengatur napas.

Gara-gara terlalu lelah. Ia tidak boleh terlalu lelah.

Ponselnya yang tergeletak di ranjang bergetar. Mia meraihnya dan membaca pesan yang masuk.

Kau akan datang atau tidak?

Mia menggigit bibir dengan kesal. Dan ia membalas dengan satu kata pendek.

Baiklah.

Ia melempar ponselnya ke samping dan menarik napas dalam-dalam Lalu ia bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur. Kakinya terasa lemah. Ia melirik tabung plastik kecil yang diletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. Ia sudah minum obat tadi, tapi apakah ia harus minum lagi?

Ia harus pergi ke apartemen Alex sekarang, jadi sebaiknya ia minum sebutir lagi.

*****

"Ray, kau ada di mana?"

"Aku bersama teman-temanku. Main boling. Kenapa?"

"Bukankah seharusnya kau makan malam bersama Clark?"

"Ah, itu... Kencannya batal."

"Batal? Kenapa?"

"Katanya dia kurang enak badan, jadi kencannya ditunda sampai..."

"Kurang enak badan?"

"Ya, begitulah katanya."Alex menutup ponsel dengan kening berkerut samar. Gadis itu sakit?


Bab 13

MIA meraptkan jaketnya dan menekan bel interkom gedung apartemen Alex. Sedetik kemudian terdengar bunyi klik dan pintu terbuka. Mia mengerjap heran. "Cepat sekali", gumannya pada diri sendiri. Ia pun masuk dan berjalan ke lift. Ia tidak mungkin naik tangga hari ini. Ia pasti akan kehabisan napas kalau naik tangga ke lantai empat. Kehabisan napas dan tidak kuat berdiri.

Pintu lift terbuka di lantai empat. Mia mengembuskan napas berat dan melangkah keluar lift. Namun langkahnya mendadak berhenti ketika ia melihat Alex berdiri bersandar di pintu apartemennya yang terbuka.

"Kenapa kau berdiri di situ?" tanya Mia heran.

Alex menatapnya dengan cara yang membuat Mia agak resah. "Kenapa kau tidak menjawab teleponmu?" laki-laki itu balas bertanya.

"Telepon?" ulang Mia tidak mengerti. "Aku sudah membalas pesanmu bukan?"

"Bukan pesan," sela Alex. "Aku menelponmu berkali-kali tadi."

"Oh?" Mia mengerjap, lalu membuka tas yang disandangnya dan mengaduk-aduk isinya. "Sepertinya ponselku tertinggal di rumah. Maaf."

Semoga saja orangtuaku tidak menelpon malam ini, pikir Mia. Mereka pasti kahwatir dan memikirkan yang terburuk kalau Mia tidak mengangkat telepon. Mia mengangkat wajah dan menyadari Alex masih mengamatinya dengan alis berkerut samar.

"Kenapa menatapku seperti itu? Ada sesuatu di wajahku?" tanya Mia curiga.

"Masuklah," kata Alex, mengabaikan pertanyaan Mia, dan berbalik masuk ke apartemennya.

Mia mengikuti dari belakang dan menutup pintu. Melangkah masuk ke apartemen Alex langsung membuatnya merasa nyaman. Sebenarnya hal itu tidak aneh mengingat srlama beberapa minggu terakhir ini Mia lebih seting menghabiskan waktunya di sini daripada di apartemennya sendiri. Karena itu apartemen Alex tidak lagi asing baginya. Ia mengenal apartemen itu sebaik ia mengenal apartemennya sendiri. Ia tahu letak semua barang di sana karena selama ini ia yang membersihkan apartemen itu.

Mia melepas jaket dan menyampirkannya ke sandaran kursi di ruang duduk. Tasnya dijatuhkan di lantai di dekat sana. "Jadi kenapa kau belum makan?" tanyanya sambil menggulung lengan sweternya.

"Karena seseorang tidak menyiapkan makan malam untukku," sahut Alex acuh tak acuh. "Memangnya kau pikir aku bisa memasak sendiri dengan tangan seperti ini?"

Mia menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan. "Baiklah. Kau mau makan apa?" tanyanya.

Ketika ia hendak berjalan melewati Alex ke dapur, tangan laki-laki itu terulur menahan lengannya, membuat Mia agak terkejut. Sentuhan itu singkat saja. Hanya sentuhan sekilas sebelum Alex menurunkan tangannya kembali. Tetapi itu sudah cukup untuk membuat Mia berhenti melangkah dan mendongak menatap laki-laki itu.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Alex pelan.

Mia mengerjap. Apakah ia salah dengar? Apakah ia benar-benar mendengar seberkas kekhawatiran dalam suara Alex Hirano?

"Wajahmu pucat," kata Alex lagi.

Mia menelan ludah dan menggeleng. Ia memaksakan seulas senyum dan berkata dengan nada bergurau, "Alex Hirano mengkhawatirkanku? Ini benar-benar kejadian langka." Ketika ia melihat Alex tidak membalas senyumnya, Mia menambahkan, "Aku baik-baik saja."

Mia berjalan ke dapur dan Alex mengikutinya dari belakang. Mia membuka kulkas untuk melihat apa yang bisa dimakan. "Kau mau makan apa?" tanyanya tanpa memandang Alex.

"Apa saja."

"Bagaimana kalau sup dengan daging ayam dan kentang?" 

"Boleh."

Mia pun menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Ia mengira Alex akan membiarkannya berkerja sendirian di dapur. Ternyata dugaannya salah. Alex tetap berdiri bersandar di lemari dapur sambil mengamati setiap gerak-geriknya, membuat Mia semakin gelisah.

"Bagaimana kencanmu hari ini?" tanya Alex tiba-tiba.

Mia ragu apakah ia harus memberitahu Alex bahwa ia membatalkan janji makan malamnya dengan Ray karena nerasa tidak sehat. Bagaimana kalau ia mengatakannya dan Alex bertanya kenapa Mia masih datang ke sini kalau memang merasa tidak sehat? Bagaimana kalau Alex bertanya macam-macam?

"Mm... baik," guman Mia tidak jelas, tanpa memandang Alex.

"Oh, ya? Kata Ray, kencan kalian batal. Jadi kau pergi kencan dengan siapa hari ini?"

Kali ini Mia menoleh dan menatap Alex dengan perasaan dongkol. Laki-laki itu balas menatapnya sambil tersenyum kecil. "Kenapa masih bertanya kalau kau sudah tau?" gerutu Mia.

"Kata Ray, kau membatalkan kencan karena tidak enak badan," jawab Alex, dan senyumnya memudar. Tapi kau tidak mengangkat telepon."

Mia tidak tahu harus berkata apa, jadi ia berguman, "Oh, begitu." Lalu berbalik memunggungi Alex dan mengisi panci dengan air.

Tiba-tiba Mia merasa Alex menghampirinya dan sedetik kemudian ia merasakan telapak tangan Alex yang dingin menempel di keningnya. Saking terkejutnya, Mia hampir menjatuhkan panci yang dipegannya.

"Tidak panas," guman Alex dan menurunkan tangannya sebelum Mia sempat beraksi.

Mia berbalik dan jantungnya melonjak lagi ketika menyadari Alex berdiri menjulang di dekatnya. Terlalu dekat. "Aku... aku memang tidak demam," katanya agak tergagap dan ia beringsut menjauh. Keningnya memang tidak panas, tetapi justru pipinya yang memanas dengan cepat, dan jantungnya yang malang juga berdebar keras dan cepat. Ini sangat tidak nirmal. Ada apa dengan dirinya?

"Jadi kau sakit apa?" tanya Alex.

Mia ragu sejenak. Lalu," Aku... hanya kecapekan."

Alex terdiam. "Dan aku menyuruhmu datang ke sini malam-malam begini," gumannya.

Mendengar kalimat yang bisa diartikan sebagai permintaan maaf itu, Mia tersenyum. "Tidak apa-apa. Kalau hanya masak sup, sama sekali tidak sulit," katanya.

Tetapi Alex menjulurkan tangan kanannya melewati Mia dan meletakkannya di meja. "Aku tidak lapar."

"Tapi... aku baik-baik saja. Sungguh."

"Sebaiknya hari ini kau istirahat saja," kata Alex. "Pulanglah."

Mia menatap Alex sejenak. "Tadi kau bilang kau kelaparan," katanya.

"Itu tadi," Alex mengelak. "Sekarang tidak lagi."

Tepat pada saat itu perut Alex berbunyi, seolah-olah memprotes ucapan Alex sebelumnya. Mia mengerjap kaget dan perlahan-lahan seulas senyum mulai tersungging di bibirnya. "Sepertinya kau masih lapar."

Alex menghela napas panjang. "Ini benar-benar memalukan," gerutunya. "Abaikan saja. Aku bisa makan apel lagi atau apapun yang kaujejalkan ke dalam kulkasku."

"Kau tahu," sela Mia, "sebenarnya aku juga belum makan malam."

Alis Alex berkerut. "Kenapa belum makan?"

Mia mengangkat bahu. "Karena tadi aku tidak lapar," katanya ringan. Dan sebenarnya karena ia terlalu lemah dan sakit untuk berpikir soal makanan, tetapi Alex tidak perlu tahu itu. "Dan sekarang aku mulai lapar."

Alex menoleh dan menatap Mia dengan tatapan bertanya. "Benarkah? Jadi kau sudah merasa lebih sehat?"

Mia mengangguk dan tersenyum. "Sebenarnya aku merasa jauh lebih baik setelah datang ke sini."

Alex memiringkan kepala sedikit dan mengamati wajah Mia. "Sepertinya kau tidak terlalu pucat lagi."

Ditatap seperti itu dan tiba-tiba teringat bagaimana Alex menyentuh keningnya tadi, rasa panas pun kembali menjalari pipi Mia.

Lalu Alex tersenyum. "Baguslahlah kalau begitu."

Senyum itu membuat jantung Mia yang malang kembali melonjak dan berdebar begitu keras sampai-sampai Mia takut Alex bisa mendengarnya. Hanya satu senyuman bisa membuat Mia berdebar-debar seperti itu?

Celaka... Jantungnya berulah lagi.

*****

Sebenarnya aku merasa jauh lebih baik setelah datang ke sini.

Entah kenapa Alex merasa senang ketika mendengar gadis itu mengatakannya. Tentu saja, gadis itu mungkin tidak bermaksud apa-apa ketika mengatakannya, dan Alex merasa bodoh karena berharap...berharap... Tunggu, apa sebenarnya yang diharapkannya? Entahlah.

Mereka makan di ruang duduk. Alex harus menyingkirkan tumpukan partiturnya dari meja rendah supaya mereka bisa meletakkan mangkuk-mangkuk sup dan makan di sana sambil duduk di karpet hangat di lantai. Mereka makan sambil menonton dan mengomentari acara bincang-bincang malam di televisi.

Saat itu adalah saat Alex merasa paling nyaman bersama Mia Clark. Selama dua minggu terakhir ini ia memang sudah terbiasa dengan kehadiran gadis itu di rumahnya, tetapi malam ini ia merasa mereka seperti dua orang yang sudah bersahabat sejak kecil. Makan malam bersama sambil duduk di lantai dan menonton televisi, berbicara dan menertawakan hal-hal kecil yang tidak berarti. Kapan Alex pernah merasa sesantai ini mengobrol dengan seseorang? Ia tidak ingat.

Selesai makan, Mia mendorong mangkuknya menjauh dan menyandarkan punggung ke sofa di belakangnya. "Aku merasa lebih baik setelah makan," katanya senang. "Mungkin tadi aku lemas karena belum makan."

Alex menoleh menatap gadis yang duduk disampingnya dan tersenyum kecil. "Aku senang kau sudah merasa lebih baik."

Mia membalas senyumnya dan berkata lagi, "Terima kasih karena sudah membantu."

Alex mengangkat bahu acuh tak acuh. "Bukan masalah."

Ia memang terus menemani Mia di dapur sementara Mia menyiapkan sup untuk makan malam mereka. Walaupun ia merasa wajah gadis itu tidak lagi srpucat ketika baru tiba, ia tetap ingin memastikan gadis itu baik-baik saja. Jadi ia memutuskan untuk membantu gadis itu sebisanya, misalnya dengan mengangkat dan mengambilkan apa pun yang diinginkan gadis itu.

"Alex," panggil Mia tiba-tiba.

Sesuatu dalam dada Alex terasa aneh ketika ia mendengar gadis itu memanggil namanya. Aneh, tapi sama sekali bukan dalam arti buruk. Alex menoleh. "Apa?"

"Aku harus mengakui sesuatu," kata Mia sambil menatap Alex dengan matanya yang hitam gelap dan misterius. Seulas senyum kecil tersungging di bibirnya. " Aku memang sudah membeli albummu, tapi aku belum pernah mendengarkannya."

"Kenapa kau membelinya kalau tidak mau mendengarkannya?" gerutu Alex.

"Karena Eleanor pernah berkata seharusnya aku mendengarkan permainanmu secara langsung," kata Mia ringan. 

"Yah, kau harus menunggu lama untuk itu," kata Alex sambil mengangkat tangan kirinya dan mengamati pergelangan tangannya yang masih dibebat.

Mia menatap tangan Alex dan wajahnya berubah muram. "Maaf," gumannya dengan nada menyesal.

Alex menoleh. "Apa?" tanyanya bingung, dan terlambat menyadari bahwa gadis itu meminta maaf karena telah melukai tangannya. Alex sama sekali tidak bermaksud membuat gadis itu merasa lebih bersalah dan tidak ingin mendengar gadis itu meminta maaf lagi. Karena itu ia cepat-cepat berkata, "Sudahlah. Kau sudah cukup sering meminta maaf."Mia terdiam dan menatap lurus ke arah televisi walaupun tidak benar-benar memperhatikan.

Alex melirik Mia sekilas, lalu berkata, "Kau akan mendengarnya secara langsung saat tanganku sembuh nanti."

Mia tersenyum. "Terima kasih."

"Tapi kalau kau mau mendengarnya sekarang juga boleh," lanjut Alex sambil meraih remote control televisi dan mematikan suaranya. Lalu ia meraih remote control lain untuk menyalakan CD player-nya.

"Kau suka memamerkan diri rupanya," gurau Mia sambil menoleh menatap Alex.

Alex mengangguk. "Begitulah. Karena aku tahu aku hebat."

Mia tertawa dan Alex mendapati dirinya bertanya-tanya bagaimana ia dulu bisa menganggap gadis itu malaikat kegelapannya. Sungguh, malaikat kegelapan tidak mungkin tertawa semanis itu.

Alex tertegun. Tunggu... Manis? Manis? Sejak kapan ia menggunakan kata-kata seperti itu? Astaga, ia mulai tidak waras.

Ia menyingkirkan pikiran aneh itu dan menekan remote control untuk menjalankan CD ketiga dalam player. Beberapa detik kemudian, dentingan piano yang merdu pun mengalun di ruang duduk.

"Mmm," guman Mia sambil memejamkan mata.

"Apa maksudmu 'mmm'?" tanya Alex. "Bagus? Biasa saja? Tidak sesuai harapan?"

"Sangat indah," sahut Mia. Ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk senyum kecil. Lalu ia membuka mata dan menatap Alex. "Kau benar. Kau memang hebat."

Dan Alex menolak berpikir kenapa ia merasa senang hanya karena satu kalimat sederhana dari gadis itu.

Ia tidak tahu sudah berapa lama mereka duduk berdiam diri sambil mendengarkan alunan musik dari CD player itu ketika Alex menyadari kepala gadis itu terkulai ke samping. "Clark?" panggil Alex pelan.

Tidak ada jawaban.

Teringat Mia sedang tidak enak badan dan takut ia tuba-tiba pingsan, Alex mencondongkan tubuh ke arah Mia untuk memastikan.

Ternyata gadis itu hanya sedang tidur.

"Dia bilang laguku bagus, tapi malah ketiduran mendengarkannya," gerutu Alex. Ia melirik jam tangan. Sebaiknya ia membangunkan gadis itu dan menyuruhnnya pulang sebelum malam semakin larut. Ia kembali menatap gadis itu, hendak membangunkannya, tetapi ketika menatap wajah Mia Clark yang sedang tidur, Alex mengurungkan niat. Mungkun sebaiknya ia membiarkan gadis itu tidur sebentar.

Alex tidak tahu kenapa ia melakukannya, tetapi ketika melihat kepala Mia terkulai miring seperti itu, ia perlahan-lahan bergeser lebih dekat ke arah Mia, lalu dengan satu tangan ia meraih sisi kepala Mia dan mendorongnya dengan hati-hati sampai bersandar di bahunya.

"Mia Clark, kau ini benar-benar merepotkan," gumannya pelan.Tetapi ia tidak bisa menjelaskan kenapa ketika kepala Mia bersandar di bahunya, segalanya terasa benar.

*****

"Clark... Clark..."

Mia mendengar suara yang tidak asing itu memanggil namanya dengan pelan. Matanya terasa berat, tetapi ia memaksa diri membukanya dan mendapati dirinya duduk bersandar pada Alex Hirano.

Mia menegakkan tubuh dan memandang berkeliling. "Di mana aku?" tanyanya dengan suara mengantuk.

"Di apartemenku," sahut Alex. "Aku belum membawamu ke mana-mana."

Mia mengerjapkan matanya untuk menyadarkan diri dan tersenyum malu. "Maaf, aku ketiduran."

Alex tersenyum dan berdiri. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang."

Mia menatap jam tangannya dan mengerjap. Sudahh hampir tengah malam. "Mengantarku?" ulang Mia sambil berdiri. "Tapi mobilku ada di bawah. Aku bisa pulang sendiri."

"Sudah malam. Dan kau juga sedang sakit," kata Alex sambil brerjalan ke kamar tidurnya. "Tinggalkan saja mobilmu di sini."

"Tapi bagaimana...?"

Sesaat kemudian Alex keluar dari kamarnya sambil mengenakan jaket. "Taksi sudah menunggu di bawah."

Mia mengenakan jaketnya dengan patuh. "Kau menelpon taksi? Kapan?"

"Ketika kau masih tidur," sahut Alex. "Kau tidak tahu betapa keras usahaku meraih ponsel dalam posisiku tadi."

Mia merasa pipinya memanas mengingat ia tertidur di bahu Alex tadi. "Maaf," gumannya. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa bersandar pada laki-laki itu, tetapivada dua hal yang membuatnya heran. Pertama, ia heran Alex membiarkan Mia jauh-jauh. Kedua...

"Kau menelpon taksi ketika aku tidur dan aku tidak terbangun?" tanya Mia heran.

Alex membuka pintu dan membiarkan Mia keluar lebih dulu. "Kelihatannya tidurmu nyenyak sekali."

Kening Mia berkerut. "Benarkah? Aneh."

"Aneh kenapa?"

"Sebenarnya akhir-akhir ini aku tidak pernah tidur nyenyak," aku Mia. "Aku selalu terbangun mendengar suara sekecil apa pun."

"Oh, ya?" Alex menekan tombol lift, lalu nenatap Mia. "Kenapa begitu?"

Mia mengangkat bahu.

"Sudah berapa lama kau tidak bisa tidur?" tanya Alex lagi.

"Hampir dua bulan," sahut Mia

.Lift berdenting pelan dan pintu terbuka. Alex membiarkan Mia masuk lebih dulu.

"Kalau begitu, mungkin sebaiknya tadi aku tidak membangunkanmu," kata Alex sambil berpikir-pikir.

Mia mengibaskan tangannya. "Aku juga tidak mungkin di sini semalaman bukan?"

"Kenapa tidak?"

Mia mendongak menatap Alex dengan heran.

Alex mengangkat bahu. "Sebenarnya aku bisa saja membiarkanmu tidur di sini sepanjang malam, tapi kupikir tidur dalam posisi seperti itu pasti tidak nyaman. Dan aku tidak bisa mengendongmu ke sofa dengan tangan begini.

"Mia mengerjap. Yah... Kalau ia mau jujur, sebenarnya ia sama sekali tidak merasa tidak nyaman tadi. Malah ia nerasa sangat nyaman. Terlalu nyaman..

"Wajahmu merah," kata Alex tiba-tiba.

Mia tersentak kaget dan tangannya otomatis terangkat ke wajah.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Alex lagi

.Mia menggeleng cepat. "Tidak... Ya... Maksudku, aku tidak apa-apa."

Tiba-tiba telapak tangan Alex kembali menempel di kening Mia dan jantung Mia... jantungnya...

"Agak hangat," guman Alex, menurunkan tangannya. "Kau yakin tidak apa-apa?"

Tepat pada saat itu lift berdenting lagi dan pintu terbuka. Alex melangkah keluar dan Mia baru bisa bernapas kembali. Tapi kenapacia menahan napas? Entahlah. Mia juga tidak mengerti.

Mereka masuk ke dalam taksi yang menunggu dan Mia menyebutkan alamatnya kepada sopir taksi. Lalu ia menoleh ke arah Alex yang duduk di sampingnya. "Omong-omong, bagaimana caranya kau membuka pintu depan ketika kau kembali nanti?"

"Aku bisa meminta salah seorang tetanggaku untuk membukakan pintu dari atas," sahut Alex ringan.

"Tengah malam begini?"

"Aku tahu ada seorang tetanggaku yang tidak tidur sebelum jam dua pagi."

Ketika taksi mereka akhirnya tiba di depan gedung apartemen Mia di Greenwich Village, Mia turun dari taksi dan Alex juga turun.

"Kita sudah sampai. Apartemenku ada di lantai dua," kata Mia sambil berbalik menghadap Alex. "Sekarang kau bisa pulang dengan tenang."

Alex mendongak mematao gedung abu-abu yang menjulang di depannya, lalu menatap Mia dan mengangguk, "Masuklah. Udara sangat dingin malam ini."

"Terima kasih sudah mengantarku pulang," kata Mia.

Alex tersenyum. "Baiklah. Jaga dirimu. Sampai besok."

Aneh. Senyum itu membuat Mia ikut tersenyum, membuat sekujur tubuhnya terasa hangat dan ringan, seolah-olah melayang. Aneh sekali. Ia tidak bisa menjelaskannyadan ia juga tidak mau memikirkannya saat itu. Ia hanya ingin menikmati perasaan yang menyenangkan itu selama mungkin.

Dan untuk pertama kalinya sepanjang ingatannya, Mia tidak sabar menunggu hari esok.


Bab 14

BUNYI bel pintu membangunkan Alex dari mimpi indahnya. Ia mengerang dan membuka mata dengan susah payah. Ia menyipitkan mata menatap jam kecil di meja di samping tempat tidurnya. Jam 7.30. Siapa yang membunyikan bel pagi-pagi begini? Clark? Tumben gadis itu datang sebelum jam delapan.

Bel pintunya kembali berbunyi. Alex bergegas turun dari tempat tidur dan berjalan ke pintu dengan langkah diseret-seret. Ia menekan tombol interkom di samping pintu dan bertanya dengan suara serak, "Clark?"

Lalu suara seorang wanita balas bertanya, "Siapa Clark?"


Alex mengerutkan kening. Bukan Mia? Lalu siapa itu? "Siapa ini?"

Suara wanita itu kembali terdengar. "Orang yang melahirkanmu ke dunia ini."

Alex mengerjap terkejut. Kantuknya hilang seketika. "Mom?" tanyanya setelah mengenali suara ibunya.

"Satu-satunya," balas ibunya dan Alex bisa mendengar tawa dalam suaranya. "Buka pintunya sebelum ayah dan ibumu membeku di sini."

Alex segera menekan tombol untuk membuka pintu di bawah dan beberapa saat kemudian ayah dan ibunya sudah berada di apartemennya.

"Apa yang terjadi?" tanya ibunya tanpa basa-basi begitu masuk ke apartemen Alex. Ia meraih tangan kiri Alex dan memeriksanya.

"Tenanglah, Mom. Aku tidak apa-apa. Hanya kecelakaan kecil," sahut Alex sambil tertawa kecil. Lalu ia berpaling ke arah ayahnya. "Hai, Dad. Bagaimana penerbangannya?"

"Melelahkan," kata ayahnya sambil duduk di sofa. "Sebenarnya aku ingin pulang dan mandi dulu sebelum datang ke sini, tapi ibumu sudah tidak sabar ingin melihat keadaanmu. Ibumu mengira dia akan menemukanmu terbaring di ranjang dengan kaki dan tangan diperban dan digantung."

Alex tertawa.

"Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tanganmu bisa sampai terluka seperti ini?" tanya ibunya lagi sambil memukul bahu Alex.

"Aku terjatuh dari tangga," jawab Alex singkat, merasa tidak perlu bercerita tentang keterlibatan Mia.

Ibunya mendecakkan lidah dengan jengkel. "Kenapa tidak hati-hati?" gerutunya.

"Seharusnya kita membeli makanan dulu sebelum datang ke sini," kata ayah Alex kepada istrinya. "Aku lapar."

"Benar juga. Alex pasti tidak punya makanan di sini. Kau mau minum kopi dulu? Akan kubuatkan sekarang," tanya ibu Alex. Lalu ia berkata pada Alex, "Kau tahu ayahmu sangat pemilih. Dia tidak suka makanan pesawat. Kau masih punya kopi?" Tanpa menunggu jawaban Alex, ibunya beranjak ke dapur.

"Sebenarnya aku punya banyak makanan di dapur," kata Alex. Tetapi sepertinya ibunya tidak mendengar.

Ayah Alex mencondongkan tubuh ke depan dan menatap partitur-partitur yang tersebar di atas meja. "Lagu baru?" tanyanya tertarik. Ayahnya dulu juga pianis, tetapi kini lebih aktif berperan sebagai produser.

Alex mengangguk. "Dad mau mencoba memainkannya? Aku belum pernah benar-benar memainkannya gara-gara tangan ini."

"Tentu saja," kata ayahnya sambil berdiri dan berjalan ke arah piano Alex. "Coba kita dengar seperti apa lagu ini."

Ayahnya memainkan beberapa baris dan terlihat terkesan. "Lumayan," gumannya.

Alex mengangkat alis. "Hanya lumayan?"

Jemari ayahnya masih menari-nari di atas tuts piano. "Lebih dari lumayan," tambahnya. Melihat raut wajah Alex, ayahnya tertawa kecil dan berkata, "Baiklah, aku mengaku. Lagu ini sangat bagus."

"Sudah kuduga," guman Alex sambil tersenyum.

"Judulnya?"

Tetapi sebelum Alex sempat menjawab, ibunya memanggilnya dari dapur.

"Ya?" tanya Alex ketika ibunya muncul kembali di ruang duduk.

Ibunya memandang sekeliling ruang duduk dengan seksama sebelum akhirnya menatap Alex lurus-lurus.

"Ada apa?" tanya Alex heran.

"Kau sudah punya pacar?" tanya ibunya tiba-tiba.

"Apa?"

"Pacarmu tinggal di sini?"

"Apa?"

Ibunya kembali memandang ke sekeliling ruangan dengan tajam. "Hmm, aku sudah tahu ada yang aneh. Kulkas dan lemari yang biasanya kosong melompong kini penuh makanan. Apartemenmu sekarang juga terlihat jauh lebih rapi. Dan pot-pot tanaman kecil di jendela itu.. Sejak kapan kau suka menghiasi apartemenmu dengan tanaman?"

Alex menoleh ke arah yang ditunjuk ibunya dan melihat pot-pot tanaman milik Mia yang berderet di jendela. "Itu... Dia..."

"Jadi kau sudah punya pacar?" Kali ini ayahnya yang bertanya.

"Tidak!" Alex menatap ayah dan ibunya bergantian sambil tersenyum geli. "Ada apa dengan kalian? Aku tiba-tiba merasa seperti anak kecil yang dituduh makan biskuit cokelat sebelum makan malam."

"Jadi siapa dia?" tanya ibunya dengan mata berkilat-kilat penasaran.

"Dia datang ke sini setiap hari untuk membantuku sejak aku tidak bisa menggunakan tanganku." Melihat ibunya membuka mulut ingin bertanya, Alex cepat-cepat menyela, "Tidak, dia bukan pacarku. Dia juga tidak tinggal di sini. Dia hanya teman. Teman. Ok?"

Alex melihat ibunya menutup mulut kembali. Namun seulas senyum kecil tersungging di bibir ibunya dan Alex bertanya-tanya apa maksud senyum itu.

"Teman?" tanya ayahnya.

"Ya, teman," jawab Alex tegas. Lalu ia menambahkan, "Lebih tepatnya, dia itu teman Ray. Dan jangan sampai Ray tahu Mom pernah berpikir dia itu pacarku."

Ibunya mengangkat alis. "Teman Ray? Oh."

"Apa maksudnya 'oh'?" tanya Alex kepada ibunya.

Ibunya hanya mengangkat bahu. "Tidak apa-apa. Aku hanya berpikir apakah mungkin kedua putraku menyukai gadis yang sama."

"Mom, apa...?" Alex mengerang dan menatap ayahnya meminta bantuan.

Ayahnya juga ikut mengangkat bahu dan memutuskan tidak ikut campurdalam perdebatan ibu dan anak itu. Ia kembali menoleh ke arah piano dan memainkannya.

"Baiklah, kalau begitu. Karena ada banyak makanan di dapur, aku akan membuatkan sarapan untuk kalian," kata ibu Alex sambil berbalik dan berjalan kembali ke dapur. "Aku jadi ingin bertemu gadis itu. Dia sudah membantumu, jadi seharusnya aku berterima kasih padanya."

Tahu benar sifat ibunya, Alex yakin ibunya bukan sekedar ingin berterima kasih kepada Mia. Mungkin sebaiknya menghubungi Mia dan memberitahu gadis itu supaya tidak perlu datang ke sini pagi ini. Ya, itulah yang akan dilakukannya. Kalau orangtuanya sudah pulang, ia baru akan menyuruh gadis itu ke sini. Namun ketika Alex hendak pergi ke kamar mengambil ponselnya, bel interkom berbunyi.

O-oh, gadis itu sudah datang.

*****

Mia keluar lift dan alusnya terangkat heran melihat Alex Hirano berdiri di depan pintu apartemennya yang tetutup. "Kenapa kau berdiri di situ?" tanya Mia heran.

"Aku baru saja mau menelponmu," kata Alex tanpa menjawab pertanyaan Mia.

"Oh, ya? Ada apa?"

Namun Alex lagi-lagi tidak menjawab pertanyaannya. Laki -laki itu menatap wajah Mia dengan kening berkerut samar, lalu berkata, "Kau masih terlihat agak pucat. Bagaimana keadaanmu pagi ini?"

Mia mengerjap dan berdehem. "Aku sudah sehat," sahutnya. Tanpa sadar ia mundur selangkah, tidak ingin Alex mengulurkan tangan dan meraba keningnya seperti kemarin, karena tindakan laki-laki itu tidak berakibat baik bagi jantungnya. Sungguh. "

Jadi kenapa kau ingin menelponku?" tanya Mia.

"Untuk menyuruhmu tidak usah datang hari ini," sahut Alex ringan.

"Oh? Memangnya kenapa?" Mia melirik pintu apartemen yang tertutup dengan curiga. Apakah ada wanita...? Matanya kembali mengamati Alex dari atas ke bawah. Penampilannya berantakan, sepertinya baru bangun tidur. Apakah...?

Suara Alex menyela jalan pikiran Mia. "Aku tidak tahu apa yang sedang kaupikirkan, tapi kuyakinkan padamu bahwa alasannya bukan apa pun yang kaupikirkan itu."

Mia tidak bisa menahan senyum mendengar nada tersinggung dalam suara Alex. "Jadi apa alasannya?"

Sebelum Alex sempat menjawab, pintu apartemen terbuka di belakangnya dan Mia melihat seorang wanita cantik berusia setengah baya dan bertubuh kecil ramping berdiri di ambang pintu. "Alex, sedang apa... Oh." Mata wanita itu melebar melihat Mia. Lalu ia tersenyum ramah dan bertanya, "Apakah kau teman Ray yang sudah membantu Alex?"

"Ya?" Mia mengerjap tidak mengerti, lalu menatap Alex.

Alex mendesah pelan dan tersenyum kecil. "Inilah alasannya," gumannya pelan. Lalu ia berkata dengan suara lebih keras, "Clark ini ibuku. Mom, ini Mia Clark."

Mia langsung memasang senyum dan mengulurkan tangan ke arah ibu Alex. "Halo, Mrs. Hirano."

Senyum ibu Alex mengembang dan menjabat tangan Mia sambil berkata, "Jadi kau orangnya. Senang bertemu denganmu."

Mia masih tidak mengerti apa yang dimaksud wanita itu, tetapi ia tersenyum saja.

"Tadi aku ingin menelponmu untuk memberitahu bahwa kau tidak perlu datang hari ini karena ibuku ada di sini dan ibuku memaksa membuatkan sarapan untukku," Alex menjelaskan.

Mia mengangguk-angguk. "Oh, begitu."

"Tapi karena kau sudah ada di sini, kita bisa sarapan bersama," ajak ibu Alex.

Mia menatap Alex, lalu kembali menatap wanita berwajah ramah dihadapannya. "Tapi aku tidak ingin mengganggu..."

Ibu Alex mengibaskan sebelah tangannya. "Tidak mengganggu sama sekali," selanya. "Lagi pula, aku ingin berterima kasih padamu karena sudah membantu anakku. Ayo, masuk."

Tanpa menunggu jawaban Mia, ibu Alex sudah berbalik dan masuk ke dalam apartemen, meninggalkan Mia dan Alex di sana.

"Aku..." Mia menatap Alex dengan bingung, meminta pendapat.

Akhirnya Alex mendesah dan menggerakkan kepalanya ke arah pintu. "Masuklah. Sebaiknya kau menyapa ayahku juga sebelum dia ikut keluar ke sini."

"Ayahmu juga ada di sini?" tanya Mia dan ia berhenti melangkah. Ia mendongak dan menatap Alex dengan ragu. "Apakah aku mengganggu acara keluarga?"

"Tidak," sahut Alex. Ia meraih pergelangan tangan Mia dan menariknya, tidak mendengar Mia yang terkesiap pelan ketika tangan Alex menyentuh tangannya. "Mereka baru tiba dari Tokyo dan mereka hanya ingin melihat keadaanku. Tidak ada acara resmi."

"Ini suamiku," kata ibu Alex kepada Mia ketika Mia dan Alex masuk ke ruang duduk.

Alex melepaskan tangan Mia dan Mia mendapati dirinya bisa bernapas kembali dengan normal. Ia memaksakan seulas senyum kepada pria berwajah serius dan namun memiliki senyum ramah yang sedang duduk di depan piano Alex.

Sementara berjabat tangan dengan Mr. Hirano, Mia mendengar Mrs. Hirano berkata kepada Alex, "Sebaiknya kau menelpon adikmu dan suruh dia datang ke sini untuk sarapan bersama kalau dia mau. Dan kau boleh pergi mandi. Biar aku yang menemani Mia."

"Tapi..." Alex terlihat enggan.

Ibunya memukul bahu Alex dan mengomel, "Tidak ada tapi-tapi. Pergi mandi sekarang. Setelah itu kita akan sarapan."

Mia tersenyum melihat adengan kecil itu. Ia melihat Alex menghampirinya dan bertanya dengan suara pelan, "Sebaiknya aku mandi dulu. Kau... kau tidak apa-apa, bukan?"

Tidak mengerti kenapa laki-laki itu bertanya seperti itu, Mia hanya tersenyum dan menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku akan membantu ibumu di dapur."

Tiba-tiba Alex Hirano tersenyum, membuat Mia terpaku sesaat. "Baiklah," kata Alex. "Aku tidak tahu kenapa aku sempat ragu meninggalkanmu bersama orangtuaku. Seharusnya aku tahu kau pasti bisa menghadapi mereka dengan baik. Seperti biasa."

Kemudian Alex berbalik dan berjalan ke kamar tidurnya, meninggalkan Mia yang masih berdiri mematung di tempat. Sungguh, bukan hanya sentuhan laki-laki itu yang berakibat buruk bagi jantung Mia, tetapi senyumnya juga. Bagaimana ini?

*****

Alex mandi secepat mungkin. Sebenarnya ia memang agak ragu meninggalkan Mia sendirian bersama orangtuanya, terutama ibunya, karena ia tahu ibunya akan mulai menginterogasi Mia. Tetapi ia merasa Mia bisa menghadapi ibunya. Mia sepertinya selalu bisa bergaul baik dengan siapa pun juga.

Walaupun begitu Alex tetap mandi dan berganti pakaian dengan cepat, secepat yang bisa dilakukannya dengan satu tangan.

Ketika ia kembali ke ruang duduk, ia tidak menemukan siapa pun di sana. Ia berjalan ke dapur dan menemukan Mia serta kedua orang tuanya di sana.

Orangtuanya sedang duduk di bangku tinggi dan Mia sedang menuangkan kopi untuk mereka. Mereka bertiga terlihat seperti teman lama yang sedang minum kopi sambil bercakap-cakap. Melihat Mia dan orangtuanya di dapur membuat Alex merasakan sesuatu yang aneh yang sulit dijelaskan.

Mia-lah yang pertama kali merasakan kehadiran Alex. Gadis itu menoleh dan tersenyum lebar kepadanya. Dan perasaan aneh di dada Alex semakin ntata. Apa yang terjadi padanya?

"Aku sudah menyiapkan kopimu," kata Mia ketika Alex masuk ke dapur dan duduk di bangku tinggi di samping ayahnya.

"Kau tahu? Mia bisa membuat kopi yang sangat enak," kata ayahnya.

"Aku tahu, Dad," guman Alex sementara Mia meletakkan secangkir kopi dihadapannya.

Sementara ayahnya bercerita kepada Mia tentang pertunjukan orkestra yang akan digelarnya bulan depan. Alex melihat ibunya turun dari bangku tinggi dan berjalan ke arahnya.

"Kau tidak pernah memberitahuku bahwa Mia-lah yang menyebabkan tanganmu cedera," kata ibunya dengan suara rendah setelah ia berdiri di samping Alex. Suaranya tidak terdengar marah, malah Alex menangkap seberkas nada geli di sana.

"Oh, ya?" guman Alex pura-pura bodoh.

"Mia yang memberitahuku. Katanya itulah sebabnya dia memutuskan membantumu sampai tanganmu sembuh," kata ibunya lagi.

Alex tidak berkomentar."Kenapa? Kenapa tidak memberitahuku soal itu? Takut aku marah-marah padanya? Takut aku melakukan sesuatu yang buruk padanya?"

"Tidak," sahut Alex cepat. Lalu ia menatap ibunya dengan tatapan menyelidik. "Apakah Mom akan marah-marah padanya atau melakukan sesuatu yang buruk padanya?"

Ibunya mendengus pelan dan tersenyum. "Sepertinya kita agak protektif, bukan?"

Alex tahu yang dimaksud ibunya dengan "kita" adalah Alex sendiri.

"Tenang saja. Aku tidak marah." Ibunya tersenyum penuh arti. "Sepertinya dia gadis yang baik. Ray beruntung punya teman seperti dia."

"Apa?" Alex menatap ibunya tidak mengerti.

"Katamu dia teman Ray, bukan? Dan dari apa yang kaukatakan tadi, aku mendapat kesan Ray menyukai gadis itu."

"Yah... Ya, begitulah," sahut Alex agak ragu.

"Makanya kubilang Ray beruntung."

Alex menoleh menatap Mia yang sedang tertawa karena sesuatu yang dikatakan ayah Alex. Menyadari tatapan Alex, gadis itu menoleh ke arahnya, masih tersenyum..

"Omong-omong," kata ibunya tiba-tiba dengan suara yang lebih keras, "aku sudah meminta Mia menelpon Ray ketika kau mandi tadi. Kata Ray, dia akan segera datang. Mia dan aku sudah membuat panekuk. Kalian.mau makan dulu atau mau menunggu Ray?"

"Aku mau makan dulu," sahut ayahnya cepat. "Aku tidak yakin bisa menunggu sampai anak itu datang."

"Hei, ada apa?"

Alex mengangkat wajah dan melihat Mia sudah berdiri dihadapannya dan menatapnya dengan tatapan bertanya. Ia tidak mungkin memberitahu gadis itu bahwa ia merasa terusik dengan kata-kata ibunya tadi, jadi ia hanya tersenyum kecil dan menggeleng. "Tidak apa-apa."

"Kau mau makan sekarang?" tanya Mia.

"Tentu."

Mia tersenyum. "Aku akan memotong-motong panekuknya jadi kau bisa langsung memakannya dengan satu tangan."

"Kulihat kau sudah berteman baik dengan orangtuaku," guman Alex, masih heran melihat bagaimana gadis itu bisa dengan mudahnya mendekatkan diri dengan orang-orang.

"Orangtuamu sangat menyenangkan," kata Mia sambil mengangkat bahu.

Alex baru membuka mulut hendak mengatakan sesuatu ketika bel interkom berbunyi.

Mia menoleh ke arah pintu dan berkata, "Ah, Ray sudah datang."


Bab 15

KIM HIRANO diam-diam mengamati kedua putranya selama sarapan. Ray jelas-jelas menyukai Mia Clark. Semua itu terlihat dari caranya memandang, caranya berbicara, dan caranya tersenyum kepada gadis itu. Astaga, Ray bahkan tidak berusaha menyembunyikannya. Gadis itu pastilah buta atau benar-benar bodoh kalau tidak menyadari Ray menyukainya.

Sedangkan Alex... Kim tidak tahu apa yang dipikirkan putra sulungnya. Anak itu lebih sulit dibaca daripada adiknya. Alex lebih pendiam daripada Ray, lebih tenang dan lebih pandai menyembunyikan perasaan. Tetapi sesekali Kim melihat Alex memandang ke arah Mia Clark ketika gadis itu tidak menyadarinya. Kim tidak bisa mengartikan pandangan itu, tetapi ia yakin ada sesuatu di sana. Ada sesuatu yang terjadi antara Alex dan gadis itu. Sesuatu yang masih belum jelas.

Menurut pengamatan Kim, di antara kedua putranya, Ray-lah yang terlihat lebih akrab dengan Mia. Ray-lah yang lebih sering mengobrol dengan Mia dan melibatkan Mia dalam percakapan di meja makan. Tetapi anehnya, kelihatannya Alex-lah yang lebih mengenal gadis itu. Kim melihat bagaimana Alex mengambil serbet dan mengulurkannya kepada Mia ketika melihat gadis itu mencari-cari sesuatu. Kim juga melihat bagaimana Alex otomatis mendorong mangkuk kecil berisi potongan lemon di atas meja di hadapannya ke arah Mia ketika gadis itu keluar dari dapur sambil membawa cangkir teh dan duduk di antara Alex dan Ray di meja makan.

Ini menarik, pikir Kim. Ray lebih akrab dengan Mia, tetapi Alex-lah yang lebih mengenal kebiasaan-kebiasaan Mia. Bagaimana dengan gadis itu sendiri? Kim penasaran dengan apa yang ada dalam pikiran Mia Clark.

Mia sepertinya memperlakukan Ray dan Alex dengan cara yang sama. Sepertinya ia tidak memiliki ketertarikan khusus pada salah satu putra Kim. Gadis itu menatap mereka dengan cara yang sama, berbicara dengan mereka dengan cara yang sama, dan tersenyum kepada mereka dengan cara yang sama.

Alis Kim berkerut samar. Apakah gadis itu tidak tertarik pada kedua laki-laki tersebut? Lebih buruk lagi, apakah gadis itu hanya mempermainkan mereka? Tidak, tidak mungkin. Sikapnya tidak seperti sikap wanita yang suka mempermainkan dua pria sekaligus. Kim cukup yakin tentang hal itu. Ia percaya pada nalurinya. Naluri wanita tidak boleh diremehkan. Kali ini naluri Kim berkata bahwa Mia Clark tidak sedang mempermainkan kedua putranya. Mungkin Mia memang tidak tertarik pada mereka berdua.

Anak-anakku yang malang, desah Kim dalam hati.

Saat itu Mia berdiri dan mengangkat piringnya yang sudah kosong, lalu ia menoleh ke arah Alex yang duduk di sampingnya. Alex mengangguk kecil dan Mia juga mengangkat piring Alex. Lalu Mia terlihat mengatakan sesuatu kepada Alex. Kim tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Mia karena saat itu Ray dan ayahnya sedang membicarakan topik yang menurut mereka sangat seru. Golf. Kim juga pura-pura tertarik pada golf dan sesekali ikut memonopoli obrolan mereka walaupun diam-diam terus melirik Alex dan Mia.

Sepertinya Mia bertanya kepada Alex apakah ia mau kopi lagi, karena Alex menunduk menatap cangkir kopinya yang hampir kosong dan mengangguk. Kemudian ketika Mia meletakkan piring Alex ke atas piringnya di tangan kiri dan hendak neraih cangkir kopi Alex dengan tangan kanannya, Alex menghentikannya. Ia mengatakan sesuatu dan menggerakkan tangannya memberi isyarat. Mia pun meninggalkan meja dan berjalan ke dapur. Alex meraih cangkir kopinya dan menyusul Mia ke dapur.

Kim harus mengubah posisi duduknya supaya bisa melirik ke arah dapur. Ia melihat Alex duduk di salah satu bangku tinggi di sana sementara Mia menuangkan kopi ke cangkir Alex. Mia nengatakan sesuatu yang membuat Alex tersenyum. Lalu gadis itu sendiri juga tersenyum.

Kim tertegun. Tidak, perkiraannya tadi salah. Dari apa yang dilihatnya, Mia Clark mungkin saja berbicara kepada Ray dan Alex dengan cara yang sama. Ia mungkin saja tersenyum kepada mereka berdua dengan cara yang sama. Tetapi ia sudah pasti tidak menatap mereka dengan cara yang sama.

Itu tidak diragukan lagi.

Karena Kim Hirano melihat perbedaannya dengan mata kepala sendiri.

Ini menarik sekali.

*****

"Jadi kau akan membantu ayahmu mengurus penyelenggaraan pertunjukan orkestranya?" tanya Mia kepada Alex yang duduk di hadapannya sambil menyesap kopi yang baru dituangkan untuknya.

Alex mengangguk, lalu mendengus pelan. "Kau tidak dengar kata ayahku tadi? Katanya dia senang aku tidak bisa menggerakkan tanganku dan terpaksa membatalkan konser-konserku, karena dengan begitu aku baru punya waktu untuk membantu mengurus orkestranya." Ia menatap Mia sejenak, lalu menggerutu, "Tadinya kupikir dia akan berterima kasih padamu karena sudah membuat tanganku patah."

Mia menyipitkan mata mendengar kata-kata terakhir Alex, tetapi ia memutuskan untuk mengabaikannya dan berkata, "Tapi kurasa kau juga senang bisa membantu ayahmu."

Alex mengangkat bahu acuh tak acuh. "Bagaimanapun, aku sedang tidak sibuk. Jadi aku punya waktu luang untuk membantunya."

Mia memutar bola matanya dan menggeleng-geleng.

"Jadi," guman Alex sambil menatap Mia dengan ragu, "karena aku harus mulai bekerja dengannya besok, aku akan jarang ada di rumah."

"Oh."

Alex masih terlihat ragu, tetapi kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja dapur. Mia menatap benda yang tergeletak di atas meja itu. Kunci?

"Kunci?" tanyanya tidak mengerti dan kembali menatap Alex.

"Itu kunci pintu bawah dan kunci apartemen ini," guman Alex cepat. "Dengan begitu kau bisa datang ke sini walaupun aku tidak ada di rumah."

Mia mengerjap. "Tapi kenapa?"

Mata Alex menyipit menatapnya. "Kau belum lupa bahwa kau harus membersihkan apartemenku setiap hari, bukan?" tanyanya.

Oh. Mia baru mengerti. "Oh," gumannya. Benar. Ia masih harus membersihkan apartemen laki-laki itu. Kenapa tadi ia berpikir...? Mia menggeleng-gelengkan kepala untuk menyadarkan diri.

"Dan kau juga harus mengurus tanaman-tanamanmu," tambah Alex.

"Tentu," kata Mia sambil meraih kunci di atas meja.

"Tapi kau tidak perlu menyiapkan makanan untukku," tambah Alex. "Salah satu keuntungan berkerja dengan ayahku adalah dia yang akan memastikan aku makan dengan teratur."

Mia mengangguk tanpa berkata apa-apa. Aneh sekali. Kenapa ia tiba-tiba merasa kesepian?

"Kalau aku membutuhkan bantuan atau apa pun, aku akan menelponmu," tambah Alex.

Mia mengangguk lagi dan menarik napas dalam-dalam untuk menyingkirkan sebersit perasaan kecewa dalam dadanya.

Sejenak mereka berdua tidak berkata apa-apa. Mia hanya menunduk menatap kunci ditangannya dan Alex kembali menyesap kopinya. Beberapa detik kemudian keheningan itu dipecahkan oleh suara riang Ray. "Hei, kalian. Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanyanya sambil berjalan ke arah kulkas, membukanya dan mengambil sebotol air.

"Tentang aku yang akan membantu Dad mengurus pertunjukan orkestranya," sahut Alex ringan.

Ray berdiri di damping Mia dan tersenyum lebar. "Itu berita bagus untuk kalian berdua," katanya. Ia menggerakkan botol air yang dipegangnya ke arah Alex dan melanjutkan, "Kau jadi punya kesibukan dan Mia jadi punya waktu luang. Bagus, bukan?"

Alex mengangkat bahu. "Tentu. Kalau kau berkata begitu."

Ray menoleh menatap Mia. "Jadi apakah kau sudah tahu apa yang ingin kaulakukan untuk mengisi waktu luangmu?"

Mia tersenyum. "Belum," sahutnya. "Aku baru tahu hari ini bahwa aku akan punya banyak waktu luang. Tapi kurasa banyak yang bisa kulakukan. Aku punya lebih banyak waktu untuk latihan. Aku juga bisa keluar untuk menghabiskan waktu dengan teman-temanku lagi karena aku tidak perlu berada di sini.

Mia mengabaikan tatapan yang dilemparkan Alex kearahnya.

"Kau selalu bisa menelponku kalau sedang bosan," kata Ray menawarkan diri. "Kau tahu aku akan dengan senang hati menemanimu."

Mia tertawa. "Bukankah kau tadi bilang Groovy Crew akan sibuk dengan kampanye hip-hop yang akan dimulai minggu depan?"

"Aduh, kau benar," erang Ray. "Aku lupa soal itu. Yah, kurasa aku bisa menemanimu setelah kampanye itu selesai."

"Tentu," sahut Mia ringan. "Telepon saja aku kalau kau sudah punya waktu."

Lagi-lagi Mia merasa Alex menatapnya, tetapi ketika ia menoleh ke arah laki-laki itu, Alex sudah memalingkan wajah dan menatap ke arah lain. Memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu, Mia melirik jam tangannya dan berkata," Aku harus pergi sekarang."

"Ke Small Steps?" tanya Ray.

Mia mengangguk. Ia menoleh ke arah Alex dan bertanya, "Kau mau aku datang lagi nanti sore?"

Alex tidak langsung menjawab. Ia menunduk dan menatap kopinya sambil berpikir-pikir, lalu akhirnya mendongak menatap Mia dan berkata, "Tidak, tidak perlu."

Mia tertegun mendengar nada tajam dalam suara Alex. Mata yang menatap Mia pun kini terlihat datar tanpa ekspresi, seolah-olah Alex Hirano yang dikenal Mia selama beberapa terakhir ini tiba-tiba menghilang tanpa bekas dan laki-laki itu kembali ke dirinya semula, seperti ketika pertama kali Mia bertemu dengannya. Apa yang terjadi?

"Oh," guman Mia serak. Kenapa suaranya mendadak serak? Ia berdehem dan melanjutkan," Baiklah kalau begitu. Sebaiknya aku berpamitan kepada orangtua kalian." Ia hendak berjalan ke ruang duduk ketika teringat sesuatu. Ia menoleh dan bertanya kepada Alex yang masih duduk ditempatnya, "Apakah kau melihat kunci mobilku? Sepertinya kunci mobilku tertinggal di sini kemarin malam."

"Kunci mobil?" tanya Ray heran.

"Mungkin ada di meja di ruang duduk. Coba cari saja di sana," sahut Alex datar.

Mia mengangguk, lalu keluar ke ruang duduk untuk mencari kunci mobilnya dan berpamitan pada Mr. dan Mrs. Hirano.

*****

"Mia, bagaimana kunci mobilmu bisa tertinggal di tempat Alex?" tanya Ray ketika mereka sudah leluar dari gedung apartemen Alex dan masuk ke mobil Mia.

Ketika Mia berpamitan dengan orangtuanya, Ray memutuskan ikut dengan gadis itu ke Small Steps. Ia tidak mengerti kenapa gadis itu bisa meninggalkan kunci mobilnya di tempat Alex semrntara Ray melihat sendiri gadis itu meninggalkan apartemen Alex kemarin sore setelah mengantar Alex ke rumah sakit untuk diperiksa. Gadis itu tidak mungkin kembali ke apartemen Alex setelah mengajar karena Alex sendiri yang berkata bahwa ia tidak membutuhkan bantuan Mia ketika Ray bertanya padanya sebelum mengajak Mia makan malam bersama. Bukankah begitu?

"Oh, aku datang ke sini kemarin malam," jawab Mia sambil melirik kaca spion sebelum melajukan mobilnya di jalan raya.

Kening Ray berkerut. Mia membatalkan janji makan malam mereka karena katanya ia sedang tidak enak badan, tetapi kenapa...? "Tapi kau bilang kau merasa tidak enak badan kemarin."

"Memang," sahut Mia sambil lalu, "tapi dia memintaku datang."

"Alex?"

"Ya."

"Kenapa dia memintamu datang? Aku sudah memberitahunya bahwa kau sedang tidak enak badan dan dia masih memintamu ke sana?"

"Sebenarnya dia sudah berusaha menghubungiku untuk menyuruhku tidak usah datang setelah dia tahu aku sedang tidak enak badan. Tapi aku sudah terlanjur dalam perjalanan dan ponselku tertinggal di rumah," jelas Mia.

Ray menatap gadis di sampingnya. Keningnya masih berkerut. "Lalu kenapa dia memintamu ke sana?"

"Dia ingin aku menyiapkan makan malam untuknya."

"Apa? Dia..."

"Saat itu aku juga belum makan dan aku lapar," sela Mia sambil tersenyum menenangkan Ray. "Lagi pula aku sudah minum obat dan sudah merasa lebih baik saat itu, jadi tidak masalah."

"Jadi kalian makan bersama?"

Mia mengangguk. "Setelah itu dia mengantarku pulang. Mobilmu kutinggal di rumah kakakmu."

"Alex mengantarmu pulang?"

Mia mengangguk lagi, sama sekali tidak menyadari perubahan nada suara Ray.

Ray memalingkan wajah dan memandang ke luar jendela. Ia tidak tahu apa yang seharusnya dipikirkannya setelah mendengar bahwa Mia membatalkan janji makan malam dengannya tetapi akhirnya makan malam bersama Alex. Ia akui ia tidak suka mendengarnya, tetapi Mia juga bukannya sengaja membatalkan janji dengannya gara-gara Alex. Walaupun Alex sudah tidak lagi bersikap sinis dan dingin pada Mia dan itu perubahan yang bagus Ray tidak bisa membayangkan Alex mengejar-ngejar Mia dan berusaha menarik perhatiannya.

Ray tidak tahu apakah ia harus merasa cemburu pada kakaknya.


Bab 16

"MIA... Mia... Mia...!"

Mia tersentak dan mengangkat wajah menatap Lucy yang duduk di hadapannya. "Apa?"

"Kau melamun lagi?" tanya Lucy dengan nada menuduh, walaupun seulas senyum kecil tersungging di bibirnya.

"Tidak," sahut Mia dan menyesap tehnya yang ternyata sudah dingin. Sudah berapa lama mereka duduk di kafe ini? Entahlah.

"Akhir-akhir ini kau sering melamun," tambah Lucy sambil mengamati Mia dengan tajam. "Kau tidak mendengar kata-kataku tadi, bukan?"

Mia mengabaikan pertanyaan temannya. "Apa yang kau katakan tadi?" ia balas bertanya.

Lucy menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Hari ini Billy berulang tahun dan dia ingin mengajak kita makan malam. Kau ikut, bukan?"

Mia mengangkat bahu, lalu mengangguk. "Tentu. Kenapa tidak?"

Lucy mendecakkan lidah melihat sikap temannya. "Kau terlihat antusias sekali," katanya sinis. Lalu ia tertawa kecil. "Kau tahu, Billy sebenarnya ingin mengajakmu makan malam berdua, tapi karena dia terlalu pemalu dan pengecut akhirnya dia juga mengajakku dan Erik. Entah dia ingin menjodohkanku dengan Erik atau dia hanya butuh pendamping untuk berkencan denganmu, tapi yang pasti dia tidak tahu bahwa Rick juga bermaksud mendekatimu."

Mia mengaduk-aduk tehnya dengan pelan. Ia mengabaikan kalimat terakhir Lucy dan memutuskan mengomentari yang pertama. "Kenapa harus malu? Aku tidak pernah menolak ajakan makan malam."

"Kau tahu sendiri waktu itu kau sempat sibuk mengurus kakak Ray dan tidak punya waktu untuk teman-temanmu. Bahkan aku juga jarang melihatmu," kata Lucy. "Untunglah dua minggu terakhir ini dia tidak mengganggumu, jadi kau punya waktu untuk bernapas sedikit dan bersantai."

Mia tersenyum mendengar gerutuan Lucy, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia kembali memandang ke luar jendela dan memandangi para pejalan kaki yang lalu lalang. Tanpa sadar ia menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan.

Sudah dua minggu ia tidak bertemu Alex Hirano karena laki-laki itu sibuk dengan pertunjukan orkerstra yang akan diselenggarakan ayahnya. Selama dua minggu terakhir ini Mia pergi ke apartemen laki-laki itu setiap pagi untuk bersih-bersih. Kalau dipikir-pikir sebenarnya Mia tidak perlu pergi ke apartemen itu setiap hari, karena apartemen itu tidak mungkin berubah berantakan dalam sehari. Bagaimanapun, Alex Hirano hampir tidak pernah ada di rumah.

Lalu kenapa Mia pergi ke sana setiap hari? Entahlah. Mungkin karena ia sudah terbiasa berada di apartemen itu. Mungkin juga karena ia berharap bisa bertemu dengan laki-laki itu, walau hanya sebentar.

Tetapi kenapa aku ingin bertemu dengan Alex Hirano? Mia menarik napas dalam-dalam. Entahlah... Namun, harapannya tidak terkabul. Ia sama sekali tidak bertemu dengan laki-laki itu. Alex juga tidak pernah meninggalkan pesan apa pun untuk Mia di apartemennya.

Apalagi seminggu terakhir ini Mia mendapati ranjang laki-laki itu tidak ditiduri. Itu berarti sudah seminggu Alex Hirano tidak pulang ke apartemennya. Lalu ke mana dia?Mia mendesah pelan dan merasa konyol. Konyol dan kesepian. Perasaan kesepian yang tidak pada tempatnya itu membuatnya merasa lebih konyol lagi.

"Oh, berhentilah mendesah." Suara Lucy membuyarkan lamunan Mia. "Ada apa denganmu?"

"Tidak ada apa-apa."

"Kalau begitu, waktu istirahat selesai. Ayo, kita lanjutkan acara belanja kita," kata Lucy sambil mengumpulkan kantong-kantong plastik yang diletakkannya di lantai dekat kursinya.

Mia tertawa, seraya meraih kantong-kantong belanjaannya sendiri.

"Setelah ini kau ikut pulang ke apartemenku saja supaya nanti malam kita bisa pergi ke acara ulang tahun Billy bersama," usul Lucy.

Mia mengangkat bahu. "Baiklah."

"Kata Billy, dia sudah memesan tempat di Ramses," celutuk Lucy.

"Ramses?" ulang Mia heran. Ia pernah mendengar tentang restoran itu. Sulit sekali mendapatkan meja di sana kalau kau tidak menesan jauh-jauh hari sebelumnya.Lucy tersenyum. "Dia ingin membuatmu terkesan. Kasihan anak itu. Apakah dia belum sadar bahwa dia berusaha mendekati Mia Clark yang tidak ingin didekati laki-laki mana pun?"

*****

"Makan malam di luar?" tanya Alex sambil mendongak menatap ayahnya dari tempat duduknya. Ia dan ayahnya sedang membahas beberapa hal mengenai pertunjukan di ruang kerja yahnya ketika ayahnya berkata bahwa ia akan mentraktir beberapa musisi yang tergabung dalam orkestranya makan malam di luar hari ini.

"Ya, aku sudah memesan meja di restoran temanku," jawab ayahnya.

Alex meringis. "Dad, bagaimana kalau aku tidak ikut?"

"Memangnya kenapa? Ada acara?"

"Tidak. Hanya lelah," sahut Alex sambil nemutar-mutar bolpoin di antara jemari tangan kanannya. "Dan malas berbasa-basi dengan orang lain. Aku makan malam di rumah saja."

"Hari ini ibumu pergi seharian bersama teman-temannya. Katanya dia akan pulang setelah makan malam," kata ayahnya.

Alex mengerang.

"Ikut saja," desak ayahnya ssmbil tersenyum. "Kau tahu, aku sudah berjanji pada gadis-gadis itu bahwa aku akan memaksamu ikut makan malam bersama kami."

Alex menatap ayahnya dengan curiga. "Gadis-gadis yang mana?"

"Gadis-gadis muda yang tergabung dalam orkestraku. Pemain biola." Ayahnya terkekeh. "Mereka sangat terkesan padamu. Sepertinya mereka berpikir tanganmu yang diperban itu sangat seksi."

Alex mendengus. "Aku sungguh tidak punya waktu untuk ini," gerutunya pelan.

Saat itu terdengar ketukan di pintu ruang kerja ayahnya dan salah seorang pegawai ayahnya melongokkan kepala dari balik pintu. "Mr. Hirano, boleh bicara sebentar?"

"Tentu." Ayahnya bangkit dari kursi dan berjalan ke arah pintu. Tetapi sebelum keluar, ia menoleh ke arah Alex dan berkata, "Jadi kau ikut makan dengan kami atau tidak?"

"Biar kupikir-pikir dulu."

Ayahnya mengangkat bahu, lalu keluar meninggalkan Alex sendirian di ruang kerjanya.Alex menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan menatap langit-langit. Ia benar-benar lelah.

Yang diinginkannya hanya pulang ke rumah dan beristirahat. Tetapi ibunya tidak akan ada di rumah, jadi tidak ada orang yang akan menyiapkan makan malam untuknya. Ia mendengus kesal.

Tetapi ia masih punya pilihan lain. Ia bisa menelpon Mia Clark dan menyuruh gadis itu datang ke apartemennya lalu membuatkan makan malam untuknya. Itu pilihan utamanya dan pilihan yang paling menarik.

Sudah dua minggu terakhir ini Alex tidak bertemu dengan Mia, dan selama dua minggu terakhir ini ia berulang kali ingin menelpon gadis itu, tetapi akhirnya selalu tidak jadi. Kenapa? Karena ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada gadis itu. Apakah aku sedang menghindari Mia Clark? pikir Alex. Bisa dibilang begitu. Gadis itu membuat perasaannya kacau. Berada di dekat Mia Clark membuat Alex bingung. Ia jadi tidak mengerti apa yang diinginkannya dan apa yang dirasakannya sendiri.

Walaupun begitu, Alex tetap ingin bertemu dengan gadis itu. Ingin mendengar suaranya. Demi Tuhan, jangan tanya kenapa karena Alex sendiri tidak mengerti dan tidak mau memikirkannya terlalu jauh.

Ia mengeluarkan ponsel dan menatap benda itu selama beberapa saat. Ia sedang berpikir apakah sebaiknya menelpon gadis itu atau tidak ketika sesuatu terpikirkan olehnya.

Kenapa Mia Clark juga tidak berusaha menghubunginya selama ini?

Alex memberengut memikirkan pertanyaan itu. Kalau gadis itu memang tulus ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dan ingin membantu Alex, seharusnya ia menelpon Alex untuk memastikan Alex baik-baik saja, bukan? Seharusnya ia menelpon Alex dan bertanya apakah Alex membutuhkan bantuannya, bukan? Seharusnya begitu, bukan? Tidak?

Kerutan di kening Alex semakin dalam sementara ia menatap ponselnya seolah-olah ponselnya sudah melakukan kesalahan besar padanya. Gadis itu pasti sedang bersenang-senang saat ini, pikir Alex, karena akhirnya ia punya waktu luang untuk melakukan apa pun yang ingin dilakukannya.

Setelah berpikir dengan perasaan jengkel, akhirnya Alex menekan beberapa tombol di ponselnya dan menempelkannya ke telinga. Beberapa saat kemudian, "Dad? Aku akan ikut makan malam dengan kalian. Di mana tempatnya?" Ia mendengarkan jawaban ayahnya. "Ramses? Baiklah."


Bab 17

"INI pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Ramses," kata Lucy dengan nada senang ketika ia dan Mia melangkah masuk ke dalam restoran yang dinobatkan sebagai salah satu restoran paling bergensi di New York.

"Berterimakasihlah pada Billy," guman Mia sambil tersenyum.

"Oh, ya, aku akan berterima kasih padanya," sahut Lucy, "walaupun dia melakukan semua itu hanya karena ingin membuatmu terkesan."

Mia mengabaikan kata-kata temannya dan tersenyum kepada maître d' yang menyambut mereka. "Billy Parkinson," kata Mia ketika sang maître d' bertanya apakah mereka sudah memesan tempat.

"Silahkan ikut saya." Sang maître d' berjalan mendahului mereka masuk ke ruangan utama.

Saat itu waktunya makan malam dan restoran itu cukup ramai. Mia tidak melihat ada meja kosong, yang berarti cerita tentang sulitnya mendapatkan meja di Ramses memang benar. Para pelayan mengenakan seragam putih bersih, para tamu mengenakan pakaian terbaik mereka, ruangan itu luas dan berkelas. Mia yakin makanannya juga pasti sangat lezat. Dan mahal, tentu saja.

"Apakah menurutmu mereka sudah datang?" tanya Mia pada Lucy.

"Entahlah," jawab Lucy. "Oh, itu mereka."

Mia melihat Billy dan Rick, teman-temannya sesama penari, melambai ke arah mereka. Ia tersenyum lebar dan balas melambai.

"Clark?"

Suara itu membuat Mia menoleh dan matanya melebar kaget melihat orang yang berdiri di dekat bar.

Alex Hirano.

Lalu jantung Mia mulai berdebar dua kali lebih cepat. Oh, celaka.

Alex Hirano menatapnya sejenak, lalu perlahan-lahan seulas senyum tersungging di bibirnya. "Aku tidak menyangka bertemu denganmu di sini, Clark. Ini benar-benar kejutan."

Mia membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia tidak menyangka melihat sosok Alex Hirano setelah sekian lama lelaki itu membuat pikirannya kacau.

"Mia?"

Kepala Mia berputar lagi. Kali ini ia menatap Lucy yang sedang menunggunya dan menatapnya dengan heran. Billy dan Rick yang berdiri dari kursi mereka juga menatapnya. Ah, ia harus menyapa teman-temannya lebih dulu. Tapi...

Ia kembali menoleh ke arah Alex dan berkata, "Tunggu sebentar. Tetap di situ. Aku akan segera kembali."

Mia meninggalkan Alex dan menghampiri teman-temanny. "Hai, Rick. Hai, Billy. Selam ulang tahun," katanya sambil tersenyum lebar, memeluk Billy sekilas dan mencium kedua pipinya.

"Aku tidak menyangka kau akan mengundang kami makan malam di sini," kata Lucy.

Wajah Billy berseri-seri. Ia menggumankan sesuatu yang tidak jelas, lalu mempersilahkan mereka duduk.

"Ah, maaf. Aku tadi melihat seorang temanku di bar. Aku ingin menyapanya dulu," sela Mia. "Kalian boleh memesan dulu kalau mau."

Lucy mengcengkram pergelangan tangan Mia dan berbisik, "Siapa laki-laki itu?"

"Alex," Mia balas berbisik.

"Oh, Alex yang itu."

"Kalau mau kami memesankan sesuatu untukmu?" tanya Billy.

Mia tersenyum. "Tentu. Pesankan apa saja untukku. Aku akan segera kembali."

Ia meninggalkan teman-temannya dan berjalan kembali ke bar. Alex Hirano masih ada di sana, duduk di salah satu bangku tinggi, sedang mengatakan sesuatu kepada bartender yang bertugas. Saat itu debar jantung Mia sudah kembali normal, karena itu ia bisa tersenyum kepada Alex ketika laki-laki itu berbalik menghadapnya.

"Hai. Maaf, tadi aku ingin menyapa mereka dulu," kata Mia sambil menggerakkan ibu jarinya ke arah meja yang ditempati teman-temannya.

Alex menatap arah yang ditunjuk dan mengangguk kecil. "Kencan ganda?" tanyanya dengan nada datar.

Mia ragu sejenak. "Yah... Ya, mungkin bisa dibilang begitu."

"Tentu saja," guman Alex, masih dengan nada datar yang sama. Lalu ia mendengus pelan.

"Semua orang juga bisa menduganya dari pelukan dan ciuman tadi."

"Apa?" Mia tidak mengerti apa maksud Alex, tetapi laki-laki itu sepertinya sedang kesal, jadi Mia mengabaikannya dan balas bertanya, "Kau sendiri sedang apa di sini?"

Alex menggerakkan kepalanya ke arah meja panjang yang ditempati banyak orang. "Aku datang bersama ayahku, dan beberapa anggota orkestranya."

"Oh, ayahmu juga ada di sini?"

"Ya, dia ada di sana. Kau mau menyapanya?"

Mia menoleh ke arah meja yang ditunjuk dan menggelang. "Nanti saja. Kelihatannya dia sedang membahas hal penting dengan temannya."

Mereka berdua terdiam sejenak, lalu Alex mengetuk bangku di sampingnyacdengan jari telunjuk. "Duduklah."

Mia menurut. "Sudah lama kita tidak bertemu. Jadi bagaimana kabarmu?" tanyanya ringan, mencoba berbasa-basi, mencoba meredakan kekesalan Alex, walaupun ia tidak tahu kenapa laki-laki itu terlihat kesal, walaupun ia juga tidak tahu kenapa ia merasa perlu menghibur laki-laki itu.

Alex mengangkat bahu acuh tak acuh. "Biasa saja."

"Bagaimana tanganmu?"

Alex mengangkat tangan kirinya, menunjukkannya kepada Mia. "Aku sudah bisa menggerakkan pergelangan tanganku sedikit. Jadi kata dokter tanganku akan sembuh total."

"Itu berita bagus, bukan?" kata Mia gembira.

"Begitulah," guman Alex. Lalu ia menatap Mia dan bertanya, "Kau sendiri? Bagaimana kabarmu?"

"Sangat baik," sahut Mia sambil tersenyum cerah untuk menegaskan ucapannya.

Entah kenapa Alex sepertinya tidak percaya. Ia menatap wajah Mia dengan tajam dan rasa panas mulai menjalari pipi Mia.

"Apa? Kenapa?" tanya Mia agak resah.

"Kau terlihat pucat. Dan lelah," guman Alex dan keningnya berkerut samar. Ia menatap Mia dari atas ke bawah, lalu kembali menatap wajahnya. "Kau juga lebih kurus. Kau yakin baik-baik saja?"

Mia menahan napas. Bagaimana laki-laki itu bisa tahu? Teman-teman dekatnya sendiri tidak pernah berkomentar tentang wajahnya yang pucat atau berat badannya yang berkurang.

"Berapa jam kau tidur semalam?"

Suara Alex membuat Mia tersentak. "Apa?"

"Berapa jam kau tidur semalam?" ulang Alex.

"Setelah dua minggu menghilang tanpa kabar, kau ingin tahu berapa jam aku tidur semalam?" tanya Mia sambil mengangkat alis. Ya, ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Aku tidak menghilang tanpa kabar."

Mia memutar bola matanya. "Aku pergi ke apartemenmu setiap hari dan tidak melihatmu di sana."

Alex tersenyum samar dan berkata, "Aku, pergi pagi-pagi sekali untuk sarapan bersama ayahku dan kami sibuk bekerja sepanjang hari."

"Dan kau bahkan tidak pulang sama sekali selama seminggu terakhir," tambah Mia, berusaha membuat suaranya terdengar acuh tak acuh.

Alex menoleh menatap Mia dengan alis terangkat dan baru hendak mengatakan sesuatu ketika suara seorang wanita menyela pembicaraan mereka. "Alex? Tadi katanya kau mau memesan minuman?"

Mata Mia langsung beralih ke gadis jangkung berambut cokelat panjang yang muncul di belakang Alex. Lalu matanya bergerak turun dan berhenti di tangan gadis itu yang menyentuh lengan Alex.

"Aku sudah memesannya. Nanti mereka akan mengantar minumannya ke meja," sahut Alex sambil tersenyum kecil kepada gadis itu. "Tunggu saja di sana. Aku ingin berbicara sebentar dengan temanku."

"Oh, baiklah," guman gadis berambut cokelat itu sambil menatap Mia dan tersenyum tipis yang dibalas Mia dengan senyum manis yang dipaksakan sebelum berbalik dan kembali ke mejanya.

"Hm, sekarang aku mengerti kenapa kau tidak pulang ke rumah," guman Mia datar.

Alex menoleh menatapnya. "Apa maksudmu...? Wow, tahan pikiran itu, Clark. Aku tidak tahu kenapa aku menjelaskan ini kepadamu, tapi seminggu terakhir ini aku tinggal di rumah orangtuaku."

"Kau benar. Kau tidak perlu menjelaskan apa-apa kepadaku. Aku juga tidak tahu kenapa aku sempat khawatir karena kau tidak pulang," guman Mia sebelum bisa menahan diri.

Alex mengeluarkan suara yang setengah tertawa setengah mendengus. "Clark, kalau kau memang benar-benar khawatir padaku, kau bisa menelponku, kau tahu?"

Mia menatap Alex dengan mata disipitkam. "Aku memang sempat berpikir untuk menelponmu, tapi kemudian aku teringat kau pernah berkata bahwa kau akan menelponku kalau kau butuh bantuan. Jadi kupikir karena kau tidak menelponku, maka kau pasti baik-baik saja."

Alex balas menatap Mia sambil tersenyum kecil. "Sesuatu yang buruk mungkin saja terjadi padaku selama itu. Mungkin aku membutuhkan bantuanmu, tapi aku tidak bisa menelponmu. Mungkin ponselku hilang atau dicuri orang. Atau..."

"Kalau sesuatu terjadi padamu, aku yakin orangtuamu adalah orang-orang pertama yang tahu, mengingat kau bekerja dengan ayahmu selama ini. Dan kalau sesuatu terjadi padamu, orangtuamu akan memberitahu Ray dan Ray pasti akan memberitahuku," Mia nenyimpulkan dengan nada puas.

Alex mendengus lagi. "Kurasa sebenarnya kau memang pernah menghawatirkan keadaanku. Kurasa kau terlalu sibuk menikmati waktu luangmu."

Mia mengangguk. "Tentu saja aku senang karena tidak perlu mengurusmu sepanjang hari dan punya waktu lebih untuk melakukan apa pun yang ingin kulakukan."

"Misalnya apa? Berkencan dengan para pengagummu?"

Mia tidak tahu kenapa Alex sepertinya mulai kesal lagi. Astaga, laki-laki ini benar-benar menyulitkan. Memutuskan membiarkan laki-laki itu berpikir sesuka hatinya, Mia menjawab ringan, "Mungkin."

Alex tidak menatap Mia, tetapi Mia bisa melihat rahangnya mengertak. Mia heran, tetapi ia sungguh tidak ingin berada di dekat Alex kalau suasana hati laki-laki itu sedang buruk. Jadi ia berkata, "Sebaiknya aku kembali kepada teman-temanku."

"Ya, sebaiknya kau kembali pada teman kencanmu."

Mia mendesah mendengar suara Alex yang bernada mencemooh itu. "Kau juga sebaiknya kembali kepada temanmu," katanya. Ia turun dari bangku tinggi di bar dan berbalik hendak pergi ketika teringat sesuatu dan kembali berbalik menghadap Alex. "Omong-omong, kalau kau berencana tetap menginap di rumah orangtuamu, kurasa aku tidak perlu datang membersihkan apartemenmu setiap hari. Maksudku, apartemen kosong tidak akan berubah kotor dan berantakan dalam satu atauvdua hari. Aku bisa datang tiga kali seminggu atau bahkan dua kali seminggu untuk membersihkannya. Bagaimana menurutmu?"

Alex menatapnya, berpikir sejenak, lalu berkata pendek, "Tidak."

"Tidak?"

"Tidak," kata Alex sekali lagi. "Aku berencana pulang malam ini, jadi pastikan kau datang besok pagi dan menyiapkan sarapan untukku seperti biasa."

"Tapi..."

Alex turun dari bangku dengan satu gerakan mulus dan berjalan kembali ke mejanya, meninggalkan Mia yang berdiri tercengang di tempat. Apa-apaan itu? Apakah laki-laki itu akan kembali bersikap seperti itu kepadanya setelah mereka sempat mengalami kemajuan? Apa-apaan...?

Mia berusaha meredam kejengkelannya dan mengatur napas untuk menenangkan diri. Setelah merasa dirinya agak tenang ia baru berjalan kembali ke meja yang ditempati teman-temannya. "Maaf aku sudah membuat kalian menunggu," gumannya sambil tersenyum meminta maaf.

"Tidak apa-apa. Aku sudah memesankan makanan untukmu. Salmon. Kau suka?" tanya Billy sambil tersenyum lebar.

Mia balas tersenyum. "Tentu saja."

Lucy mencondongkan tubuh ke arah Mia dan berbisik perlahan, "Jadi itu tadi kakak Ray?"

Mia mengangguk.

"Dia sangat keren, "bisik Lucy lagi.

Mia melihat Alex sudah kembali ke mejanya. Laki-laki itu menempati kursi di samping wanita berambut cokelat yang tadi menyela pembicaraannya dengan Mia. Dan di hadapannya duduk dua wanita lain yang berambut pirang. Mia menyipitkan mata melihat Alex menggumankan sesuatu kepada ketiga wanita itu, membuat mereka tertawa.

Mia mencondongkan tubuh ke arah Lucy dan berbisik, "Dia adalah bukti nyata bahwa kau tidak bisa menilai seseorang dari penampilannya saja."

*****

Kenapa dia harus selalu tersenyum seperti itu kepada semua orang? pikir Alex sementara matanya terus mengawasi Mia Clark dari mejanya. Gadis itu menertawakan sesuatu yang dikatakan oleh laki-laki berambut gelap yang duduk dihadapannya, lalu ia menoleh menatap teman perempuannya yang duduk di sampingnya dan tertawa lagi. Setelah itu ia mencondongkan tubuh di atas meja dan mengatakan sesuatu kepada si laki-laki berambut gelap tadi dan membuat laki-laki itu tersenyum lebar.

Demi Tuhan, kenapa melihat Mia Clark yang sedang tersenyum gembira membuat perasaan Alex muram, semuram langit mendung ketika badai menjelang?

Karena gadis itu tersenyum pada orang lain? sebuah suara kecil melintas dalam pikirannya. Alex mendengus dalam hati. Oh, yang benar saja. Gagasan macam apa itu?

Alex tidak keberatan Mia Clark tersenyum pada siapa pun. Sungguh. Sungguh! Yang membuatnya agak dongkol adalah sikap gadis itu ketika melihat Alex tadi. Ia bersikap... yah, seperti biasa! Ia tersenyum kepada Alex seperti biasa, seolah-olah mereka baru bertemu kemarin dan bukannya sudah tidak bertemu selama dua minggu. Itu! Itu yang membuat Alex kesal.

Menghindari gadis itu selama dua minggu ternyata tidak memberikan hasil yang diharapkannya. Awalnya Alex memutuskan menjaga jarak dari gadis itu karena merasa bersalah pada Ray dan ingin memberikan kesempatan kepada adiknya. Ia merasa bersalah karena malam itu Mia seharusnya makan malam bersama Ray. Malam itu seharusnya Mia bisa mendengarkan pengakuan Ray. Tetapi Mia malah menghabiskan malam itu bersama Alex, makan malam dengannya, mengobrol dengannya, menemaninya. Alex merasa bersalah karena merampas kesempatan adiknya, walaupun tanpa sengaja.

Sebenarnya kalau Alex mau mengakuinya, alasan ia merasa bersalah bukan hanya karena ia merasa telah merampas kesempatan adiknya bersama Mia, tetapi karena tanpa sadar Alex merasa gembira Mia ada di sana bersamanya malam itu. Ya, ia merasa gembira karena Mia akhirnya makan malam bersamnya, mengobrol dengannya, menemaninya malam itu.

Tetapi coba lihat apa yang dilakukan adiknya selama dua minggu Alex tidak menemui Mia. Tidak ada! Ray tidak melakukan apa-apa! Ketika Alex bertanya pada adiknya apakah ia telah melakukan sesuatu, Ray berkata bahwa ia belum menemukan waktu dan kesempatan yang tepat untuk mengutarakan perasaannya. Ia memang sempat bertemu Mia beberapa kali dan makan siang atau makan malam bersama, tetapi kata-katanya saat-saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk mengatakannya.

Anak bodoh! pikir Alex kesal. Menurutnya, yang namanya kesempatan itu tidak bisa dicari, tetapi harus diciptakan. Ia tidak tahu kenapa ia berniat membantu adiknya. Anak itu sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Mulai sekarang Alex tidak akan ikut campur lagi. Ray bisa mengurus masalahnya sendiri. Alex tidak akan menghindari Mia lagi demi Ray. Ia ingin Mia membuatkan kopi untuknya lagi setiap pagi. Ia ingin Mia kembali melakukan apa pun yang ia minta setiap hari. Ia ingin Mia kembali berada di tempat yang bisa dilihatnya. Ia ingin Mia kembali berada di dekatnya.

Alex tertegun dan menyipitkan mata. Tunggu, ia akan mengabaikan dua poin terakhir tadi. Ia pasti sudah tidak waras karena ingin malaikat kegelapannya kembali berada di tempat yang bisa dilihatnya ataupun di dekatnya.

*****

Ia kembali melirik ke arah Mia Clark. Ia tidak heran melihat gadis itu masih tersenyum. Tetapi kali ini Alex memperhatikan sesuatu yang berbeda. Mia memang tersenyum, tetapi sepertinya ia tidak benar-benar mendengarkan obrolan teman-temannya. Ia hanya mengangguk sesekali dan mendorong-dorong makanan di piringnya. Alex tersenyum samar. Mia Clark terlihat bosan.

*****

Mia mendengarkan pembicaraan teman-temannya dengan setengah hati sambil berguman sesekali untuk menunjukanbahwa ia masih mendengarkan mereka. Teman-temannya sedang membicarakan pertunjukan yang akan diselenggarakan Dee Black Dance Company minggu depan dan Mia sama sekali tidak ingin membicarakan hal itu.

Bunyi pendek yang menandakan ada pesan masuk di ponselnya membuat Mia tersentak sekaligus lega, karena sekarang ia punya alasan untuk tidak mendengarkan pembicaraan teman-temannya. Ia mengeluarkan ponsel dan membuka pesan yang masuk. Alisnya terangkat heran ketika ia melihat bahwa pesan itu dari Alex Hirano.

Kau terlihat bosan.

Apa maksudnya? Mia memberengut samar dan menoleh ke arah Alex di seberang ruangan. Laki-laki itu menatapnya dan Mia yakin ia melihat Alex tersenyum tipis sebelum menoleh dan berbicara kepada wanita berambut cokelat yang duduk di sampingnya.

Mia kembali menatap ponselnya dan membalas.

Aku tidak bosan.

Balasan dari Alex tiba dalam waktu kurang dari satu menit.

Tidak apa-apa kalau tidak mau mengaku. Aku tahu kau bosan. Aku juga bosan. Temani aku mengobrol.

Aku yakin kau tidak kekurangan teman mengobrol di sana. Tapi, baiklah, apa yang ingin kau obrolkan?

Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Berapa jam kau tidur semalam?

Diam-diam Mia memutar bola matanya membaca pesan itu.

Seperti biasa.

Seperti biasa? Berarti kau masih tidak bisa tidur nyenyak sampai sekarang?

Itu bukan hal baru. Aku sudah terbiasa.

Kau sudah mencoba tidur sambil mendengarkan laguku? Waktu itu kau langsung mengantuk dan tertidur begitu mendengar laguku.

Sudah. Tidak berhasil.

Berarti kau harus tidur di apartemenku.

Mia memberengut dan mendengus pelan.

"Mia? Kau sedang apa?"

Mia tersentak dan mengangkat wajah menatap Lucy. "Ya?"

"Kau sedang mengirim SMS kepada siapa?"

"Eh, ibuku," sahut Mia cepat, lalu menyunggingkan senyum meminta maaf kepada ketiga temannya. "Dia ingin tahu aku ada di mana dan sedang apa. Maaf."

"Orangtua memang selalu mencemaskan anak mereka," komentar Rick sambil mengangkat bahu maklum, "terutama anak perempuan. Orangtuaku juga sangat mencemaskan keadaan adikku padahal..."

Mia tidak lagi mendengarkan kata-kata Rick selanjutnya. Diam-diam ia menoleh ke arah Alex dan menatap laki-laki itu dengan tajam. Tetapi Alex hanya mengangkat alis dan menatap Mia dengan tatapan yang seolah-olah bertanya, "Memangnya apa yang kulakukan?"

Mia tidak membalas pesan Alex dan memaksakan diri mendengarkan pembicaraan teman-temannya. Tetapi tidak lama kemudian ponselnya bergetar lagi.

Oh, ya, Clark, jangan buat janji dengan penggemarmu besok malam.

Mia menggigit bibir dengan jengkel.

Kenapa? Kau ingin mengajakku kencan?

Aku tidak tahu ternyata kau ingin aku mengajakmu kencan.

Lupakan kata-kataku. Memangnya apa yang harus kulakukan besok malam?

Akan kuberitahu besok pagi.

Mia mendesah dalam hati. Ia sedang berpikir apakah ia harus membalas pesan itu atau tidak ketika ponselnya bergetar lagi.

Dan, Clark, habiskan makananmu kalau kau tidak ingin terlihat seperti penderita anoreksia.

Kali ini Mia melemparkan tatapan tajam ke arah Alex yang tersenyum polos ke arahnya dan memasukkan ponselnya dengan tegas ke dalam tas tangannya, menandakan bahwa ia tidak sudi melanjutkan obrolan kecil mereka lagi.


Bab 18

ALEX membuka matanya yang berat, lalu mendesah pelan. Ia membiarkan dirinya berbaring menikmati ranjangnya sedikit lama sebelum mengulurkan tangan ke meja kecil di samping tempat tidur dan meraih jam tangannya. Jam 08.20. Baiklah. Waktunya bangun.

Ia turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu kamar tidurnya. Begitu ia nembuka pintu, aroma kopi yang harum menerjang hidungnya, membuat rasa kantuknya menguap tak berbekas. Aroma kopi itu membuat perasaannya senang dan sekujur tubuhnya terasa hangat.

Gadis itu sudah datang, pikir Alex sambil tersenyum. Ia memejamkan mata sejenak dan menghirup aroma kopi yang sudah lama dirindukannya.

Tepat pada saat itu telinganya menangkap alunan musik yang samar. Piano? Alex berjalan tanpa suara menyusuri koridor ke ruang duduk. Alunan musik itu semakin jelas. Tiba di ambang pintu ruang duduk, langkah kaki Alex terhenti. Seulas senyum tersungging di bibirnya ketika ia melihat Mia Clark menari mengikuti irama musik yang mengalun dari CD player.

Sebenarnya gadis itu tidak bisa dibilang benar-benar menari. Sepertinya ia hanya mencoba-coba beberapa gerakan, karena kadang-kadang ia berhenti sejenak setelah melakukan satu gerakan, berpikir dengan kepala dimiringkan sedikit, lalu mulai bergerak lagi.

Walaupun begitu Alex mendapati dirinya kembali terpesona, sama seperti ketika pertama kali melihat Mia menari di Juilliard. Ia menyandarkan bahu ke dinding dan matanya tidak lepas dari gadis yang menari mengikuti alunan musik tidak jauh darinya, sama sekali tidak menyadari keberadaannya. Alex suka melihat Mia Clark menari. Ia merasa bisa berdiri di sana mengamati gadis itu menari sepanjang hari, dan ia juga melakukannya dengan senang hati.

Mia melakukan gerakan berputar dan tepat pada saat itu matanya menatap Alex. Ia memekik kaget, kakinya tergelincir dan ia pun jatuh terduduk dengan keras di lantai kayu ruang duduk apartemen Alex.

Alex bergegas menghampiri Mia. Senyumnya melebar ketika ia melihat gadis itu menggigit bibir sambil mengusap-usap bokongnya yang pasti terasa sakit. "Selamat pagi," guman Alex dengan nada geli sambil mengulurkan tangannya kepada Mia.

Mia mendongak menatapnya sambil tersenyum malu. "Pagi," gumannya pelan dan menyambut uluran tangan Alex, membiarkan Alex menariknya berdiri. "Apakah aku membuatmu terbangun?" tanyanya ketika ia sudah berdiri, walaupun tangannya masih berada dalam genggaman Alex.

"Tidak," sahut Alex ringat. "Sudah berapa lama kau di sini?"

"Hampir setengah jam. Tadi aku sempat melongok ke kamarmu untuk melihat apakah kau memang ada di rumah atau tidak. Lalu ketika kulihat kau tidur begitu nyenyak, aku memutuskan membiarkanmu tidur." Mia menatap Alex drngan pandangan bertanya. "Biasanya kau tidak tidur sampai sesiang ini."

Alex tersenyum tipis. "Aku menemani ayahku dan para anggota orkestranya sampai larut malam kemarin."

Mia berguman pelan, lalu menunduk menatap sesuatu. Alex mengikuti arah pandangnya dan tatapannya jatuh pada tangan kanannya yang masih menggengam tangan kiri Mia. Aneh sekali. Alex tahu ia harus menarik kembali tangannya sebelum keadaan jadi terlalu canggung. Tetapi anehnya ia tidak ingin melakukan itu. Anehnya, tangan Mia terasa tepat di tangannya. Anehnya, memegang tangan gadis itu terasa benar.

Tetapi akhirnya Alex memaksa dirinya melepaskan pegangannya dan menjejalkan tangannya ke saku celana panjangnya. Ia berdehem, memandang ke sekeliling ruang duduk lalu berkata, "Jadi rupanya kau sering berlatih menari di rumahku?"

Wajah Mia kembali merona malu. "Itu karena kau punya koleksi lagu yang sangat bagus. Seperti lagu ini..."

"Lagu karya Ludovico Einaudi? Fairy Tale?" sela Alex, merujuk musik yang masih mengalun memenuhi ruang duduk.

Mia mengangguk dan matanya berkilat-kilat gembira. "Itu dia judulnya. Fairy Tale. Aku jatuh cinta pada lagu ini." Ia memejamkan matanya sejenak, kembali mendengarkan lagu itu, seulas senyum menghiasi bibirnya. Lalu ia membuka mata dan menatap Alex dengan cara yang membuat Alex menahan napas tanpa sadar, dan berkata, "Tadi aku memikirkan koreografi baru dengan lagu ini."

Alex mengangguk, dan harus mundur selangkah sebelum bisa bernapas kembali. "Kurasa kau sudah membuat kopi untukku?" tanyanya.

"Tentu saja," sahut Mia langsung. "Akan kuambilkan untukmu."

Mia berjalan ke dapur dan Alex mengikutinya dari belakang. Ia menempati salah satu bangku tinggi di sana dan mengamati gadis itu menuangkan kopi untuknya. Melihat Mia di dapurnya anehnya membuat Alex merasa senang. Sepertinya ia sudah terbiasa dengan kopi buatan Mia, sehingga dua minggu terakhir tanpa kopi gadis itu membuatnya gampang uring-uringan.

Sebenarnya kalau ia mau mengaku, masalahnya bukan hanya terletak pada kopi buatan gadis itu. Menjalani dua minggu terakhir tanpa bertemu Mia Clark juga mempengaruhi Alex. Alex tidak tahu sejak kapan, tetapi yang pasti keberadaan Mia Clark di apartemennya tidak lagi terasa aneh, rasanya seolah-olah Mia Clark memang harus berada di sana, menjaga semuanya tetap seimbang dalam hidup Alex. Apakah itu masuk akal? Apakah itu berlebihan?

Alex menangkup cangkir kopi dengan kedua tangan dan mendesah lega. "Akhirnya," gumannya pelan. "Akhirnya, akhirnya, akhirnya."

Mia tersenyum. "Aku tahu kau merindukanku, Alex Hirano," guraunya.

Alex menyesap kopinya dan balas tersenyum. "Kopimu, Clark. Aku merindukan kopimu."

"Sama saja. Kopiku. Aku." Mia mengangkat bahu acuh tak acuh. "Kalau kau tidak bisa hidup tanpa kopiku, berarti kau hampir tidak bisa hidup tanpaku," lanjutnya sambil tertawa. "Aku jadi bertanya-tanya bagaimana kau bisa melanjutkan hidupmu setelah semua ini berakhir."

"Apa yang berakhir?" tanya Alex tidak mengerti.

"Ketika tanganmu sembuh."

"Memangnya kenapa kalau tanganku sudah sembuh?"

"Alex, kalau tanganmu sudah sembuh, kau tidak lagi membutuhkan pesuruh untuk membuatkan kopi, bukan?"

Alex mengernyit mendengar Mia menyebut kata "pesuruh." Awalnya ia memang kesal pada gadis itu dan dengan senang hati menganggap Mia pesuruhnya. Tetapi sekarang keadaannya berbeda. Ia tidak lagi menganggap Mia Clark sebagai pesuruhnya. Sama sekali tidak. Ia malah mulai berpikir gadis itu adalah... adalah... apa? Entahlah. Yang penting bukan pesuruh.

Tunggu, apakah Mia Clark berkata bahwa ia akan meninggalkan Alex setelah tangan Alex sembuh? Alex tertegun. Gagasan itu... Alex menggeleng-gelengkan kepala. Ia sama sekali tidak suka gagasan itu.

Alex menunduk menatap tangan kirinya yang diperban. Ia sudah mulai bisa menggerakkan pergelangan tangannya dan rasanya tidak terlalu sakit lagi. Ia tahu tidak tidak lama lagi tangan kirinya akan berfungsi baik seperti biasa. Dokternya sendiri yang berkata begitu. Berarti setelah tangan Alex sembuh, Mia tidak akan membuatkan kopi untuknya lagi? Tidak akan datang ke apartemennya lagi? Apakah Mia akan memindahkan semua pot tanamannya kembali ke apartemennya sendiri?

Apakah ada cara supaya gadis itu tetap seperti ini walaupun tanganku sembuh? pikir Alex.

Sebelum Alex sempat memikirkan jawabannya, bunyi ponsel Mia membunyarkan lamunannya. Mia berjalan cepat ke ruang duduk dan tidak lama kemudian Alex mendengarnya berkata, "Halo? Hai, Ray."

Alex mendesah dan menyesap kopinya."Maaf, aku tidak bisa." Alex mendengar Mia berkata dengan nada menyesal. "Aku sudah janji akan menemani kakakmu malam ini."

Alex mengangguk-angguk sendiri. Ia bisa menebak apa yang diinginkan Ray. Tapi sayang sekali, adik kecil, pikir Alex sambil tersenyum puas, kau terlambat selangkah.

Suara Mia kembali terdengar. "Aku juga tidak tahu. Akan kutanyakan padanya nanti... Oke, tentu saja. Bye, Ray."

Beberapa detik kemudian Mia muncul kembali di dapur. "Itu tadi Ray," katanya tanpa ditanya. "Dia bertanya padaku apakah aku punya acara malam ini. Kukatakan padanya aku sudah berjanji akan menemanimu melakukan sesuatu. Kemudian aku teringat bahwa kau belum memberitahu kau ingin aku melakukan apa malam ini."

"Apa yang diinginkan Ray?" tanya Alex tanpa menjawab pertanyaan tidak langsung Mia tadi.

Mia mengangkat bahu. "Dia tidak berkata apa-apa."

Alex tersenyum kecil. "Kurasa dia punya gagasan yang sama denganku."

"Gagasan apa?"

"Aku yakin dia ingin mengajakmu ke pesta yang akan kami hadiri malam ini. Hanya saja dia tidak tahu bahwa kau memang akan pergi pesta itu bersamaku."

"Pesta apa?"

"Kau pernah mendengar tentang Dee Black Dance Company?" Alex balas bertanya.

"Dee Black Dance Company?" Mia terdiam sejenak, lalu berkata, "Ya, tentu. Itu nama salah satu kelompok tari terkenal di Amerika Serikat yang berbasis di Florida. Kudengar mereka akan mengadakan pertunjukan di New York minggu depan."

Alex mengangguk. "Malam ini mereka akan mengadakan pesta merangkap konferensi pers, untuk mengumumkan pertunjukan mereka secara resmi," jelasnya. "Karena direkturnya, Dee Black, adalah teman orangtuaku, kami diundang ke pestanya malam ini."

"Oh."

"Tadinya aku tidak ingin pergi karena kupikir aku pasti tidak mengenal siapa pun di sana. Tapi kemudian aku teringat padamu. Kupikir karena kau juga penari, kau pasti ingin menghadiri pesta yang diselenggarakan kelompok tari terkenal. Lagi pula, kalau kau ada di sana, aku tidak akan bosan. Kau bisa menemaniku."

"Oh."

Alex mengamati gadis yang berdiri di hadapannya dengan heran. Tadinya ia mengira Mia akan senang diajak ke pesta yang diselenggarakan salah satu kelompok tari paling berpengaruh di Amerika Serikat, tetapi ia salah. Mia tidak terlihat antusias.

"Sepertinya kau tidak terlalu antusias," komentar Alex sambil menatap Mia dengan mata disipitkan.

Mia balas menatapnya. "Memangnya kau ingin aku berkata apa?"

Alex mencondongkan tubuh ke depan dan menumpukan kedua tangannya di atas meja dapur. "Entahlah. Sesuatu seperti, 'Astaga, Alex, terima kasih kau mengundangku ke pesta yang diselenggarakan oleh salah satu kelompok tari paling terkenal di Amerika Serikat'?"

Mia tersenyum kecil.

"Dan kau pasti senang bisa bertemu dengan penari-penari terkenal di sana. Kudengar Dee Black memiliki beberapa penari terbaik di negeri ini," lanjut Alex.

"Aku tahu," guman Mia. Ia menatap Alex sejenak, lalu berkata, "Baiklah. Terima kasih banyak, Alex, karena kau mengundangku ke pesta yang diselenggarakan oleh salah satu kelompok tari paling terkenal di Amerika Serikat."

Alex mengangkat alis. "Dan?"

"Dan apa?"

"Kau belum menjawab apakah kau mau pergi denganku atau tidak."

"Aku tidak tahu kau sedang menunggu jawaban," sahut Mia jujur, dan agak heran. "Kukira kau hanya memberikan perintah seperti biasa."

"Aku tidak akan menanggapi kata-katamu," kata Alex, mengabaikan nada sinis Mia. "Jadi kau.mau pergi denganku atau tidak?"

Mia menarik napas dan berkata, "Baiklah. Memangnya aku punya pilihan lain?"

"Tidak," jawab Alex sambil tersenyum lebar. "Oh, dan asal kau tahu, pestanya pesta formal. Maksudku, aku akan mengenakan tuksedo dan kau..."

"Harus mengenakan gaun pesta." Mia tersenyum kecil. "Aku tahu. Kau tenang saja. Aku tidak akan membuatmu malu."

"Baiklah, sekarang aku mandi dulu dan kau..."

"Aku akan menyiapkan sarapan untukmu. Aku tahu," sela Mia sambil mengibaskan sebelah tangan.

"Gadis baik," guman Alex. Ia turun dari bangku dan berjalan keluar dapur, ia berbalik dan menambahkan, "Oh, ya, setelah sarapan..."

"Aku akan mengantarmu ke studio ayahmu atau ke mana pun tujuanmu," Mia lagi-lagi menyelanya. "Aku tahu."

Alex mengerjap menatap gadis yang sedang memeriksa isi lemari dapurnya. Merasa diperhatikan, Mia menoleh ke arah Alex dan bertanya, "Apa?"

"Clark, kau bisa membaca pikiranku," kata Alex dengan mata disipitkan. "Itu menakutkan."

"Benarkah?" Mia tertawa kecil dan mengangkat bahu. "Kurasa itu salah satu akibat aku terlalu sering bersamamu."

"Hmm, kalau begitu aku tidak bisa mengeluh," guman Alex.

"Apa katamu?"

"Tidak apa-apa." Alex melemparkan seulas senyum lebar ke arah Mia, berbalik dan berjalan keluar dari dapur.

----tbc----

0 komentar:

Posting Komentar

 

Berbagi Pengalaman Template by Ipietoon Cute Blog Design