Jumat, 06 November 2015

Novel SUNSHINE BECOMES YOU ---karya: ILANA TAN---

Hai hai haiiiii, aku kembali lagi nih mau ngepost novel yang aku suka dan sudah aku baca sampai tamat, sayang rasanya kalo novel bagus kayak gini gak aku bagikan sama yang lain hihihii..
Ini novel karya Ilana Tan, kalian pasti tau penulis novel 4 musim, spring, summer, auntumn, dan winter yang dulu hits banget kaannn? nah ini karya beliau berikutnya setelah novel 4 musim itu. Bagus deh ceritanya, penulisannya bikin penasaran dan gak pengen berhenti sampai tamat, ho..ho..ho..
Ayook silahkan yang mau baca yaa 



Prolog

Never seek to tell thy love,
Love that never told can be;
For the gentle wind doth movie
Silently, invisibly.

I told my love, I told my love,
I told her all my heart,
Trembling, cold, in ghasty fears.
Ah! She did depart!

Soon after she was gone from me,
A traveller came by,
Silently, invisibly
He took her with a sigh

Love's Secret, William Blake (1757-1827)


Bab 1

Ray Hirano bersiul pelan sambil melihat ke kiri dan ke kanan sebelum berjalan cepat menyeberangi jalan ke arah salah satu bangunan bertingkat empat yang berderet di seberang jalan, di salah satu area permukiman di Riverside Drive. Ray sendiri. Hari yang indah selalu bisa membuat semua orang gembira, bukan? 
Yah, sebenarnya tidak juga. Tidak semua orang. Ray yakin ada seseorang yang mungkim sama sekali tidak menyadari langit kota New York yang cerah. Dan bahkan mungkin tidak menyadari daun-daun sudah berubah warna menjadi kuning, cokelat, dan merah. Tidak sadar dan tidak peduli. 
Dan seseorang itu adalah kakak laki-lakinya. 
Ray yakin Alex Hirano terlalu sibuk untuk menyadari apa pun yang terjadi di sekelilingnya akhir-akhir ini. Ia baru merampungkan konser pianonya di Eropa, dan minggu depan ia akan memulai konsernya di Amerika Serikat. Dan seperti biasa, kalau Alex sudah sibuk, ia jarang mau menjawab telepon dan jarang mau meluangkan waktunya yang berharga untuk membalas pesan atau semacamnya. Karena itu Ray akhirnya memutuskan pergi menemui Alex secara langsung. Setidaknya untuk memastikan kakaknya masih hidup. Juga untuk memastikan kakaknya tidak membuat langit New York berubah mendung, semendung suasana hatinya. Oh, kedengarannya memang berlebihan, tapi percayalah, Alex mampu membuat orang-orang di sekitarnya menjadi tidak bisa menikmati hari yang indah. 
Ray berlari kecil-kecil menaiki anak tangga di depan gedung, masih tetap bersiul pelan. Ia baru hendak menekan bel interkom apartemen di lantai empat ketika pintu depan terbuka dan seorang wanita dan seorang anak perempuan kecil keluar dari gedung. Tangan Ray terulur menahan pintu tetap terbuka sementara pasangan ibu dan anak itu berjalan lewat dan menuruni tangga batu sambil bercakap-cakap. 
Ray melangkah masuk ke dalam gedung dan pintu depan pun tertutup secara otomatis di belakangnya. Satu menit kemudian ia sudah berdiri di depan pintu bercat putih di lantai empat dan tangannya terangkat menekan bel. 
Pintu baru dibuka setelah Ray menekan bel untuk ketiga kalinya. Raut wajah kakaknya yang berdiri di ambang pintu menegaskan dugaan Ray bahwa suasana hati kakaknya memang tidak terlalu ceria. 
"Hai." Ray tersenyum lebar dan mengangkat sebelah tangan untuk menyapa. 
Alex Hirano menatap adiknya dengan alis berkerut samar. "Kau rupany," gumamnya, lalu melangkah ke samping, membiarkan Ray lewat. 
"Ya," sahut Ray ringkas dan berjalan ke ruang duduk yang luas dan rapi. Ray menyadari pemanas sudah dinyalakan. Setidaknya kakaknya tidak terlalu sibuk sampai lupa menyalakan pemanas. Cahaya matahari menembus kaca jendela yang berderet di salah satu sisi ruangan, membuat ruangan itu terasa hangat, terang, dan sangat nyaman. Ruang duduk itu dilengkapi sofa besar yang empuk, dua kursi berlengan, dan meja rendah dari kayu di tengah-tengah ruangan. Lantainya berlapis karpet tebal. Rak yang dipenuhi berbagai jenis buku—kebanyakan buku musik—menutupi salah satu dinding di sana. Ray melirik piano hitam yang berdiri di sisi lain ruangan. Piano itu dalam keadaan terbuka, dan partitur-partitur musik penuh coretan berserakan di sekitarnya, di atas piano, di bangku piano, di meja kecil di samping piano dan juga di lantai di sekeliling piano. 
"Kukira kau masih di Atlanta." Suara Alex terdengar di belakangnya. 
Ray memang pernah memberitahu kakaknya bahwa ia dan krunya, Groovy Crew, akan mengikuti perlombaan b-boy yang diadakan di Atlanta. Ternyata kakaknya masih ingat. Ia berbalik menatap kakaknya yang berjalan menyusulnya ke ruang duduk. "Aku kembali ke New York kemarin sore," sahut Ray ringan. 
Walaupun keturunan Jepang, mereka adalah keluarga Hirano yang lahir, besar, dan menetap di Amerik Serikat. Itulah sebabnya mereka selalu berbicara dalam bahasa Inggris, bahkan dengan orang tua mereka. 
Alis Alex terangkat. "Benarkah?" Ia menggeleng pelan dan duduk di bangku pianonya. 
Ray berbalik dan berjalan ke arah dapur. "Ada minuman? Aku haus setengah mati." Ia membuka pintu kulkas dan berseru, "Kau tidak punya apa-apa selain air mineral?" 
"Entahlah. Cari saja sendiri." Terdengar jawaban setengah hati dari kakaknya. 
Ray mendesah dan mengambil sebotol air mineral lali menutup pintu kulkas. Ia berjalan kembali ke ruang duduk, di mana kakaknya sudah kembali menghadap piano dan menempatkan jarinya di atas tuts, memainkan beberapa nada ringan. "Jadi apa yang membuatmu begitu sibuk sampai tidak bisa menjawab telepon dari adikmu? Persiapan untuk konsermu minggu depan?" tanyanya, lalu meneguk airnya langsung dari botol. 
"Bukan," gumam Alex. Ia tidak memandang Ray, malah memberengut menatap tuts piano. "Aku hanya ingin menyelesaikan ini." Jemarinya kembali bergerak-gerak lincah di atas tuts, dan denting piano yang indah memenuhi apartemen itu. Lalu tiba-tiba saja Alex menghentikan permainannya dan menggerutu pelan. "Ini tidak benar." 
Ray mengerjap. "Kenapa? Menurutku itu bagus," komentarnya. "Lagu barumu?" 
Alex tidak menjawab. Ia kembali memberengut ke arah tuts piano dan sepertinya sudah kembali tenggelam dalam dunianya sendiri. 
"Alex?" 
Yang dipanggil tidak menjawab, padahal Ray berdiri tepat di sampingnya. 
"Alex," panggil Ray lagi. Kali ini sedikit lebih keras. 
Tetap tidak ada reaksi. 
"Alex!" 
Kali ini Alex mengangkat wajah, menatap Ray dengan jengkel. "Apa?" 
Ray melotot menatap kakaknya. "Kau harus menjauh dari pianomu untuk sementara," katanya tegas. "Kau harus keluar dari apartemen ini. Sudah berapa lama kau mendekam terus di sini? Sejak kembali dari Eropa minggu lalu? Ini tidak sehat, kau tahu?" 
"Aku keluar kemarin," bantah Alex, namun nada suaranya tidak terdengar meyakinkan. 
"Oh, ya?" 
"Ya, aku keluar untuk... untuk..." Alex terdiam, lalu mendongak menatap Ray dengan kening berkerut. "Kenapa pula aku harus menjelaskan semuanya padamu?" 
Ray mendesah. "Oke. Kita harus keluar dari sini. Ayo, kutraktir makan siang." 
"Tidak usah. Aku tidak lapar."
"Jadi apa yang akan kaulakukan? Duduk di sini dan terus memelototi pianomu?" tanya Ray. "Ayo kita pergi. Siapa tahu setelah makan dan berjalan-jalan melihat dunia di luar sana kau bisa mendapat inspirasi untuk melanjutkan lagu barumu itu. Ayo." 
Alex mendesah keras. "Kadang-kadang aku lupa kau bisa sangat menjengkelkan," gerutunya. Namun ia bangkit juga dari bangkunya dan memandang ke sekeliling ruang duduk. "Di mana kutaruh kunci sialan itu?" 
Ray mengangkat setumpuk kertas penuh coretan not balok dari meja kopi dan menemukan kunci mobil yang dicari. "Ayo, kita pergi sekarang." 
"Omong-omong kau belum melakukan apa yang ingin kaulakukan dengan datang menemuiku hari ini," kata Alex kepada Ray ketika mereka sudah keluar dari apartemennya dan menuruni tangga. "Kau lupa?" 
Ray menoleh menatap kakaknya dengan alis terangkat heran. "Apa maksudmu?" 
Alex tersenyum. "Kau datang ke sini untuk berkoar-koar memamerkan diri karena berhasil memenangi perlombaan b-boy di Atlanta itu, bukan?" 
Ray menatap kakaknya dengan ekspresi terluka. "Asal kau tahu saja, berhubung kau sama sekali tidak menjawab telepon dari keluargamu, aku datang ke sini untuk memastikan kau masih hidup dan masih waras. Untuk mengingatkanmu bahwa kau masih punya ayah, ibu, dan adik yang mengkhawatirkanmu," katanya panjang-lebar. 
"Hmm." 
"Dan untuk berkoar-koar memamerkan diri karena kami berhasil memenangkan perlombaan itu," lanjut Ray sambil tersenyum lebar. "Kau mengenalku dengan baik, bukan?" 
Alex tertawa. "Sebaik kau mengenalku." 
Alex tidak akan mengakui hal ini kepada adiknya, tetapi ia memang merasa lebih baik setelah keluar dari apartemennya. Kepalanya tidak lagi terasa berat. Meninggalkan pekerjaannya sejenak dan berjalan-jalan menghirup udara segar di luar mungkin memang ada baiknya. 
Sebenarnya Alex bukan orang yang gila kerja. Pada awalnya, setelah merampungkan konsernya di Eropa, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak, benar-benar bersantai sebelum kemudian memulai konsernya di Amerika Serikat. Tetapi dalam penerbangan kembali ke New York, mendadak saja ia mendapat inspirasi untuk membuat lagu baru. Namun lagu baru ini tidak bisa diselesaikannya karena inspirasinya menguap begitu saja ketika ia menginjakkan kaki kembali di New York. Kenyataan bahwa ia tidak bisa menyelesaikan lagu itu membuatnya uring-uringan karena ia adalah jenis orang yang harus menyelesaikan sesuatu yang sudah dimulainya. 
"Jadi kita mau makan di mana?" tanya Alex ketika mereka sudah berada di dalam mobil dan meluncur mulus di jalan raya. 
"Ada restoran bagus yang selalu ramai dikunjungi orang di dekat studio tariku. Kau mau mencobanya?" tanya Ray. 
"Setahuku tidak ada restoran bagus di dekat studio tarimu," kata Alex sambil mengerutkan kening, mengingat-ingat. 
"Di dekat studio tariku yang biasa memang tidak ada," Ray membenarkan. "Yang kumaksud adalah studio tari tempatku mengajar sekarang. Di dekat Greenwich Village. Beberapa minggu terakhir ini aku menyempatkan diri mengajar kelas hip-hop dan sedikit teknik b-boy kepada anak-anak remaja." 
Alex melirik adiknya sekilas dengan alis terangkat. "Kau? Mengajar?" katanya dengan nada tidak percaya. Oke, adiknya memang b-boy yang sangat berbakat. Ia dan krunya sudah sering memenangi pertandingan b-boy nasional dan internasional. Tetapi Ray Hirano sama sekali bukan tipe orang yang bisa mengajari orang lain. Ia memang cerdas dan bisa belajar dengan sangat cepat. Namun mengajari orang lain? Tidak. Ray bukan orang yang sabar dan ia sama sekali tidak berbakat menjadi guru. Alex adalah kakak kandungnya yang tumbuh besar dengannya, jadi ia tahu benar soal itu. 
Ray tersenyum lebar kepada kakaknya. "Hanya kadang-kadang. Tapi mengejutkan, bukan? Kau tidak menyangka aku bisa mengajar?" 
"Tentu saja tidak," sahut Alex blak-blakan. "Jadi apa yang membuatmu tiba-tiba memutuskan mengajar anak-anak?" 
Ray mendesah, namun senyumnya masih tersinggung di bibirnya. "Karena dia memintaku melakukannya." 
"Dia? Siapa?" 
"Mia." 
"Mia siapa?" 
"Mia Clark."
Alex mengerutkan kening dan berusaha mengingat apakah ia mengenal nama itu, karena dari cara Ray menyebut nama itu, sepertinya semua orang seharusnya mengenal siapa Mia Clark. Tapi tidak, Alex yakin ia tidak mengenal seorang pun dengan nama seperti itu. 
"Dia bertanya apakah aku bisa datang sesekali dan mengajar kelas hip-hop di studio tari tempatnya mengajar—dia juga penari, kau tahu? Penari kontemporer. Sangat berbakat. Aku pernah melihatnya menari. Dan aku langsung....terpesona." Ray terdiam sejenak, seolah-olah kembali tenggelam dalam pesona yang disebut-sebutnya itu. Lalu ia melanjutkan, "Pokoknya dia bertanya padaku apakah aku bisa mengajar kelas hip-hop karena mereka kekurangan instruktur hip-hop yang layak. Bagaimana aku bisa menolak kesempatan untuk bertemu dengannya lagi?" 
"Mmm," gumam Alex sambil mengangguk-angguk mengerti. "Jadi kau menyukai gadis itu."
"Ya," jawab Ray terus terang. "Aku dan sekitar selusin lelaki lain." 
"Ah, gadis yang populer," komentar Alex. 
"Bisa dibilang begitu," Ray membenarkan, lalu tersenyum tipis. "Dia gadis yang manis. Dan menyenangkan. Dan... entahlah, dia membuat segalanya terasa baik. Kau mengerti maksudku?" 
Ya Tuhan. Adikku berubah cengeng, desah Alex dalam hati. "Jadi apakah dia juga menyukaimu?" ia balik bertanya. 
Kali ini Ray menghela napas panjang. "Itulah masalahnya. Aku tidak tahu."
Alex melirik adiknya sekilas dan kembali memperhatikan jalan di depan. "Kau tidak tahu?" 
"Aku benar-benar tidak tahu," kata Ray lagi. "Kadang-kadang kupikir dia menyukaiku. Kau tahu, ada saatnya ketika dia menatapku, tersenyum padaku, atau ketika dia berbicara padaku, kupikir dia menyukaiku. Tapi kemudian akau sadar bahwa dia juga menatap, tersenyum, dan berbicara kepada orang lain seperti itu. Jadi... yah, aku tidak tahu." 
Alex tertawa keras. "Ray, kau sudah dipermainkan," katanya tanpa basa-basi. "Kalau dia memang gadis populer, bisa kubayangkan dia pasti sudah ahli mengendalikan laki-laki yang mengerubunginya. Termasuk kau, Ray yang malang." 
Ray menggeleng-geleng. "Tidak, dia tidak seperti itu. Dia bukan tipe gadis seperti itu," bantahnya pelan. "Dengar, kenapa kau tidak mampir sebentar di studio dan aku akan memperkenalkanmu kepadanya. Setelah itu kau akan tahu bahwa penilaianmu salah." 
Alex tidak menjawab, hanya tersenyum lebar dan mengangkat bahu. 
"Dan kalau kau memang ahli menilai wanita, mungkin setelah melihatnya dan memperbaiki penilaian awalmu tentang dia, kau bisa memberikan sedikit petunjuk kepadaku tentang cara mendekatinya," tambah Ray lagi.

***** 

"Ini tempatnya. Ayo masuk." 
Alex berhenti dan menatap gedung batu bertingkat tiga di hadapannya. Pada papan nama yang tergantung di atas pintu masuk tertulis Small Steps Big Steps Dance Studio. Alex mengikuti Ray yang sudah masuk ke dalam gedung dan melewati meja resepsionis. Ray menyapa wanita setengah baya di balik meja resepsionis, yang balas menyapa sambil tersenyum lebar. 
"Itu yang namanya Mia?" gurau Alex. 
"Haha. Lucu." gumam Ray datar. "Biasanya dia ada di ruang latihan di lantai atas. Ayo." 
Alex terkekeh dan mengikuti Ray menaiki tangga ke lantai atas. "Coba ceritakan bagaiamana kau bisa bertemu Mia ini." 
Sebelum Ray sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara terkesiap keras dari atas mereka, disusul bunyi keras. Mereka berdua serentak mendongak. Semuanya terjadi begitu cepat sehingga Alex sama sekali tidak melihat apa yang terjadi. Sesuatu terjatuh dari lantai atas, menubruknya dengan keras, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling-guling di tangga. 
"Alex!" 
Alex mendengar seruan Ray sebelum dirinya mendarat di lantai dan kepalanya membentur sesuatu yang keras. Pandangannya menggelap sesaat dan kegelapan serasa berputar-putar di balik kelopak matanya. Sesuatu yang berat menindihnya. Ia tidak bisa bicara. Dan hampir tidak bisa bernapas. 
"Alex! Alex, kau tidak apa-apa?" 
Alex mendengar suara Ray yang cemas, tetapi ia tidak bisa menjawab. 
"Mia?" Suara Ray terdengar lagi. Kali ini nada suaranya lebih cemas lagi. "Mia, kau tidak apa-apa?" 
Alex membuka mata dan langsung menyadari apa yang sebenarnya menindihnya dan membuat dadanya terasa berat. 
Gadis berwajah Asia dan berambut pendek sebahu yang menindih Alex itu mengerjap satu kali, lalu mata hitamnya terbelalak kaget. "Oh! Oh, astaga. Oh, astaga! Maafkan aku." Ia cepat-cepat berusaha berdiri. 
"Mia, kenapa...? Apa yang terjadi?" tanya Ray sambil menarik lengan gadis itu untuk membantunya berdiri. 
Gadis itu meringis ketika kaki kanannya menginjak lantai. "Aduh, aduh. Sebentar..." 
"Kakimu terkilir?" tanya Ray khawatir.
Alex menatap adiknya dengan tatapan tidak percaya. Ray sibuk mengurusi gadis itu dan tidak peduli pada kakaknya yang tergeletak tak berdaya di lantai? Lihat saja, Ray Hirano akan menerima balasannya nanti. Alex berusaha duduk. Ia menggerakkan tangan untuk menopang tubuhnya dan langsung diserang oleh rasa sakit yang tidak tanggung-tanggung. 
"Ada luka lain?" Suara Ray terdengar lagi dan sudah pasti pertanyaan itu bukan ditunjukkan kepada Alex. "Kepalamu terbentur? Ayo, sebaiknya kita pergi ke rumah sakit." 
"Tidak!" bantah gadis itu cepat. "Kenapa harus ke rumah sakit? Tidak. Aku baik-baik saja." 
"Tapi sebaiknya kau memeriksakan diri ke rumah sakit. Hanya untuk memastikan," kata Ray lagi. 
"Tidak perlu. Sudah kubilang aku tidak apa-apa." 
"Tapi..." 
Alex duduk dengan susah payah dan menyela adiknya, "Kurasa kita harus ke rumah sakit." 
Gadis itu menoleh ke arah Alex. "Sungguh. Aku tidak perlu ke rumah sakit. Aku..." 
"Bukan kau," sela Alex tajam sambil menggertakan gigi menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk pergelangan tangan kirinya. "Tapi aku." 
Kali ini Ray menoleh ke arah Alex. "Oh, astaga."

Bab 2

"APA? Kakakmu seorang pianis?" Mia Clark menatap Ray yang duduk di sampingnya dengan mata terbelalak lebar. "Pianis?"

Ray balas menatapnya dengan senyum tipis, namun Mia bisa melihat ekspresi cemas di wajah laki-laki itu. "Ya. Malah dia cukup terkenal," sahut Ray pelan.

Mia merasa sekujur tubuhnya berubah dingin. "Aku mematahkan tanhan seorang pianis terkenal," gumamnya lirih. Lalu ia memejamkan mata dan menutup wajah dengan kedua tangannya. "Ya Tuhan."


"Hei, ini bukan kesalahanmu," kata Ray sambil memegang bahu Mia dan mengguncangnya pelan, mencoba menghiburnya. "Kau juga bukannya sengaja tersandung karpet dan menjatuhkan diri dari tangga untuk mencelakainya."

Mia menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Ia dan Ray sedang duduk di deretan bangku di koridor rumah sakit, menunggu Alex Hirano yang masih berada di ruang pemeriksaan dokter. Ajaibnya, Mia sendiri tidak terluka setelah terjatuh dari tangga. Hanya ada sedikit memar di pahanya. Pergelangan kakinya tadi juga hanya terkilir ringan dan sekarang sudah sembuh sama sekali.

Sedangkan Alex Hirano... Mereka tidak tahu separah apa cedera yang dialami Alex, tetapi melihat bagimana laki-laki itu memejamkan mata dan menggertakan gigi menahan sakit selama perjalanan ke rumah sakit, Mia sudah mempersiapkan diri menerima yang terburuk. Tetapi ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Apa yang harus kaulakukan apabila kau mematahkan tangan pianis terkenal?

Yah... Tentu saja hal pertama yang harus kulakukan adalah meminta maaf. Mia belum sempat melakukannya tadi. Ya, ia harus meminta maaf. Selain itu? Selain meminta maaf, apa lagi yang harus kaulakukan apabila kau mematahkan tangan pianis terkenal? Membayar biaya perawatannya?

Bagaimana kalau Alex Hirano tidak bisa bermain piano lagi?

Gagasan itu tiba-tiba menyelinap ke dalam benak Mia dan Mia pun menegang. Ya Tuhan, semoga hal itu tidak terjadi. Ia pasti merasa sangat berdosa kalau hal itu sampai terjadi.

Mia kembali menarik napas dalam-dalam dan bau rumah sakit yang dibencinya membuat dadanya terasa berat dan sesak. Telinganya menangkap suara-suara di sekitarnya. Suara para dokter dan perawat yang membahas pasien tertentu dalam istilah kedokteran yang tidak dipahami orang awam, suara bernada monoton yang terdengar dari pengeras suara, dering telepon, bunyi ranjang beroda yang didorong cepat di sepanjang koridor, bunyi berdenting ketika lift terbuka. Semua suara itu membuat Mia makin tertekan. Ia ingin segera keluar dari sini. Ia ingin...


Tiba-tiba Ray melompat berdiri di sampingnya. Mia mendongak dan melihat Alex Hirano keluar dari ruang pemeriksaan bersama seorang dokter tua. Sepertinya sang dokter sedang mengatakan sesuatu dan Alex Hirano mendengarkan sambil mengangguk muram. Mata Mia beralih ke tangan Alex Hirano. Tangan kirinya dibebat dan tergantung kaku di depan dadanya.

Jadi... tangannya benar-benar patah?

"Bagaimana tanganmu? Apa kata dokter?" Ray bertanya ketika Alex Hirano sudah selesai berbicara dengan dokter dan menghampiri mereka.

Mia ikut berdiri dengan perlahan. Saat itu juga mata Alex Hirano beralih ke arahnya dan Mia merasa jantungnya berhenti sejenak dan napasnya tercekat. Mata hitam yang menatapnya dengan dingin itu membuat Mia sangat yakin bahwa Alex Hirano sama sekali tidak senang melihatnya di sana. Oh ya, Mia sangat yakin. Tatapan itu membuat Mia berharap bumi menelannya detik itu juga. Seandainya tatapan bisa membunuh, Mia pasti sudah terkapar tak bernyawa.

Kemudian tatapan mematikan itu berali ke arah Ray. "Kenapa dia masih ada di sini?" tanya Alex Hirano dengan suara rendah dan pelan.

Mia menggigit bibir dan melirik Ray sekilas. Ia tahu pasti siapa "dia" yang dimaksud. Begitu pula Ray.

"Alex, ayolah. Mia tidak mencelakaimu dengan sengaja. Kau tahu itu," kata Ray berusaha menenangkan kakaknya.

Alex Hirano tidak berkata apa-apa. Tanpa melihat ke arah Mia lagi ia berjalan melewati adiknya dengan langkah lebar.

"Alex," panggil Ray. "Alex!"

Mia menatap punggung Alex Hirano yang berjalan pergi menyusuri koridor dengan perasaan campur aduk. Bingung. Cemas. Takut.

Ray mendesah berat dan menoleh menatap Mia sambil tersenyum. "Ayo," katanya.

Mia menatap Ray, lalu menatap sosok Alex yang menjauh, lalu kembali menatap Ray. "Eh... kurasa aku tidak..."

"Ayolah," sela Ray sambil meraih siku Mia dan menariknya menyusul Alex yang sudah tiba di depan pintu lift di ujung koridor.

Begitu pintu lift terbuka dan mereka melangkah masuk. Ia langsung berdiri menempel di sudut. Alex Hirano tidak berbicara sepatah kata pun. Ray menatap Mia dan kakaknya bergantian, lalu mengembuskan napas pelan.

"Jadi apa kata dokter?" Ray mencoba bertanya kepada Alex sekali lagi.

Mia memberanikan diri melirik Alex Hirano. Ia tidak bisa melihat laki-laki itu dengan jelas dari tempatnya berdiri, tetapi dari apa yang bisa dilihatnya, wajah Alex Hirano masih terlihat menakutkan. Setelah sejenak, terdengar suara Alex Hirano yang rendah, "Aku tidak boleh menggerakkan tanganku. Dan tanganku akan tetap dibebat seperti ini selama dua bulan ke depan. Setelah itu kita baru bisa tahu dengan pasti apakah ada kerusakan permanen, dan apakah aku bisa menggerakan tanganku seperti dulu lagi."

"Dua bulan?" tanya Ray kaget. Ia menatap kakaknya. "Berarti konsermu minggu depan...."

"Mm."

Konser? Minggu depan? Konser apa? Mata Mia beralih dari Alex Hirano ke Ray, lalu kembali ke Alex Hirano. Apa yang sedang mereka bicarakan? Jangan-jangan...

"Harus dibatalkan."

Tepat setelah Alex Hirano berkata seperti itu, terdengar bunyi berdenting dan pintu lift terbuka. Alex Hirano dan Ray melangkah keluar dari lift, namun Mia mematung sejenak sebelum tersadar dan cepat-cepat menyusul mereka.

Jadi Alex Hirano seharusnya mengadakan konser minggu depan? Dan sekarang ia harus membatalkan konser itu karena tangannya cedera? Mia memang tidak tahu banyak tentang penyelenggaraan konser, tetapi membatalkan suatu pertunjukkan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada masalah ganti rugi dan semacamnya... Bukankah begitu?

Astaga, masalah ini semakin rumit.

Setelah mereka masuk ke dalam mobil—Ray mengemudi, Alex Hirano menempati kursi penumpang di sampingnya, dan Mia duduk di kursi belakang yang agak sempit—dan mobil melaju meninggalkan rumah sakit, Mia berusaha menenangkan diri dan mengumpulkan keberaniannya. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang diam-diam, dan baru hendak membuka mulut untuk meminta maaf ketika Alex Hirano mengeluarkan ponsel dari saku celananya, menekan salah satu tombol, lalu menempelkan ponsel ke telinga.

Mia mengurungkan niatnya dan menutup mulutnya kembali.

"Kau menelpon siapa?" tanya Ray.

"Karl."

"Manajermu?"

"Mm." Lalu, "Karl? Ini aku. Aku ingin kau membatalkan konser minggu depan."

Mia menggigit bibir.

"Tidak, bukan hanya konser di New York ini. Semuanya. Ya, semuanya... Chicago, L.A., Boston... Ya, Karl, semuanya. Batalkan semua jadwalku sampai akhir tahun."

Mia mulai menggigiti kuku jarinya. Jadi bukan hanya satu konser? Apakah keadaan ini bisa lebih buruk lagi?"

"Akan kuceritakan besok," kata Alex Hirano. "Sekarang katakan padaku apa yang bisa kaulakukan tentang pembatalan ini?"

Mia tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan setelah itu. Alex Hirano lebih banyak mendengarkan, kadang-kadang menyela untuk bertanya atau bergumam pendek. Mia memandang ke luar jendela, namun tidak benar-benar mengamati sesuatu. Pemandangan di luar sana melesat lewat dalam bentuk bayangan samar.

Hari ini bukan hari yang mudah bagi Mia, dan bukan hanya karena masalah dengan Alex Hirano. Harinya sudah terasa sejak Mia membuka mata hari ini. Dan dari sana segalanya bertambah buruk.

Ray membelok ke Riverside Drive. Tidak lama kemudian ia melambatkan laju mobil dan berhenti di depan salah satu gedung bertingkat empat di tepi jalan. Alex Hirano menutup ponsel dan menatap ke arah Ray. "Aku harus menemui Karl besok pagi. Kau bisa mengantarku ke sana?" Ia menggerakkan tangan kirinya yang di gantung di depan dada. "Aku tidak bisa mengemudi."

"Maaf, besok tidak bisa," sahut Ray dengan nada menyesal, "Kami harus tampil dalam acara amal untuk anak-anak."

"Aku bisa." Dua kata itu meluncur dari mulut Mia sebelum sempat diproses otaknya.

Kedua laki-laki yang duduk di depannya menoleh menatapnya. Yah, sebenarnya Ray yang menatapnya. Alex Hirano hanya memiringkan kepala sedikit, melirik Mia sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan.

"Aku...," gumam Mia agak salah tingkah. "Aku bisa... Maksudku..."

Alex Hirano menghela napas panjang, lalu bergumam, "Tidak perlu." Lalu kata-kata berikutnya lebih ditunjukkan kepada Ray, "Biar kusuruh Karl datang ke sini saja besok pagi."

Mia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi tidak sempat, karena Alex Hirano sudah membuka pintu mobil dan keluar.

Ray melemparkan seulas senyum menyenangkan ke arah Mia, lalu bergegas membuka pintu mobil dan menaiki tangga batu di luar gedung. Mia juga keluar, namun ia tetap berdiri di samping mobil di trotoar, melihat Ray memegang bahu Alex dan mengatakan sesuatu kepadanya. Mia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan dari tempatnya berdiri, tetapi Alex Hirano hanya mendengarkan Ray tanpa berkata apa-apa. Alex Hirano menyipitkan mata menatap adiknya, lalu menoleh ke arah Mia. Tanpa sadar Mia menelan ludah ketika mata gelap itu menatapnya. Dan tanpa sadar pula ia melangkah mundur dan punggungnya langsung menempel di mobil. Kemudian Alex kembali menatap Ray, mengatakan sesuatu yang singkat, lalu berjalan masuk ke dalam gedung. Pintu depan tertutup di belakang Alex Hirano dan saat itu barulah Mia bisa mengembuskan napas yang ternyata ditahannya sejak tadi.
  
Ray menuruni tangga dan menghampiri Mia. "Jangan khawatir. Alex tidak menyalahkanmu," katanya sambil tersenyum menenangkan.

Mia menatapnya dengan alis terangkat ragu. "Kau yakin? Asal kau tahu saja, dia terlihat sangat menakutkan bagiku."

Ray tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu berkata, "Aku akan mengantarmu kembali ke Small Steps."

Mia menggeleng. "Tidak perlu. Sebaiknya kau menemani kakakmu saja," sahutnya tegas. Melihat Ray seperti ragu dan hendak membantah, Mia cepat-cepat memaksakan bibirnya tersenyum dan berkata, "Aku akan menelponmu nanti. Oke?"


*****

Mia berlari-lari kecil menaiki tangga dan memasuki gedung Small Steps Big Steps Dance Studio. Agnes yang duduk di balik meja resepsionis mengangkat wajah. Begitu melihat siapa yang datang, wanita setengah baya itu langsung terkesiap, melompat berdiri dan bergegas menghampiri Mia. Kecelakaan di tangga tadi sempat menghebohkan orang-orang di sana dan Agnes hanya ingin memastikan Mia tidak menderita luka parah atau semacamnya. Tanpa memberikan penjelasan mendetail tentang Alex Hirano, Mia mengeaskan kepada Agnes bahwa dirinya baik-baik saja dan malah bisa langsung mengajar kelas berikutnya tanpa masalah. Dan Agnes berjanji akan membakar karpet tua sialan yang membuat Mia tersandung dan akhirnya terjatuh dari tangga.

Setelah itu Mia pergi ke ruang loker untuk bersiap-siap. Jam yang tergantung di dinding ruang loker menunjukkan bahwa kelasnya akan dimulai setengah jam lagi.

Mia sudah menjadi instruktur tari kontemporer di Small Steps Big Steps Dance Studio selama kurang-lebih satu tahun terakhir ini. Ia menyukai pekerjaannya. Setidaknya dengan begini ia masih bisa menari. Walaupun menjadi instruktur di studio tari tidak sama dengan menjadi penari utama dalam pertunjukkan besar di Broadway, setidaknya ia masih bisa menari. Itulah yang terus-menerus dikatakannya pada diri sendiri. Setidaknya dia masih bisa menari.

Menari adalah hidupnya. Menari adalah jiwanya. Ia tidak punya keahlian selain menari. Ia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi padanya apabila ia tidak bisa menari lagi.

Mia sadar ia sama sekali tidak bisa dibilang berotak encer. Nilai pelajarannya di sekolah dulu biasa-biasa saja. Ia tidak menonjol dalam mata pelajaran apa pun. Dulu ia adalah gadis kecil yang teramat sangat biasa. Tidak terlalu cantik, tidak terlalu pintar. Tetapi juga tidak jelek dan tidak bodoh.

Berbeda dengan orang tuanya. Ayahnya adalah profesor matematika di universitas dan ibunya adalah akuntan. Kata orang, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Tetapi di situlah letak permasalahannya. Mia bukan anak kandung orang tuanya. Ia diadopsi oleh pasangan Clark sejak bayi. Kenyataan bahwa dirinya adalah anak adopsi sudah diketahui Mia sejak kecil. Bagaimana tidak? Mia yang bermata gelap dan berambut hitam sangat berbeda dengan orangtuanya yang bermata biru dan berambut pirang. Namun orang tuanya menyayanginya sepenuh hati, selalu menganggap Mia sebagai anak kandung, dan selalu mendukung Mia. Mia tidak pernah kekurangan kasih sayang atau apa pun.

Tetapi kadang-kadang ketika ia masih kecil hanya kadang-kadang, dan ini sangat jarang terjadi ia ingin tahu siapa dirinya sebenarnya. 

Ia tahu dirinya diadopsi dari panti asuhan di Amerika Serikat. Tetapi tidak ada yang tahu siapa orang tua kandungnya, latar belakangnya, atau apakah orang tuanya warga negara Amerika atau bukan. Wajah Mia menunjukan ia memiliki keturunan Asia, tetapi ia tidak tahu tepatnya di Asia bagian mana. 

Mia membuka pintu loker dan mengeluarkan tasnya. Lalu ia duduk di bangku panjang di tengah-tengah ruangan dan menarik napas panjang.

Ia tidak pernah benar-benar bertemu dengan orangtua kandungnya. Untuk apa bertemu? Memangnya ada gunanya?

Ia mengeluarkan tabung plastik kecil dari dalam tas, membuka tutupnya, menjatuhkan sebutir pil ke telapak tangan dan langsung memasukannya ke mulut.

"Mia?"

Mia tersentak dan menoleh. "Oh, Lucy," gumannya ketika melihat rekan kerjanya sesama instruktur di Small Steps.

Lucy membuka pintu loker di sebelah loker Mia. Ia menggerakan dagunya, menunjuk tabung plastik yang ada dalam genggaman Mia. "Kau sakit?" tanyanya.
  
Mia melempar tabung plastik itu ke dalam tasnya dan mendesah. "Sakit kepala."

"Gara-gara jatuh di tangga tadi?

."Bagaimana kau bisa tahu tentang kejadian di tangga tadi?" Mia balas bertanya. "Bukankah tadi kau tidak ada?"

Lucy tertawa kecil. "Agnes memberitahuku begitu aku kembali sehabis makan siang. Katanya Ray dan temannya juga ada di sana waktu itu dan mereka yang mengantarmu ke rumah sakit."

Mia mengernyit ketika teringat pada Alex Hirano. "Dia bukan teman Ray, tapi kakaknya," gumannya. "Dan bukan aku yang terluka, tapi dia."

"Oh, ya? Tapi dia tidak apa-apa, bukan?"

Mia mendesah berat. "Tangannya terkilir dan harus dibebat selama dua bulan ke depan."

"Oh? Tapi apakah dokter mengatakan sesuatu? Apakah cederanya serius?"

Mia mengangkat bahu. "Tidak. Entahlah."

"Kalau dia memang cedera parah, dokter pasti sudah berkata begitu. Mungkin hanya terkilir sedikit. Bukan masalah besar," kata Lucy.

Mia menatap temannya dan tersenyum samar. "Mudah-mudahan saja begitu."

Lucy melepas jaketnya dan menggantungnya ke bagian belakang pintu loker. "Aku lega kau tidak terluka, tapi aku ingin sekali melihat reaksi Ray ketika nelihatmu jatuh dari tangga," katanya. "Dia pasti panik setengah mati."

Mia berdiri dan memasukan tasnya kembali ke dalam loker. "Oh, ya? Kenapa?"

Lucy menoleh ke arahnya dengan alis terangkat. " Kenapa? Mia, dia jelas-jelas menyukaimu. Dia setuju mengajar di sini juga karena kau yang memintanya. Jangan katakan padaku kau tidak menyadarinya."

Oh, ya. Mia menyadarinya. Tetapi ia hanya tersenyum dan berkata, "Ray memang baik."

Lucy menutup pintu lokernya dan menyandarkan sebelah bahu di sana, menghadap Mia. "Dia memang baik. Jadi apa lagi yang kau tunggu?"

Mia menoleh menatap temannya."Apa?"

"Dia baik, menyenangkan, dan menurutku enak dipandang. Jadi apa lagi yang kautunggu?" tanya Lucy sekali lagi. "Kau tidak menyukainya?"

"Aku menyukainya," bantah Mia.

"Tapi bukan dalam pengertian yang itu."

Mia menutup pintu loker dan tersenyum kepada temannya. "Ayo, kita pergi. Kelas akan dimulai sebentar lagi."

"Lagi-lagi mengalihkan pembicaraan," gerutu Lucy, lalu mengikuti Mia keluar dari ruangan loker.

Bab 3

ALEX berjalan menyusuri trotoar, kembali ke gedung apartemennya, sambil menyesap kopinya dengan perasaan lega. Ia tidak bisa berfungsi dengan baik sebelum minum secangkir kopi setiap pagi. Karena itu pagi ini ia hampir gila karena tidak bisa membuat kopi seperti biasa. Sejak kemarin ia baru menyadari bahwa ada banyak hal sederhana yang tidak bisa dilakukannya hanya dengan sebelah tangan, termasuk membuat kopi. Satu-satunya hal yang berhasil dilakukan Alex dengan sebelah tangan adalah membuat dapurnya berantakan.

Semua ini gara-gara gadis itu.

Alex mengumpat dalam hati. Tidak, ia tidak akan memikirkan gadis itu, yang ingin dilakukannya sekarang adalah meremukan wadah plastik berisi kopinya dan meninju sesuatu. Sekarang ia hanya ingin menikmati kopinya, walaupun kopi yang dibelinya dari kafe di ujung jalan ini sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kopi buatannya sendiri. Tapi hanya ini yang bisa didapatkannya sekarang. Dan ia harus puas dengan ini. Kopi ini saja sudah cukup. Ia tidak perlu sarapan walaupun ia kelaparan. Ia juga tidak perlu...

Alex menghentikan jalan pikirannya seiring langkah kakinya berhenti mendadak di tengah anak tangga di depan gedung apartemennya.


Terkutuklah dirinya. Alex melihat gadis itu berdiri di pintu depan gedung apartemennya.

Gadis itu.Mimpi buruknya.Malaikat kegelapannya.Dan suasana hati Alex pun kembaliburuk.


Gadis itu berdiri membelakangi Alex, menghadap interkom yang terpasang di samping pintu, menekan bel apartemen Alex berulang-ulang. Setelah menunggu beberapa detik dan tidak mendapat jawaban, ia menghela napas panjang. Tentu saja, ia belum sadar bahwa Alex tidak ada di apartemen karena Alex sebenarnya sedang berdiri tepat di belakangnya.

Alex mengerutkan kening menatap malaikat kegelapannya yang mendadak nuncul di depan matanya. Kenapa gadis itu datang ke sini?


Gadis itu masih berdiri menghadap interkom. Sebelah tangannya terangkat sekali lagi hendak menekan bel, tetapi tidak jadi. Tangannya diturunkan kembali. Ia mendesah pelan, lalu berbalik. Dan langsung terkesiap melihat Alex.


Mata gadis itu melebar kaget dan ia berdiri mematung di hadapan Alex. Alex tidak berkata apa-apa. Ia hanya memberengut menatap gadis yang telah menghancurkan dunianya dan membuatnya cacat dalam sekejap.


Gadis itu membuka mulut, tetapi Alex lebih cepat. "Jangan coba-coba jatuh lagi," katanya tajam.

Gadis itu menatapnya bingung. Lalu ia menunduk dan sepertinya menyadari apa yang dimaksud Alex. Ia berdiri di puncak tangga di depan gedung apartemen, sementara Alex berdiri di tengah-tengah tangga. Ketika ia kembalimenatap Alex, wajahnya terlihat merah. "Tidak, aku..."


"Sedang apa kau di sini?" Alex lagi-lagi menyelanya, dan sama sekali tidak mencoba membuat suaranya terdengar ramah. Kau tentu tidak mungkin mau bersikap ramah pada malaikat kegelapan, bukan?


"Aku datang untuk meminta maaf," kata gadis itu cepat, lalu menelan ludah dan menatap Alex sambil menggigit bibir.


Alex menyipitkan mata. Ekspresinya tetap tidak berubah. 

Gadis itu menggerakan sebelah tangannya tanpa maksud tertentu dan melanjutkan, "Aku belum sempat minta maaf. Kemarin, maksudku. Jadi hari ini aku datang untuk meminta maaf. Aku sangat menyesal. Sungguh. Aku benar-benar tidak sengaja.''


Alex tidak berkata apa-apa selama sepuluh detik penuh. Lalu, "Baiklah. Kau sudah mengatakannya. Sekarang pergilah," katanya dan berjalan menaiki anak tangga ke arah pintu depan. Ia merasa harus segera menyingkir dari posisinya yang berbahaya di tengah tangga, sebelum gadis itu jatuh lagi, menubruk dirinya, dan mematahkan kedua tangan serta kakinya.

"Aku ingin membantu," kata gadis itu tiba-tiba.

Alex menoleh menatapnya, masih dengan alis berkerut. "Apa?"


Gadis itu tetap berdiri di tempatnya dan menatap Alex lurus-lurus. "Aku ingin membantu," ia mengulangi kata-katanya tadi, namun dengan suara yang lebih pelan. "Bagaimana pun, akulah yang membuatmu menjadi seperti ini. Jadi..."


"Dan bagaimana kau berencana membantuku?" tanya Alex datar, sama sekali tidak berniat menerima bantuan apa pun dari gadis itu.

Malaikat kegelapannya ragu sejenak, lalu berkata dengan nada bertanya," Aku... bisa menjadi tangan kirimu?"

"Kau bisa bermain piano?"

"Eh... tidak."

"Kalau begitu tidak ada gunanya kau menjadi tangan kiriku," tukas Alex, lalu berbalik ke arah pintu. Dan tertegun. Matanya menatap kenop pintu, lalu ia menunduk menatap tangan kirinya yang dibebat dan tangan kanannya yang memegang wadah kopi.


Oh, sialan.


"Kau mau aku memegangi kopimu sementara kau mengeluarkan kunci?"


Alex menoleh ke arah gadis itu dengan perasaan dongkol, tetapi tidak menemukan ekspresi mengejek di wajah gadis itu. Malaikat kegelapannya itu hanya menatapnya dengan ragu.


Tanpa menunggu jawaban, gadis itu meraih kopi Alex dan mau tidak mau Alex terpaksa membiarkan gadis itu mengambil alih kopinya. Sementara Alex merogoh saku celana jinsnya, gadis itu melanjutkan, "Aku bisa menyiramtanamanmu kalau kau punya tanaman."


Alex mengeluarkan kunci dan memasukannya ke lubang kunci.

"Aku bisa memberi makan anjingmu... atau kucingmu... kalau kau punya anjing atau kucing."

Alex memutar kuncinya dan langsung menyadari kesulitan lain yang di hadapinya. Untuk membuka pintu dari dalam, yang perlu dilakukannya hanyalah memutar kenop dan pintu akan terbuka. Tetapi untuk membuka pintu dari luar, ia harus memutar kunci dan kenop pintu sekaligus. Nah, bagaimans pula...


Tiba-tiba gadis itu mengulurkan tangannya yang lain ke depan Alex dan memutar kenop pintu. "Aku bahkan tidak keberatan disuruh bersih-bersih," lanjutnya.


Alex menoleh ke arah malaikat kegelapannya yang balas menatapnya dengan penuh harap. Siapa nama gadis ini? Alex bertanya-tanya dalam hati. Apakah Ray pernah menyebutkannya? Mungkin. Entahlah. Ia tidak tahu dan tidak peduli.


"Jadi," kata gadis itu lagi ketika Alex diam saja," bagaimana menurutmu?"


Alex menarik napas dan mengembuskannya dengan kesal. Lalu ia mendorong pintu dan masuk ke dalam gedung tanpa berkata apa-apa. 


*****

Mia menahan pintu dengan sebelah tangan sebelum pintu itu tertutup di depan wajahnya. Ia mengigit bibir menatap Alex Hirano yang berjalan masuk ke dalam gedung apartemennya dan mengarah ke tangga. Kemarin malam, ketika Ray menelponnya, laki-laki itu sudah memperingatkan Mia bahwa Mia tidak akan mendapat sambutan hangat dari kakaknya. Tanpa diperingatkan pun, sebenarnya Mia sudah bisa menduganya. Kalau boleh jujur, ia tidak ingin bertemu dengan Alex Hirano lagi. Kenapa? Pertama, karena malu. Ia telah mencederai tangan seorang pianis sehingga mengharuskan pianis itu membatalkan pertunjukannya, yang tentunya menyebabkan masalah-masalah rumit lain menyangkut kerugian yang sangat besar. Kedua, karena takut. Alex Hirano sangat marah padanya dan itu sudah terlihat jelas kemarin. Hari ini pun laki-laki itu masih marah. Dan tatapan dingin laki-laki itu membuat Mia ingin mundur teratur, berbalik, lalu berlari pergi.


Namun apakah setelah mencederai tangan seseorang—walaupun itu tidak disengaja—kau bisa berbalik pergi begitu saja tanpa merasa bersalah dan tanpa merasa perlu melakukan sesuatu untuk menebus kesalahanmu? Well, Mia tidak bisa. Perasaan bersalah terus menghantuinya sejak kemarin dan membuat perasaannya sangat tidak enak.


Jadi di sinilah dirinya. Berusaha meminta maaf kepada Alex Hirano dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Berusaha bertanggung jawab. Tetapi laki-laki itu sama sekali tidak ingin berurusan dengannya.


Mia mengembuskan napas putus asa. Apakah sebaiknya ia pergi saja? Karena menghadapi Alex Hirano lagi sepertinya tidak ada gunanya. Malah laki-laki itu akan semakin membencinya. Ya, sepertinya yang terbaik yang bisadilakukan Mia untuk membantu Alex Hirano adalah menyingkir dari hadapannya. Setidaknya untuk sementara, sampai laki-laki itu sedikit lebih tenang.


Tapi... Mia menunduk menatap kopi Alex Hirano yang masih dipegangnya. Aih...


Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menguatkan diri, Mia pun menyusul Alex Hirano masuk ke dalam gedung dengan berat hati.


"Tunggu," panggil Mia ketika ia melihat Alex Hirano berjalan menaiki tangga. "Kopimu..."

Tentu saja Alex Hirano tidak menjawab. Yah, mungkin ia tidak mendengar panggilan Mia karena sosoknya sudah menghilang ketika ia berbelok di tengah tangga. Mia mendesah dan bergegas menyusulnya.


Kenapa laki-laki itu tidak menggunakan lift? Mia tidak tahu. Tetapi napas Mia sudah tersenggal ketika ia tiba di lantai empat. Mia berdiri di puncak tangga sambil berpegangan pada dinding dan berusaha mengatur napas.


"Kenapa kau mengikutiku!"

Mia mengangkat kepala mendengar suara yang dalam dan tajam itu. Alex Hirano berdiri di depan pintu yang sudah pasti adalah pintu apartemennya dan menatap Mia dengan kening berkerut.


Mia mengangkat tangannya yang masih memegang kopi. "Ini..."


Alex Hirano memiringkan kepala sdikit, menatap Mia. "Naik tangga sedikit dan kau sudah kehabisan napas? Kukira Ray pernah berkata bahwa kau penari."


Mia menegakkan tubuh. "Penari juga manusia," sahutnya datar.


Alex Hirano berkacak pinggang dan mengembuskan napas kesal. "Kenapa kau terus mengikutiku? Apa sebenarnya yang kau inginkan?"


Mia memejamkan mata sejenak. Ia harus mengendalikan diri. Tarik napas... keluarkan... tenangkan diri... Lalu ia membuka mata dan menatap Alex Hirano. "Baiklah, aku akan mengatakannya padamu sekali lagi," katanya dengan nada pelan dan jelas. "Aku datang ke sini untuk meminta maaf dan aku sebenarnya ingin bertanggung jawab atas semua yang sudah kulakukan. Ray merasa kau membutuhkan bantuan dan karena dia tidak bisa menemuimu setiap saat, kupikir aku mungkin bisa membantu." Ia berhenti sejenak untuk menarik napas, lalu melanjutkan, "Aku sudah meminta maaf dan aku sudah menawarkan bantuan. Tapi sepertinya kau tidak bersedia menerima keduanya. Baiklah, tidak apa-apa. Setidaknya aku sudah melakukan apa yang harus kulakukan dan sekarang kurasa aku tidak perlu merasa bersalah lagi."


Alex Hirano menatapnya dengan alis terangkat, walaupun raut wajahnya sulit dibaca.


Mia menghampiri Alex Hirano dan menyodorkan kopi yang masih dipegangnya ke arah laki-laki itu. "Ambil ini," katanya pendek.


Alex Hirano menerimanya, namun masih tidak berkata apa-apa.


"Semoga harimu menyenangkan," gumam Mia datar dan tanpa nada tulus dalam suaranya, lalu berjalan ke arah lift. Ia tidak sudi turun melalui tangga.


"Siapa namamu?"


Mia berhenti melangkah dan berbalik menatao Alex Hirano dengan curiga. Apa lagi sekarang? Laki-laki itu mau melaporkanku ke polisi? "Mia," jawabnya datar. "Mia Clark."

"Kau benar," kata Alex Hirano.

Mia mengerutkan kening. "Apa?"


"Kau benar," kata Alex Hirano sekali lagi. Seulas senyum kecil yang hambar tersinggung di bibirnya. Mia tidak yakin ia suka melihat senyum seperti itu. "Kau memang bersalah. Dan kalau dipikir-pikir, kau memang harus bertanggung jawab karena telah membuatku cacat dan mengacaukan hidupku."

"Cacat? Kau tidak cacar," sela Mia. "Tanganmu akan sembuh dalam beberapa bulan."

"Tidak ada yang menjamin tanganku bisa kembali seperti sediakala," balas Alex Hirano. "Dan semua itu gara-gara kau."

Mia menelan ludah diam-diam. "Aku tahu. Karena itulah..."

"Baiklah," sahut Alex Hirano tanpa menghiraukan kata-kata Mia. "Kalau kau memang ingin menjadi pesuruhku, kuizinkan kau menjadi pesuruhku."

Bab 4

KUIZINKAN kau menjadi pesuruhku? Yang benar saja!

Mia memberengut dongkol selagi mengikuti Alex Hirano masuk ke dalam apartemen yang luas.

"Jangan berfikir aku tidak ingin meminta ganti rugi darimu."

Mia berhenti mengagumi ruang duduk yang dibanjiri cahaya matahari dan menoleh ke arah suara Alex Hirano.

Alex Hirano meletakan kopinya di atas meja kecil yang dipenuhi kertas dan buku. Lalu ia menegakkan tubuh dan menatap Mia. "Kau tahu seberapa besar kerugian yang kau timbulkan?"

"Tidak," guman Mia jujur.

"Kata Ray, kau tidak mungkin sanggup membayar kalau aku meminta ganti rugi darimu."


Mia terdiam. Jemarinya tanpa sadar mencengkram tali tasnya dengan erat. Sepertinya kerugian yang ditimbulkannya sangat besar.


"Jadi asal kau tahu, Ray yang memintaku untuk tidak menyulitkanmu." Alex Hirano mendengus, lalu berguman, "Menyulitkanmu. Coba lihat siapa yang kesulitan di sini."


Mia tetap diam. Apa yang bisa dikatakannya dalam situasi seperti inu? Tidak ada.


Alex Hirano nengulurkan tangan kanannya, telapak tangannya menghadap ke atas.


Mia menatap ruangan itu, lalu menatap Alex Hirano.


"Kunci," guman Alex Hirano.


"Oh." Mia tersadar dan cepat-cepat mengembalikan kunci apartemen laki-laki yang masih dipegangnya, karena tadi ia yang membantu Alex Hirano membuka pintu apartemen.

"Nah, kau pasti sudah tidak sabar ingin mulai bekerja," kata Alex Hirano sambil melemparkan kunci apartemennya ke atas meja. "Bagaimana kalau kau membuatkan sarapan? Dapurnya di sebelah sana."


Mia menoleh ke arah yang ditunjuk,alu mendesah dalan hati. Ia sendiri yang menginginkan hal ini, bukan? Ia sendiri yang datang menawarkan diri untuk untuk membantu laki-laki itu. Ia sendiri yang mencari masalah. Jadi... oh, baiklah! Ia juga tidak bisa menarik kembali kata-katanya sekarang.


"Kau mau sarapan apa?" tanya Mia enggan sambil berjalan ke arah dapur.

"Bagaimana kalau kau memberiku kejutan?" balas Alex Hirano acuh tak acuh dan melemparkan seulas senyum hambar ke arah Mia. "Aku suka kejutan."


Mendadak langkah Mia terhenti dan ia mengerjap menatap keadaan dapur yang kacau balau. Biji-biji kopi tersebar di meja dan lantai, bercampur dengan pecahan- pecahan cangkir dan botol. Genangan air terlihat di permukaan meja dan juga di lantai. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?


"Oh, ya, kau boleh membersikan dapurnya sekalian."


"Apa yang terjadi di sini?" tanya Mia. Namun Alex Hirano tidak menjawab. Mia menoleh dan menyadari Alex Hirano sudah tidak berada di tempatnya tadi. Sedetik kemudian Mia mendengar bunyi pintu ditutup. Sepertinya laki-laki itu sudah masuk ke kamar.


Mia mendengus dan kembali menatap kekacauan di hadapannya. Ia bisa menebak apa yang terjadi di dapur ini. Sepertinya Alex Hirano ingin membuat kopi, tetapi ia tidak terbiasa menggunakan satu tangan. Beginilah hasilnya.


Mia menoleh ke balik bahunya, menatap ruang duduk yang kosong, dan berguman, "Dan apa katanya tadi? Dia tidak butuh bantuan?" Ia mendengus pelan. "Yah, yang benar saja."


*****

Alex Hirano duduk tertegun menatap sarapan yang disiapkan Mia untuknya. "Apa-apaan ini?" tanyanya.

"Apa?" tanya Mia polos. "Kenapa?"

"Susu dan sereal?" tanya laki-laki itu dengan nada tidak percaya sambil mendongak menatap Mia. "Hanya ini yang bisa kaulakukan?"

Mata Mia menyipit mendengar nada mencemooh dalan suara Alex Hirano. "Hanya ini yang bisa kutemukan di dapurmu," katanya membela diri.


"Aku yakin masih ada bacon dan telur," guman Alex.


"Tidak ada," sahut Mia tegas, "kecuali kau menyembunyikannya di kamar tidurmu."


Alex memberengut menatapnya. "Roti," katanya. "Aku yakin masih ada roti."


Mia mengangguk. "Memang benar, tapi sudah berjamur. Aku membuangnya karena kupikir kau pasti tidak mau makan roti yang sudah berjamur."


Alex Hirano masih memberengut seolah-olah Mia yang membuat rotinya jamuran.


"Sungguh, tidak ada apa-apa di dapurmu," Mia menegaskan sekali lagi. Lalu menambahkan dengan suara yang labih pelan, "Seharusnya kau tahu itu karena kau yang tinggal di sini."


Alex Hirano menyipitkan matanya menatap Mia dan Mia kembali merasakan keinginan untuk mundur teratur.


"Kalau kau mau, aku bisa membantumu membeli persediaan makanan atau apa pun yang kau butuhkan dan membawanya ke sini sore nanti, setelah aku selesai mengajar," Mia menawarkan diri.


Sebelum Alex Hirano sempat menjawab, bel pintu berbunyi. Mia otomatis menoleh ke arah pintu, lalu kembali menatap Alex.


"Apa yang kau tunggu?" tanya Alex.


Mia menatapnya tidak mengerti.


"Buka pintunya."


"Oh."


Mia mendesah dalam hati mendengar nada tajam dalam suara Alex Hirano. Sungguh, ia tidak tahu kenapa Alex Hirano harus... Oh, baiklah, kalau mau jujur, ia tahu kenapa Alex Hirano bersikap sinis padanya. Dan laki-laki itu memang berhak bersikap sinis, terutama padanya.


Dengan enggan, Mia berjalan ke pintu dan membukanya. Seorang laki-laki muda, jangkung, berkulit gepap dan berkepala botak menatapnya dengan alis terangkat. "Siapa kau?" tanya laki-laki itu tanpa basa-basi, namun tidak ada nada tajam dalam suaranya.


Sebelum Mia sempat menanyakan hal yang sama, suara Alex Hirano terdengar di belakangnya. "Masuklah, Karl."


Mia menepi memberi jalan. Laki-laki yang terlihat seperti pemain bola basket profesional yang dipanggil "Karl" itu masuk dan berjalan melewati Mia ke ruang duduk.


"Siapa gadis itu?" Mia mendengar Karl bertanya kepada Alex. "Dan apa maksudmu kau ingin membatalkan—Astaga! Apa yang terjadi padamu? Tanganmu kenapa?"


Mia menutup pintu dan mengikuti tamu Alex ke ruang duduk.


"Karena itulah kubilang semua jadwalku sampai akhir tahun harus dibatalkan," kata Alex sambil duduk bersandar di sofa.


"Ini bencanda," guman Karl. Lalu ia mengerluakan ponsel dari saku dan mulai menekan beberapa nomor. "Aku harus segera menghubungi orang-orang. Ini benar-benar bencana. Tapi, ceritakan padaku bagaimana tanganmu bisa berakhir seperti itu?"


Alex menoleh ke arah Mia dan tersenyum samar. "Orang yang berdiri dibelakangmu itulah yang membuat tanganku berakhir seperti ini," katanya pada Karl.

Karl berputar dan menatap Mia. "Kau?" tanyanya dengan nada heran. "Kau mematahkan tangannya?"


"Tidak! Itu tidak disengaja" sahut Mia cepat. Lalu menambahkan dengan suara yang lebih pelan, "Dan tangannya tidak patah."

Karl memiringkan kepalanya sedikit. "Sengaja atau tidak, kita tetap harus menghitung ganti ruginya."


"Eh, itu..." Mia mengerjap, melirik ke arah Alex yang menyandarkan kepala ke sandaran sofa dan menatap langit-langit, lalu kembali menatap Karl.


"Dia teman Ray."


Mia dan Karl serentak menoleh ke arah Alex.


"Dia teman Ray," kata Alex sekali lagi. "Jadi kau tidak usah repot-repot mencoba meminta ganti rugi darinya."

Karl mengangkat bahu tidak peduli. "Teman Ray atau bukan..."

"Dia juga tidak akan sanggup mengganti kerugian sebesar itu," sela Alex. Matanya beralih dari Karl ke arah Mia. "Tapi dia sudah memikirkan cara lain untuk menggantinya."


Karl mengangkat sebelah alis. "Bagaimana?"


"Karl kenalkan," kata Alex sambil mengayunkan lengannya ke arah Mia, "ini... tunggu, siapa namamu tadi? Ah, terserahlah. Karl, ini pengurus rumahku yang baru."


Pesuruh dan pengurus rumah. Mia mendesah dalam hati. Sepertinya itulah posisinya di rumah ini.


Karl tersenyum kecil. "Pengurus rumah?"

Apa lagi yang bisa Mia lakukan saat ini selain mengulurkan tangan ke arah Karl dan berkata, "Halo, aku Mia. Mia Clark."

Senyum Karl melebar dan ia menjabat tangan Mia dengan tegas. "Karl Jones. Aku agen sekaligus manejer Alex," katanya. "Jadi kau teman Ray?"


"Ya begitulah." Mia mendapat kesan bahwa Karl Jones ini sepertinya orang baik.


"Kalian bisa melanjutkan basa-basi kalian nanti," sela Alex tajam. "Sekarang ada hal penting yang harus kita bicarakan."


Karl menoleh ke arah Alex. "Oke, oke."

Teringat pada posisinya, Mia bertanya ragu, "Mau minum kopi?"

"Boleh juga," sahut Karl cepat. "Terima kasih."


Mia menyadari Alex menatapnya dengan tatapan curiga. Apa? Sebagai pengurus rumah di sini aku harus menyuguhkan minuman untuk tamu, bukan? gerutu Mia dalam hati. Kenapa laki-laki itu menatapnya seperti itu, seolah- olah ia tidak percaya Mia mampu membuat kopi sendiri. Atau apakah ia curiga Mia akan memasukan sesuatu ke dalam kopinya dan membuatnya lebih celaka lagi?


"Kau mau juga?" tanya Mia pendek.


Alex masih terlihat ragu, lalu akhirnya menjawab, "Boleh."


*****

Alex dan Karl masing-masingberbicara di telepon ketika Mia kembali ke ruang duduk. Alex Hirano sama sekali tidakmengangkat wajah ketika Mia meletakkan cangkir kopi di atas meja di hadapannya, tetapi ia berdiri dari sofa, berjalan ke pintu beranda dan berdiri di sana. Mia menatapnya sejenak, lalu mengalihkan perhatian kepada Karl Jones yang sudah selesai berbicara di telepon.


"Terima kasih," kata Karl sambil meraih cangkir kopinya.

"Aku sudah membuat masalah besar, bukan?" tanya Mia.

Karl menatapnya. "Tentu saja ," jawabnya, namun nada suaranya ringan.

Mia mengigit bibir dan mencengkeram pinggiran nampan di tangannys. "Seberapa parah?"

"Jangan berdiri saja di sana. Duduklah," kata Karl, lalu menyesap kopinya. "Wah, kopi ini enak sekali."

Mia duduk tegak di hadapan Karl, masih mencengkeram pinggiran nampan. "Seberapa parah?" tanyanya sekali lagi.


"Tenang saja," sahut Karl ringan sambil tersenyum lebar. "Serahkan saja padaku. Tidak ada yang tidak bisa kuatasi."

Jawaban Karl yang penuh percaya diri itu entah kenapa membuat Mia merasa sedikit lebih tenang. Ia melirik Alex yang masih berdiri menghadap pintu dan berbisik, "Apakah dia sangat terkenal?"

Karl ikut mencondongkan tubuh ke depan. "Alex? Tentu saja."

Mata Mia melebar. "Benarkah?"

Karl terkekeh pelan. "Dia memang tidak terkenal di kalangan remaja dan umum seperti kebanyakan penyanyi pop," katanya, "tapi namanya terjenal di kalangan tertentu. Kalau kau pianis atau musisi, kau pasti pernah mendengar namanya."


Mia mengangguk-angguk pelan. "Oh, begitu."


Tepat pada saat itu Alex kembali bergabung dengan mereka di sofa. Ponselnya dilemparkan ke atas meja.


"Bagaimana?" tanya Karl padanya.


"Kacau," sahut Alex muram. "Memangnya apa lagi yang kauharapkan?"


Alex meraih cangkirnya dan menyesap kopinya. Lalu ia tertegun menatap kopi itu sejenak dan tanpa sadar Mia menahan napas. Apa? Apalagi sekarang? Tetapi Alex tidak berkata apa-apa. Ia hanya menyesap kopinya sekali kagi. Dan lagi. Dan Mia pun akhirnya mengembuskan napas yang ditahannya.


"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Alex tiba-tiba dan menoleh ke arah Mia.


Mia tersentak dan mengerjap. "Apa? Tidak. Aku tidak menatapmu."


Mata Alex menyipit. "Kau sedang menikmati kekacauan yang kau timbulkan?"


"Tidak!' bantah Mia cepat. "Aku bukan orang seperi itu."


Alex mengangkat bahu. "Siapa tahu?" gumannya acuh tak acuh, lalu kembali menyesap kopinya.


Oh, laki-laki itu benar-benar... Mia mengigit bibir dan berusaha menahan diri supaya tidak melempar nampan yang dipegangnya ke kepala Alex Hirano. Ia berdiri dan berguman, "Aku harus pergi."


"Oh, jangan biarkan Alex membuatmu kesal," kata Karl. "Dia memang selalu begitu."


Alex melotot ke arah temannya.


Mia tersenyum kepada Karl. "Bukan begitu. Aku harus mengajar kelas siang hari ini."


"Mengajar apa?" tanya Karl.


"Tari kontemporer."


"Ah, kau penari rupanya. Hebat."


"Kau sudah membersihkan dapur?" sela Alex dengan nada datar.


Mia mendesah dalam hati. Aneh sekali, bagaimana Alex Hirano bisa menbuat perasaan seseorang menjadi berat dan muram hanya dengan satu kalimat singkat. "Sudah," sahut Mia. "Kau mau memeriksanya dulu?"


"Nanti saja," kata Alex dan kembali menyesap kopinya.


"Baiklah kalau begitu. Masih ada kopi di dapur kalau kalian mau,"kata Mia, lalu berjalan ke dapur untuk meletakkan nampan dan mengambil tasnya. Ia kembali ke ruang duduk dan Karl bediri dari sofa.


"Aku akan mengantarmu ke pintu," kata Karl.


Mia tersenyum cerah kepadanya. Karl laki-laki yang baik, pikir Mia. Sangat berbeda dengan laki-laki yang satu lagi yang duduk di sofa dengan tangan dibebat dan wajah memberengut.


Mia berbalik, lalu berhenti. Ia ragu sejenak. Ia pasti sudah gila karena merasa harus bertanya, namun akhirnya ia menoleh ke arah Alex dan bertanya enggan, "Apakah kau ingin aku datang lagi nanti sore?"


Mia setengah berharap laki-laki itu menjawab: Tidak, terima kasih banyak. Aku tidak butuh apa-apa, jadi jauh-jauhlah dariku.

"Tidak," sahut Alex Hirano pendek.

Harapannya terkabul. Mia menganguk. "Baiklah."

"Kita juga akan pergi sebentar lagi," jelas Karl kepada Mia. "Ada banyak orang yang harus kami temui dan banyak masalah yang harus kami selesaikan. Jadi kami akan sibuk sepanjang hari ini."

"Ya, kami harus menyelesaikan masalah yang kautimbulkan," tambah Alex datar.

Mia menoleh ke arah Alex. Sungguh, ia tidak perlu diingatkan setiap menit tentang "masalah" yang ditimbulkannya. Ia sangat menyadari "masalah" yang ditimbulkannya. Kalau tidak, kenapa lagi ia masih berada di sini dan menahan diri menerima semua ini?


Lagi pula, "masalah" ini sebenarnya juga bukan sepenuhnya kesalahan Mia. Kalau Mia memang benar-benar ingin membuat Alex Hirano celaka, ia pasti tidak hanya akan membuat tangan kiri laki-laki itu terkilir. Mia pasti sudah melakukan sesuatu yang lebih buruk. Misalnya...


"Tapi kau boleh datang besok pagi," kata Alex Hirano, memotong jalan pikiran Mia yang mulai melantur.

"Ya?"

"Besok pagi jam delapan tepat," kata Alex datar.

"Apa yang akan kalian lakukan? Aku bisa membantu kalau boleh," sela Karl sambil menatap Mia dan Alex bergantian.

Alex menatap Karl. "Kau menjadi manejer merangkap pengurus rumahku?"

Karl tersenyum lebar. "Tidak, terima kasih banyak. Menjadi manajermu saja sudah cukup merepotkan."

"Bagus." Alex kembali menoleh ke arah Mia. "Kau boleh pergi sekarang."

Sungguh. Kata-kata terakhir Alex Hirano dan caranya mengucapkan kata-kata itu membuat Mia merasa seolah-olah ia memang telah menjadi pesuruh laki-laki itu. Mia hampir tidak percaya ia sendirilah yang dengan suka rela melemparkan diri ke dalam masalah ini. Tapi siapa yang menduga Alex Hirano bisa begitu menyebalkan?

Memang benar kata orang. Penyesalan selalu datang terlambat.

Bab 5

BUNYI samar piring-piring yang berdenting membuat Mia terjaga. Matanya terbuka dan ia memandang ke sekeliling kamarnya yang gelap. Ia menjulurkan tangan ke meja kecil di samping tempat tidur dan meraih beker. Hampir jam enam. Berarti ia hanya sempat tidur tiga jam. Malah tidak sampai tiga jam.


Mia turun dari ranjang dan berjalan ke arah jendela. Ia menyibak tirai tebal dan memandang langit yang masih gelap.


Sudah seminggu terakhir ini ia tidak bisa tidur. Ia lelah, tetapi tidak bisa tidur. Lalu kemarin ia berpikir mungkin sebaiknya ia menginap di rumah orangtuanya di Huntington. Ia berpikir pasti bisa menenangkan pikiran sejenak di rumah tempatnya dibesarkan, di dekat orangtuanya. Tetapi ternyata hasilnya sama saja. Ia tetap tidak bisa tidur nyenyak dan bunyi sekecil apa pun langsung membuatnya terjaga.

Apakah ini wajar?

Apakah insomnia ini akan berlangsung terus?

Apakah ia harus minum obat tidur?

Ia menarik napas dan merasa dadanya sesak.

Bunyi samar yang menandakan kegiatan di dapur di lantai bawah membuat Mia tenang. Ibunya pasti sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur, seperti yang dilakukannya setiap hari selama 32 tahun perkawinannya. Sebentar lagi ayahnya akan bangun dan bergabung dengan ibunya di dapur untuk sarapan bersama. Ayah dan ibunya sarapan dan makan malam bersama setiap hari. Ketika ia masih tinggal di sini bersama orangtuanya, Mia juga selalu melakukan hal yang sama. Acara makan bersama itu selalu menyenangkan karena mereka membicarakan hal-hal menarik.

Mia tersenyum kecil. Sebaiknya ia segera turun kalau ia ingin sarapan bersama orang tuanya.


*****

Mia sedang membantu ibunya menyiapkan sarapan ketika ayahnya muncul di dapur.

"Halo, Princess, kau tidur nyenyak semalam?" tanya ayahnya sambil mengecup puncak kepala Mia.

"Pagi Dad," kata Mia sambil tersenyum lebar. "Tidurku nyenyak sekali."

Berbohong sedikit demi kebaikan tidak ada salahnya, pikir Mia. Ia tidak ingin menambah kecemasan orangtuanya.


Ayahnya menangkap pipi Mia dan mengamatinya dengan seksama. "Matamu agak bengkak," guman ayahnya debgan alis berkerut samar. "Bagaimana perasaanmu pagi ini?"

"Oh, Dad," erang Mia, tetapi senyum masih tersingung di bibirnya, "aku baik-baik saja. Jangan kahwatir. Dan mataku akan ku kompres dengan mentimun nanti. Oke?"


"Kau tahu ayahmu sangat protektif," kata ibunya sambil meletakkan sepiring sandwich buatan sendiri di atas meja bundar di tengah-tengah dapur.

"Aku tahu," sahut Mia. "Dan itu karena Dad menyanyangiku."

Ayahnya menepuk pipi Mia. "Benar sekali, Princess."

"Sayang, kau tentu tahu kami ingin kau kembali tinggal di sini bersama kami, bukan?" tanya ibunya.


Mia meremas tangan ibunya dan tersenyum menenangkan. "Aku baik-baik saja, Mom. Sungguh. Percayalah padaku. Aku akan menelpon kalian kalau ada apa-apa."


Ibunya mendesah dan menganguk. "Baiklah. Kau akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja. Ayo, kita makan."


Mia meraih sepotong sandwich dan menggigitnya. "Mm, sandwich ini enak sekali."


"Kau mau membawa beberapa potong untuk... siapa nama temanmu itu?" tanya ibunya sambil berpikir-pikir.


"Teman yang mana?" Mia balas bertanya. "Teman-teman di Small Steps?"

"Temanmu yang tangannya terkilir."

Mia nyaris tersedak. "Maksud Mom, Alex Hirano?"


Mia memang sudah bercerita kepada orangtuanya tentang Alex Hirano, tentang kecelakaan yang menyebabkan tangan kiri laki-laki itu dibebat, juga tentang Mia yang membantunya karena Mia-lah yang menyebabkan kecelakaan itu, walaupun tidak disengaja. Yah, tentu saja Mia tidak bercerita tentang sikap buruk Alex Hirano dan kenyataan bahwa laki-laki itu membencinya. Orangtuanya tidak perlu tahu soal itu. Ayahnya pasti akan mengamuk kalau tahu putri semata wayangnya diperlakukan seperti pesuruh oleh Alex Hirano.


"Dia bukan temanku," bantah Mia, sebal karena teringat pada laki-laki menjengkelkan itu. "Dia kakak temanku. Dan satu-satunya alasan aku membantunya adalah karena kalian mendidikku menjadi orang yang baik."


"Kau memang harus membantunya karena kau yang membuatnya cedera," kata ayahnya. Ketika melihat Mia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, ia cepat-cepat menambahkan," Tentu saja itu tidak disengaja."


"Bawalah beberapa potong untuknya," kata ibunya sambil berdiri dan mulai mencari-cari kotak plastik di lemari dapur untuk tempat sandwich.


Mia mendesah enggan dan bertanya-tanya sendiri apakah ibunya masih tetap akan memberikan sandwich kepada AlexHirano apabila ia tahu bagaimana sikap laki-laki itu pada Mia. Yah, mungkin saja. Karena bagaimanapun Mia-lah yang menyebabkan tangannya terkilir. Aih...


*****


Satu jam kemudian Mia sudah bersiap-siap kembali ke New York City. Ia masuk ke dalam mobil VW Beetle kuningnya dan meletakkan kotak plastik berisi sandwich di kursi penumpang.

"Kau sudah membawa semuanya? Tidak ada yang ketinggalan ?" tanya ibunya seperti yang selalu dilakukannya setiap kali Mia meninggalkan rumah. "Dompet? Ponsel? Obat?"

Mia memeriksa isi tasnya. "Yap, Sudah ada semuanya. Tidak ada yang tertinggal."

"Hati-hati," kata ayahnya. "Telepon kami kalau kau butuh sesuatu."

"Tentu, Dad." Mia memasang sabuk pengaman, melambai kepada orang tuanya dan melajukan mobilnya meninggalkan rumah.

Ia tahu orangtuanya sangat mengkhawatirkan dirinya. Ia sendiri juga kadang-kadang mengkhawatirkan dirinya sendiri. Tapi tidak apa-apa. Ia bisa menjaga diri. Ia akan baik-baik saja.

Mia melirik jam di dasbor mobil dan mendesah dalam hati. Sepertinya ia akan terlambat tiba di tempat Alex Hirano. Semoga jalanan tidak macet.

Bab 6

GADIS itu belum datang.

Alex Hirano memberengut menatap jam di atas piano. Sekarang sudah pukul sembilan tepat dan gadis itu masih belum datang. Hebat. Hebat sekali.

Alex sudah uring-uringan sejak tiga puluh menit yang lalu. Dan ia akan tetap uring-uringan sampai ia mendapatkan kopi paginya. Ia membutuhkan kopi. Ia membutuhkan gadis itu untuk membuatkan kopi untuknya. Kalau nyali gadis itu ciut dalam sehari dan memutuskam untuk tidak datang, Alex terpaksa harus pergi ke kafe di ujung jalan untuk membeli kopi lagi. Dan ia akan kebingungan lagi saat harus membuka pintu gedungnya dari luar.


Alex menatap tuts piano di hadapannya dan suasana hatinya semakin muram. Piano itu mengingatkan dirinya pada tangannya yang patah. Hm, terkilir sebenarnya lebih tepat. Tapi apa bedanya, pokoknya tangan kirinya jadi tidak bisa digunakan, kan? Ia menggerutu dan mulai berjalan mondar-mandir di ruang duduk.


Bukankah ia sudah mengatakan dengan jelas kemarin bahwa gadis itu harus tiba di sini jam delapan tepat? Apakah kata-katanya kurang jelas? Apakah...


Bel interkom berbunyi dan memotong jalan pikirannya. Alex melangkah lebar menghampiri interkom yang terpasang di dinding dan menatap layar kecil di sana. Itu dia malaikat kegelapannya. Akhirnya datang juga.


Alex menekan tombol untuk membuka pintu depan gedung dan menunggu. Dua menit kemudian bel pintu apartemennya berbunyi.


Alex membuka pintu dengan satu sentakan cepat dan menatap Mia Clark yang ternyata sedang berdiri dengan ponsel ditempelkan ke telinga. Melihat Alex, gadis itu cepat-cepat berguman, "Eh, Rick, aku harus pergi sekarang. Kutelepon lagi nanti, ya?"


Alis Alex berkerut. "Kau terlambat," katanya ketika gadis itu suddah menutup ponsel. "Satu jam tiga puluh menit."


Mia menyunggingkan seulas senyum meminta maaf. "Aku tahu. Maaf," katanya sambil berjalan masuk ke apartemen Alex. "Jadi kau sudah sarapan?"

Alex menutup pintu dan menggerutu, "Aku tidak butuh sarapan. Aku butuh kopi."

Mia meletakkan tas dan kantong plastik yang dibawanya di salah satu kursi berlengan di ruang duduk. "Akan kubuatkan kopi untukmu."

"Jadi kenapa kau datang terlambat padahal sudah kubilang kau harus tiba di sini jam delapan tepat?" tanya Alex masam.

"Jalanannya macet sekali hari ini. Biasanya aku tidak membutuhkan waktu selama itu dari Huntington ke Manhattan," sahut Mia sambil mengangkat bahu.


"Kau tinggal di Huntington?"


"Tidak, aku punya apartemen di sini, di Manhattan, di Greenwich Village. Orangtuaku yang tinggal di Huntington. Aku menginap di rumah orangtuaku kemarin."


Alex hanya berguman sambil lalu dan menjatuhkan diri ke sofa. Lalu ia mendongak menatap Mia yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. "Bukankah kau bilang kau akan membuat kopinya sekarang?" tanya Alex.


"Oh, ya. Benar," kata Mia cepat dan berbalik hendak berjalan ke dapur. Tetapi teringat sesuatu dan berbalik kembali. "Omong-omong, aku bawa sandwich. Karena kau belum sarapan, kau bisa makan dulu sementara aku membuat kopi."


Alex mengamati sandwich dalam kotak plastik yang diletakkan Mia di atas meja di hadapannya. "Tidak usah. Aku tidak butuh sarapan."

"Semua orang harus sarapan. Masa kau hanya minum kopi setiap pagi?"

"Ya."

"Coba dulu."

"Tidak."

"Kenapa? Takut aku akan meracunimu?"

Alex mendongak mendengar nada kesal dalam suara gadis itu. "Mungkin," sahutnya. "Siapa tahu?"


Alex mengamati mata Mia Clark menyipit dan bibirnya terkatup rapat, seolah-olah gadis itu berusaha menahan diri. Akhirnya gadis itu menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Tidak ada racun. Ibuku yang membuat sandwich-nya. Dia menyuruhku memberikannya kepadamu. Memangnya kau pikir ibuku berniat meracunimu?"

Alis Alex berkerut heran. "Ibumu mengenalku?"


"Tidak. Tapi dia tahu tentang kecelakaan itu dan dia tahu aku akan membantumu selama tanganmu masih dibebat." Mia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada tidak sabar, "Demi Tuhan, makan saja. Kau tidak perlu menghabiskannya kalau tidak mau."


Alex tidak menjawab. Ia menatap sandwich di hadapannya dengan masam, lalu kembali mendongak menatap Mia. "Mana kopiku?"


Mendengar pertanyaanya, Mia Clark mengembuskan napas kesal, berbalik, dan berjalan ke dapur sambil menggerutu tidak jelas.


Beberapa menit kemudian Mia kembali ke ruang duduk membawa secangkir kopi. Alex Hirano masih duduk di tempatnya tadi sambil mencoret-coret sesuatu di kertas di atas meja. Kotak berisi sandwich yang diletakkan Mia di atas meja tadi masih belum dibuka. Mia mendesah dalam hati dan meletakkan cangkir kopi di atas meja. Mia mendesah dalam hati dan meletakkan cangkir kopi di atas meja.


Alex Hirano langsung meraih cangkir itu dan menyesap kopinya. Lalu ia mendongak menatap Mia. "Kau boleh mulai membersihkan rumah. Pengisap debu dan semua yang kau butuhkan untuk bersih-bersih ada di lemari di samping pintu masuk. Dan ingat," katanya dengan nada tajam yang sudah mulai dikenal Mia. "Jangan sentuh pianoku dan jangan sentuh kertas-kertasku."


Mia melirik kertas-kertas penuh coretan not balok yang tersebar di atas meja. Baiklah, ia tidak akan mengelap atau merapikan meja ini. Oke. Tidak masalah. Beras. Apa lagi?


Tetapi Alex Hirano tidak berkata apa-apa lagi. Ia berdiri dari sofa dengan secangkir kopi di tangan dan berjalan ke kamar tidurnya. Mia menatap pintu kamar yang ditutup dengan tegas itu dengan mata disipitkan, lalu mendesah pelan dan berjalan ke arah lemari yang ditunjuk Alex tadi untuk mengeluarkan mesin pengisap debu.


*****


Alex melepaskan headphone yang terpasang di kepalanya dengan kasar dan melemparkannya ke atas tempat tidur. Ia menjauhi keyboardnya dan berjalan mondar-mandir di kamar. Ini benar-benar menjengkelkan. Bermain piano dengan satu tangan terasa sangat menyedihkan. Ditambah lagi, ia belum mendapat inspirasi untuk melanjutkan lagunya.


Semua ini gara-gara tangannya yang cacat!


Dan tangannya cacat gara-gara gadis itu!


Omong-omong soal gadis itu...


Alex berhenti melangkah dan menatap pintu kamar tidurnya. Ia memiringkan kepalanya sedikit, memasang telinga. Hening. Tidak terdengar apa-apa.


Beberapa menit setelah Alex masuk ke kamarnya tadi, ia mendengar mesin pengisap debu dinyalakan. Ia mengenakan headphone dan memperbesar volume musiknya untuk meredam bunyi berisik itu sementara gadis itu bekerja. Tetapi sekarang tidak terdengar apa-apa lagi di luar sana.


Alex melirik jam. Ternyata sudah lama juga ia mengurung diri di kamar. Alex membuka pintu kamar dan melongok ke luar. Tidak ada siapa-siapa. Ia berjalan ke ruang duduk, lalu ke dapur, lalu kembali ke ruang duduk. Tidak ada siapa -siapa di apartemennya selain dirinya sendiri. Lalu di mana gadis itu?


Mungkin sudah pulang, pikir Alex dalam hati dan mengangkat bahu tidak peduli. Tapi, tunggu dulu apakah masih ada kopi di dapur?


Alex berjalan kembali ke dapur dan mendesah lega ketika menemukan masih ada kopi di sana. Bagus. Berikutnya makanan. Alex membuka lemari dapur dan memberengut. Apa-apaan ini? Tidak ada makanan. Alex teringat kata-kata gadis itu dan terpaksa mengakui bahwa gadis itu benar. Tidak ada apa-apa di dapurnya. Benar-benar menyedihkan.


Ia kembali ke ruang duduk dan mengempaskan diri ke sofa. Ia hendak meraih remote control untuk menyalakan televisi ketika matanya terpaku pada kotak berisi sandwich di atas meja. Perutnya berbunyi. Baiklah, ia akan memakan sandwich-nya sekarang karena gadis itu sudah tidak ada.

Dan sandwich itu sangat enak. Ia juga merasa lebih baik setelah makan. Lebih tenang.

Alex sedang mengunyah potongan sandwich terakhir sambil menonton televisi ketika bel pintu berbunyi. Alex berdiri dan berjalan ke pintu sambil bertanya-tanya kenapa bukan interkomnya yang berbunyi, melainkan bel pintunya. Apakah salah seorang tetangganya datang berkunjung? Tidak mungkin. Alex nyaris sama sekali tidak mengenal tetangga-tetangganya.


Ia membuka pintu dan langsung berhadapan kembali dengan malaikat kegelapannya. Malaikat kegelapan yang memeluk dua kantong belanjaan.


"Hai," kata Mia Clark sambil berjalan melewati Alex dan masuk ke dalam apartemen. "Kau mau pasta untuk makan siang?"


Alex mengerjap dan menatap Mia Clark yang langsung berjalan ke dapur. Apa maksudnya ini? Ia menutup pintu dan menyusul gadis itu ke dapur. Mia meletakkan kantong belanjaannya di meja dapur dan mulai mengeluarkan barang-barang dari kantong.


"Apa ini ?" tanya Alex bingung. Mia Clark menatapnya dan tersenyum kecil. "Karena tidak ada apa pun di dapurmu, aku memutuskan pergi membeli sedikit persediaan makanan," jelasnya. "Tadi aku sempat mengetuk pintu kamarmu untuk memberitahumu, tapi kau tidak menjawab. Kupikir kau sedang beristirahat dan aku tidak ingin menganggu, jadi kuputuskan untuk langsung pergi saja."

"Lalu bagaimana caranya kau bisa membuka pintu di bawah? Kau membawa kunciku?" tanya Alex dengan kening berkerut.

"Tentu saja tidak," sahut gadis itu cepat dan terlihat agak jengkel. Lalu ia menggumankan sesuatu dengan nada rendah dan tidak terdengar oleh Alex.


Alex menyipitkan mata. "Apa katamu?"

"Pintu di bawah terbuka lebar," sahut gadis itu, tapi Alex yakin sekali bukan itu yang digumankannya tadi. "Jadi aku langsung masuk."


Alex diam sejenak, lalu berkata datar, "Kuharap kau sudah menutup kembali pintunya."


"Tentu saja." Gadis itu tersenyum sekilas, lalu kembali meneruskan kesibukannya mengeluarkan barang-barang belanjaannya dari dalam kantong.

"Apa yang kau beli?" tanya Alex.

"Makanan sehat," sahut Mia tanpa mendongak. "Jadi kau mau pasta untuk makan siang? Atau kau sudah kenyang makan sandwich?"


Alex terkejur mendengar bahwa gadis itu tahu ia telah menghabiskan sandwich tadi, tetapi ia berhasil menjaga raut wajahnya tetap datar dan acuh tak acuh. "Sandiwch saja tidak bisa membuatku kenyang," katanya. "Pastikan saja pastamu itu bisa dimakan."


Mia mendengus pelan, tetapi tidak berkata apa-apa. Alex menatap barang-barang belanjaan Mia dengan keningberkerut dan bertanya, "Apakah aku harus membayar untuk semua ini?"


"Tidak," sahut Mia sambil memasukkan bahan-bahan makanan ke dalam kulkas dan lemari. "Bagaimanapun, aku harus membayar ganti rugi padamu, bukan? Jadi anggap saja ini semacam ganti rugiku padamu."


Alex mengangguk. "Bagus."


"Omong-omong, kau tidak ingin pergi ke mana-mana hari ini?" tanya Mia.


"Pergi ke mana?"


Mia mengangkat bahu. "Entahlah. Maksudku, kalau kau bosan di rumah terus dan ingin pergi ke suatu tempat—pergi menemui temanmu, misalnya, atau ke mana pun—aku bisa mengantarmu."


"Kenapa kau ingin mengusirku dari rumahku sendiri?"


Mia Clark berhenti menyusun barang belanjaannya dan menoleh menatap Alex dengan kesal. Ia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi dengan cepat mengurungkan niatnya. Akhirnya gadis itu berkata, "Lupakan saja. Aku juga tidak tahu kenapa aku bertanya." Lalu ia menggerutu pelan dan Alex hanya bisa menangkap kata "bodoh" dan "gila".


Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel. Mia meninggalkan pekerjaannya bergegas menghampiri tas tangannya dan mengeluarkan ponselnya yang berdering-dering. Ia menatap layar ponsel sebelum menekan tombol "jawab" dan menempelkan ponsel ke telinga.


"Ya, Ray?"


Alex mengangkat alis. Ternyata adiknya.


"Aku?" Mia melirik Alex sekilas. "Aku ada di rumah kakakmu sekarang."


Saat itu Alex baru ingat bahwa ia belum memberitahu Ray bahwa gadis yang dikejar-kejarnya kini menjadi pengurus rumah Alex. Alex ingin tahu bagaimana reaksi Ray bila tahu soal ini.


"Membantunya," kata Mia lagi di telepon, sepertinya sedang menjelaskan keberadaannya di apartemen Alex kepada Ray. "Karena sepertinya dia memang sangat membutuhkannya."


Alex menggeleng membantah, namun Mia mengabaikannya dan memalingkan wajah.


"Aku baik-baik saja. Ya. Tidak, kau tidak perlu datang," lanjut Mia. Lalu ia terdiam dan alisnya terangkat heran. "Apa? Kau sudah ada di sini?"


Alex dan Mia serentak menoleh ketika bel pintu berbunyi. Lagi-lagi bel pintu.


Mia berjalan keluar dari dapur dan pergi membuka pintu. Alex tidak menyusulnya. Ia duduk di salah satu bangku tinggi di dapur dan memeriksa barang-barang yang dibeli gadis itu. Roti gandum, mentega, susu, buah-buahan, sayuran hijau, daging, jamur...


"Hai, Ray. Apa kabar?" Ia mendengar suara Mia yang riang menyapa Ray. Lalu, "Kau sudah makan siang? Belum? Aku akan membuat pasta. Kau mau?"


Alex menoleh ketika Mia dan adiknya muncul di dapur. Ray mentapanya dengan tatapan heran bercampur waswas.


"Bagaimana kau bisa membuka pintu di bawah?" tanya Alex pada adiknya. Sungguh, keamanan gedung ini perlu dipertanyakan kalau semua orang bisa masuk begitu saja.


"Sepertinya ada orang yang sedang pindah rumah. Pintu di bawah terbuka lebar," sahut Ray dan menempati bangku tinggi di damping Alex. Ia menoleh menatap Mia, yang sudah kembali sibuk dengan barang-barang belanjaannya tadi, dan kembali menatap Alex. "Jadi kenapa Mia ada di sini?"


"Aku tidak memaksanya, kalau itu yang sebenarnya ingin kautanyakan," sahut Alex dengan ekspresi tidak berdosa.


"Aku sendiri yang menawarkan bantuan, Ray," Mia membenarkan.


"Kau dengar, bukan?" tanya Alex pada Ray denga nada puas. "Dia sendiri yang memaksa ingin menjadi tangan kiriku, ingin membantuku bersih-bersih, ingin menyiram tanamanku kalau aku punya tanaman, dan ingin memberi makan anjing dan kucing." 


"Ya, begitulah," Mia membenarkan sekali lagi.


"Tapi bagaimana dengan jadwal mengajarmu? Tidak terganggu?" tanya Ray kepada Mia yang sedang mengisi panci dengan air.


"Sama sekali tidak," sahut Mia tanpa menoleh. "Aku sudah melepas beberapa kelasku, jadi jadwal mengajarku tidak terlalu padat lagi sekarang."


"Oh, ya? Kenapa ?" Alex mendengar Ray bertanya dengan nada heran, seolah-olah Mia tidak boleh mengurangi jadwal mengajarnya.


"Tidak kenapa-kenapa." Mia menganggat bahu. "Kurasa aku hanya ingin punya waktu untuk menari lagi sendiri. Tidak hanya mengajar."


"Jadi kau berencana mengambil kelas menari lagi?" tanya Ray.


Sekali lagi Mia mengangkat bahu. "Mungkin," katanya sambil tersenyum.


Tepat pada saat itu bel pintu berbunyi lagi dan Alex mengerutu, "Apa lagi sekarang?"


"Akan kulihat siapa itu," kata Ray kepada Mia sambil turun dari bangku tinggi yang didudukinya.


"Tidak apa-apa. Biar aku saja. Membuka pintu adalah salah satu tugasku di sini," kata Mia sambil beejalan keluar dari dapur dan pergi melihat siapa yang membunyikan bel.


Setelah Mia pergi, Ray menoleh menatap Alex. "Kuharap kau memperlakukan Mia dengan baik," katanya sambil tersenyum kecil.


"Dia masih di sini. Belum berlari terbirit-birit," kata Alex acuh tak acuh. "Tapi kau boleh membawanya pergi dan membuat hidupku lebih tenang. Aku selalu merasa dia akan mematahkan tanganku yang lain."


Ray terkekeh. "Kurasa aku tidak akan bisa membujuknya melupakan niatnya membantumu. Dia merasa sangat bersalah dan dia hanya ingin melakukan sesuatu untuk membantu," katanya. Lalu ia menatap tangan Alex. "Bagaimana tanganmu?"


"Kau bisa lihat sendiri. Masih cacat." Lalu Alex teringat sesuatu dan bertanya, "Kau tidak memberitahu Mom dan Dad soal ini, bukan?" Ray menggeleng. "Tentu saja tidak. Aku tidak ingin membuat mereka jantungan di tengah-tengah liburan."


"Bagus," guman Alex. Saat ini kedua orangtuanya sedang menikmati liburan tahunan mereka di Jepang dan ia tidak ingin mereka mempersingkat liburan hanya gara-gara dirinya.

"Oh, Karl." Alex mendengar suara Mia menyapa manajernya di pintu. "Alex ada di dapur bersama Ray. Omong-omong, kau sudah makan siang?"

"Karl? Kenapa dia datang?" guman Alex. Dan ia mengulangi pertanyaannya kepada Karl ketika laki-laki itu masuk ke dapur bersama Mia.

"Aku? Aku datang karena aku tahu aku bisa menemukan Mia di sini." Karl tersenyum lebar, menunjukan deretan giginya yang putih dan rapi. "Hai, Ray. Apa kabar?"

Alex melirik Ray yang menatap Karl lurus-lurus.

"Kau sudah mengenal Mia? Kapan?" tanya Ray dengan nada tajam bercampur heran.

"Kemarin," sahut Kkarl ringan, sama sekali tidak menyadari kenyataan bahwa Ray kini tidak lagi memandangnya sebagai teman, tetapi saingan.


Alex yakin Ray tahu bahwa Karl selalu ramah pada wanita mana pun, karena adiknya sering menggoda Karl tentang hal itu. Tetapi ketika wanita yang menjadi sasaran perhatian Karl adalah Mia Clark, sepertinya Ray tidak lagi menganggap semua itu lucu.


"Dia membuat kopi yang enak sekali kemarin. Bukankah begitu, Mia?" kata Karl sambil duduk di bangku tinggi terakhir di samping Ray dan tersenyum kepada Mia.


Mia tertawa. "Harus kukatakan bahwa kau bukan orang pertama yang jatuh dalam pesona kopiku."

"Aku jadi penasaran seperti apa rasanya," kata Ray dengan kening berkerut.

"Rasanya susah dijelaskan," kata Karl walaupun Ray tidak bertanya langsung padanya. "Tanya saja pada Alex. Dia juga mencobanya kemarin. Kopi buatan Mia enak sekali, bukan, Alex?"

"Biasa saja," sahut Alex datar. "Itu merek kopi yang selalu kubeli. Dan itu merek kopi yang sama yang kauminum setiap kali kau datang ke sini. Tidak ada bedanya."

"Oh, ya? Kupikir itu kopi yang berbeda. Karena rasanya tidak pernah seenak itu kalau aku membuatnya sendiri. Atau kalau aku membuatnya sendiri. Atau kalau kau yang membuatnya," kata Karl.

"Bagiku sama saja," kata Alex.

"Aku tetap ingin mencobanya," kata Ray


Mia menatap ketiga laki-laki yang duduk bersebelahan itu bergantian, lalu berkata," Aku bisa membuatkan kopi untuk kalian setelah makan siang, kalau kalian mau."


Ray dan Karl mengiyakan. Alex memilih untuk tidak berkomentar.

Mia tersenyum. Ia menatap Karl dan berkata, "Bukankah tadi kau bilang ada yang ingin kaubicarakan dengan Alex?"

Alex menoleh ke arah manajernya. "Kenapa? Ada masalah?"

Karl menggeleng. "Tidak. Tidak ada masalah. Kau tahu benar tidak ada yang tidak bisa kuatasi. Aku hanya ingin mengabarkan perkembangannya kepadamu.Oh, dan ada yang ingin kutanyakan tentang jadwal kerjamu akhir tahunini."


Sebelum Alex sempat menjawab,Mia menyela, "Bagaimana kalau kalian mengobrol di ruang duduk saja sementara aku menyiapkan makan siang?"


"Kenapa kau berusaha mengusirku dari dapurku sendiri?" tanya Alex sambil menyipitkan mata.

Mia memutar bola mata dan balas bertanya, "Memangnya kau lebih suka mengobrol di sini? Kukira kau lebih suka jauh-jauh dariku.


Alex mengangguk. "Kau benar. Sebaiknya aku memang jauh-jauh darimu," katanya sambil turun dari bangku tingginya.

"Panggil saja kalau kau butuh bantuan, Mia," kata Karl sebelum turun juga dari bangkunya.

"Kau yakin tidak butuh bantuan?" tanya Ray kepada Mia.

"Tidak, terima kasih ," kata Mia sambil tersenyum menenangkan. "Aku bisa mengatasinya."

Alex menatap adik dan manajernya bergantian, lalu mendesah dalam hati. Ada apa sebenarnya dengan mereka berdua dan gadis ini? Apakah sebaiknya ia memberitahu Karl bahwa Ray tertarik pada Mia Clark dan meminta Karl tidak macam-macam?

Tidak. Mereka berdua sudah dewasa dan Alex akan membiarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri. Itu juga kalau memang ada masalah. Ia tidak akan ikut campur dalam sesuatu yang tidak menyangkut dirinya.

Alex tidak mengerti apa yang membuat Ray dan Karl tertarik pada gadis itu. Terutama Karl baru bertemu Mia Clark kemarin. Apakah karena kopi yang dibuat gadis itu?

Mia Clark memang bisa membuat kopi yang sangat enak. Alex tidak tahu bagaimana gadis itu melakukannya, tetapi terkutuklah ia jika sampai bertanya kepada gadis itu atau mengakui bahwa kopinya enak.

Dan Alex juga sudah pasti tidak akan pernah mengakui bahwa ia akan membiarkan gadis itu datang ke apartemennya dan membahayakan keslamatan dirinya—bagaimanapun juga Alex masih merasa gadis itu malaikat kegelapannya asal gadis itu tetap membuatkan kopi untuknya setiap pagi.

Bab 7

MIA membalas lambaian murid-muridnya yang keluar dari ruang kelas. Setelah murid terakhirnya keluar dari ruangan dan menutup pintu, Mia mengeluarkan sekeping CD dari tasnya dan memasukkannya ke dalam player. Ia menekan tombol play, lalu berjalan ke tengah-tengah ruangan dan berdiri menghadap bayangan dirinya di cermin besar yang memenuhi dinding. Beberapa detik kemudian lagu L'Aura, Una Favola, mulai mengalun dan Mia pun mulai bergerak mengikuti irama.

Saat-saat paling membahagiakan bagi Mia adalah ketika ia menari. Ia bisa melupakan segalanya, bahkan siapa dan apa dirinya, selama lagu masih mengalun dan tubuhnya masih bergerak.

Ketika lagu berakhir, Mia mendengar tepuk tangan dari arah pintu. Mia menoleh dan melihat Lucy berdiri di sana.

"Mendengarkan lagu tadi dan melihat tarianmu... astaga, indah sekali," desah Lucy sambil menggeleng-geleng kagum. "Itu arabesque penchée, grand jeté, dan piroutte paling sempurna yang pernah kulihat. Tapi, apa lagi yang bisa diharapkan dari lulusan Juilliard selain kesempurnaan?"


Mia tersenyum. "Kau terlalu berlebihan," katanya. "Tapi terima kasih."


The Juilliard School, atau yang lebih di kenal dengan Juilliard, adalah salah satu sekolah seni pertunjukan paling bergengsi di dunia. Divisi tarinya sangat terkenal di dunia tari-menari karena kualitas pendidikan dan pelatihan artistiknya yang sangat baik.


Ketika Mia masih kecil, ibunya pernah mengajaknya menonton pertunjukan tari oleh kelompok penari dari Juilliard. Pengalaman itu sangat berkesan bagi Mia dan sejak saat itu impian terbesar Mia adalah belajar menari di Juilliard. Awalnya, Mia sangat ragu ia bisa diterima, mengingat di antara ribuan orang yang mendaftar masuk ke sekolah itu, setiap tahunnya hanya 5-7 persen pendaftar yang diterima.


Namun Mia berhasil. Ia diterima. Dan hari ketika ia menerima surat dari Juilliard yang menyatakan bahwa ia diterima adalah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Dan tahun-tahunnya menari di Juilliard adalah tahun-tahun terbaik dalam hidupnya.


Di Juilliard, semua penari, termasuk Mia, mendapat pelatihan balet klasik dan tari modern, karena Juilliard Dance ingin menciptakan penari-penari kontemporer sejati. Para lulusan Juilliard biasanya bergabung dengan kelompok-kelompok balet dan tari modern di seluruh Amerika Serikat dan bahkan di luar negeri. Banyak yang menjadi direktur kelompok tari ternama. Banyak juga yang meniti karir sebagai koreografi dan meraih sukses.


Bahkan sebelum lulus dari Juilliard, Mia sudah mendapat tawaran untuk bergabung dengan salah satu kelompok tari terkenal. Tetapi sayangnya, kenyataan tidak berjalan sesuai impian.


Mia duduk di lantai dan meraih botol minumannya. "Kau masih ingin mencoba mengikuti audisi Juilliard?" tanyanya pada Lucy.

"Tentu saja," sahut Lucy sambil duduk di samping Mia. "Aku tidak akan menyerah hanya gara-gara ditolak dua kali."


Lucy sebenarnya adalah penari yang sangat baik, tetapi Juilliard memang terkenal memiliki standar tinggi. Entahlah, Mia juga tidak mengerti apa yang mereka cari dalam diri seorang penari ketika audisi. Teknik yang sempurna? Potensi? Bakat? Entahlah.


"Omong-omong, aku mau menonton pertunjukan di Broadway malam ini. Mau ikut?" tanya Lucy.

Mia meringis. "Maaf, aku tidak bisa," katanya sambil tersenyum menyesal.


"Ah, kau harus ke tempat kakak Ray?" kata Lucy.


Mia mengangguk.


"Jadi bagaimana keadaanya sekarang?"

"Biasa saja," sahut Mia pendek sambil mengangkat bahu.

"Dia masih marah padamu?"

"Entahlah. Tapi kurasa masih," lanjut Mia ragu. "Dia memang sudah tidak terlalu sinis padaku, tapi dia juga tidak bersikap ramah padaku."


Sudah dua minggu berlalu sejak Mia memutuskan membantu Alex Hirano. Selama dua minggu terakhir ini ia menghabiskan sebagian besar waktunya di apartemen Alex, melakukan tugas-tugasnya sebagai "pengurus rumah", seperti istilah laki-laki itu. Namun selama itu ia jarang berbicara dengan Alex Hirano. Laki-laki itu lebih sering menghabiskan waktunya di kamar saat Mia ada di sana. Ia hanya keluar untuk mengambil kopi dan makan. Kadang-kadang Karl datang berkunjung dan mereka berdua akan membahas masalah pekerjaan. Kalau Karl dan Alex harus pergi menemui seseorang Mia diizinkan pulang.

 "Bagaimana dengan Ray?" tanya Lucy.

"Dia sering datang ke apartemen kakaknya untuk melihat keadaanku. Katanya, dia ingin memastikan kakaknya memperlakukanku dengan baik," kata Mia sambil tersenyum.


"Dia selalu baik padamu," kata Lucy.


Senyum Mia perlahan-lahan memudar, kilatan di matanya merdup dan ia berguman pelan, "Padahal kuharap dia tidak bersikap sebaik itu padaku."


*****


 Mia menekan bel interkom dan menunggu Alex Hirano membukakan pintu dari atas, seperti biasa. Tetapi kali ini suara laki-laki itu terdengar dari interkom. "Clark?"


"Ya, ini aku," sahut Mia.


"Kau bawa mobil?"


"Ya. Kenapa?"


"Tunggu di sana."


Mia tidak tahu apa yang diinginkan Alex Hirano, jadi ia menuruti laki-laki itu. Ia duduk di tangga batu di depan gedung dan nenunggu. Sementara ia menunggu, ponselnya berbunyi.


"Hai, Billy," kata Mia riang setelah menempelkan ponsel ke telinga.


"Ya, Lucy tadi mengajakku tapi aku tidak bisa ikut hari ini. Maaf... Aku tahu... Apa? Benarkah?" Ia tertawa. "Aku tidak pernah menyangka dia..."


Tiba-tiba terdengar suara berdehem di belakangnya. Mia berbalik dan nendongak menatap Alex Hirano yang balas menatapnya dengan kening berkerut.


"Billy, aku harus pergi sekarang... Tentu, kau boleh menelponku lagi nanti." Mia menutup ponsel, lalu berdiri dan menepuk-nepuk bagian belakang celana jinsnya. "Jadi ada apa?" tanyanya pada Alex.


Alex terlihat enggan, tetapi ia berkata, "Antarkan aku ke rumah sakit."


Mata Mia melebar kaget. "Kenapa? Ada yang salah dengan tanganmu?"


Alex menatapnya dengan kening berkerut. "Tidak. Aku hanya ingin dokter memeriksanya dan mengganti perbannya."


"Oh."


"Karl sedang rapat, jadi dia tidak bisa mengantarku," lanjut Alex. 


"Dan Ray sudah berangkat ke San Fransisco untuk menghadiri festival hip-hop," tambah Mia sambil mengangguk.


"Jadi pilihannya hanya taksi atau kau," kata Alex. Ia menatap Mia sejenak dengan ragu. "Mungkin sebaiknya aku memanggil taksi saja."

Mia memutar bola matanya. "Sudahlah. Aku akan mengantarmu ke rumah sakit," katanya sambil menuruni tangga batu dan berjalan ke arah mobilnya yang diparkir tidak jauh dari sana. Alex mengikutinya dari belakang.


Mia membuka pintu penumpang dan berkata, "Masuklah."

Alex menatap mobil Mia dengan tatapan tidak percaya. "Ini mobilmu? Bettle?"

"Ya. Kenapa?"

"Aku tidak bisa naik mobil ini."


Mia menganggkat alis. "Kenapa tidak?"


Alex menunjuk mobil Mia dengan tangan kananya yang tidak dibebat. "Tidak ada laki-laki yang mau tetlihat menaiki mobil ini. Dan warnanya kuning!"


Mia menatap mobilnya, lalu menoleh menatap Alex. "Mobil ini imut," katanya membela diri.


"Itulah masalahnya," gerutu Alex.


"Lalu kau mau kita memakai mobilmu? Boleh saja. Aku tidak keberatan."


"Dan mengambil resiko kau menghancurkan Lexus-ku? Tidak mungkin."


"Kalau begitu..." Mia tidak menyelesaikan kalimatnya, hanya mengayunkan tangan ke arah mobilnya penuh arti. "Lagi pula, bukan kau yang mengengemudi, tapi aku. Jadi masuk saja. Oke?"


Alex masih menggerutu ketika ia masuk ke dalam mobil yang menurutnya terlalu kecil dan sempit baginya. "Kurasa kakiku bisa kram," gumamnya.


"Tidak akan kram," kata Mia datar. "Tunggu, jangan duduki jaketku."


Mia menarik jaketnya dari kursi penumpang dan melemparkannya ke kursi belakang. Tetapi Alex sempat melihat tulisan yang dijahit dengan benang putih di bagian dada jaket tipis itu.


"Juilliard?" tanya Alex dengan nada tidak percaya. "Kau benar-benar lulusan Juilliard atau seseorang memberikan jaket itu padamu?"


"Lulusan Juilliard bukan hanya kau, kau tahu?" balas Mia sambil memasang sabuk pengaman. Lalu ia nenoleh ke arah Alex yang masih menatapnya dengan heran. "Tolong pasang sabuk pengamanmu."


"Jadi kau memang lulusan Juilliard?" guman Alex sambil memasang sabuk pengaman, lalu tertegun. "Tapi bagaimana kau bisa tahu aku lulusan Juilliard?"


Mia melirik kaca spion dan melajukan mobilnya dijalan. "Ray pernah mengatakannya padaku."


"Kurasa adikku memang banyak mulut," gerutu Alex. "Apa lagi yang dikatakannya?"


"Tidak banyak," sahut Mia. Namun, melihat senyum kecil yang tersinggung di wajah gadis itu, Alex merada Ray pasti sudah bercerita lebih banyak kepada Mia Clark demi mendapatkan perhatian gadis itu.


"Ray tidak pernah bilang kau lulusan Juilliard," kata Alex.


"Itu karena dia tidak tahu," sahut Mia ringan.


"Ray tidak tahu? Kenapa tidak?"


"Dia tidak pernah bertanya."


Alex melirik gadis yang mengemudi di sampingnya. Kelihatannya Ray memang sudah banyak bercerita tentang dirinya sendiri—dan bahkan keluarganya—kepada gadis itu, tetapi Alex bertanya-tanya seberapa banyak yang benar-benar diketahui Ray tentang Mia Clark?


*****


Alex keluar dari ruang pemeriksaan dengan perban baru dan pernyataan dokter bahwa tangannya tidak akan sembuh secara ajaib dalam waktu dua minggu jadi ia harus bersabar. Bersabar? Bagaimana ia bisa bersabar kalau setiap kali ia melihat tangannya yang tergantung tidak berdaya ini ia merasa ingin menghancurkan sesuatu?


Alex mengembuskan napas kesal dan menoleh ke arah deretan kursi tunggu di depan ruang pemeriksaan. Di mana gadis itu? Katanya dia akan menunggu di kursi tunggu, tapi kenapa tidak ada? Alex memandang berkeliling, lalu matanya tertuju pada sosok Mia Clark yang berdiri di dekat meja perawat dan sedang berbicara dengan dokter pria setengah baya berkacamata.


Si dokter terlihat seperti menanyakan sesuatu kepadanya dan Mia menjawabnya sambil tersenyum. Saat itu gadis itu menoleh dan melihat Alex. Matanya melebar sedikit, lalu ia kembali menoleh ke arah si dokter dan mengatakan sesuatu, mungkin mengatakan bahwa ia harus pergi sekarang. Ketika Mia hendak berbalik, si dokter menahannya danmengatakan sesuatu lagi. Kemudian Alex melihat Mia menyentuh lengan si dokter, tersenyum kepadanya dan balas mengatakan sesuatu. Si dokter akhirnya menghela napas dan mengangguk. Ia sempat menatap Alex sejenak sebelum berbalik pergi.


"Apa kata dokter?" tanya Mia ketika sudah berada di hadapan Alex.

Alex tidak bertanya apa yang dibicarakan gadis itu dengan dokter tadi, karena menurutnya itu sama sekali bukan urusannya. Jadi ia menjawab, "Belum ada perubahan berarti."

"Kau akan baik-baik saja," hibur Mia.

"Mudah bagimu mengatakannya," gerutu Alex.

Mia mengabaikannya dan bertanya, "Sekarang kau mau pergi ke mana? Pulang?"


Alex terdiam sejenak. Ketika ia membicarakan Juilliard dengan gadis itu, tiba-tiba saja merasa ingin mengunjungi guru pianonya. Sudah lama sekali sejak ia terakhir kali bertemu guru yang banyak membimbingnya dulu. Namun selama ini Alex jarang memiliki waktu luang di antara jadwal kerja dan jadwal latihannua yang padat. Sekarang berbeda. Sekarang karena praktis sudah menjadi orang cacat dan pengangguran, ia memiliki seluruh waktu di dunia untuk melakukan hal-hal yang dulu tidak sempat dilakukannya. Seperti mengunjungi guru-guru dan teman-temannya.

"Aku ingin mengunjungi guruku," putus Alex.

"Di mana rumahnya?" tanya Mia sambil mengeluarkan kunci mobil dari tasnya.

"Saat seperti ini dia pasti masih ada di sekolah," sahut Alex. "Kita ke Lincoln Center."

"Lincoln Center? Maksudmu kau mau pergi ke Juilliard?

"Ya."

"Kau tahu, susah sekali mencari tempat parkir di sana."

"Itu urusanmu. Kau cukup menurunkanku di pintu depan lalu kau bisa mencari tempat parkir sendiri. Aku akan menelponmu kalau aku sudah selesai. Berapa nomor teleponmu?"


*****

Mengobrol tentang musik dan hal-hal menyenangkan lainnya dengan orang-orang yang menyenangkan memang membuat waktu cepat berlalu. Tanpa terasa Alex telah mengobrol dengan guru-gurunya selama tiga jam lebih, mengenang masa lalu dan bercerita tentang kabar masing-masing. Seharusnya ia lebih sering melakukan hal-hal seperti ini dulu, mengambil sedikit waktu luang untuk bersantai dan tidak melulu memikirkan pekerjaan.


Senang sekali bertemu denganmu lagi, Alex," kata salah seorang gurunya yang sudah tua, Mr. Phillips, ketika Alex pamit dan berkata bahwa sebaiknya ia tidak menganggu gurunya lebih lama lagi. "Datanglah lagi kapan-kapan dan mengobrol denganku. Atau kalau tanganmu sudah sembuh, kau bisa datang ke sini dan menunjukan kemampuanmu kepada murid-murid di sini. Mereka pasti sangat senang apabila Alex Hirano menjadi instruktur mereka walau hanya sehari."

Alex tertawa. "Tentu saja, Mr. Phillips. Terima kasih."


Setelah keluar dari ruangan gurunya, Alex mengeluarkan ponsel dan menelpon Mia Clark. Tetapi gadis itu tidak mengangkat telepon. Alex mencoba sekali lagi. Gadis itu tetap tidak mengangkat telepon.


Nah, ada di mana dia sekarang? tanya Alex dalam hati. Kenapa tidak mengangkat telepon? Alex memasukkan ponselnya kembali ke saku celana jinsnya. Tadi gadis itu berkata bahwa ia juga ingin menemui beberapa orang sementara Alex menemui gurunya. Mungkin gadis itu ada di studio tari di lantai tiga. Karena ia sedang tidak terburu-buru dan karena suasana hatinya juga sedang sangat baik setelah melewatkan siang yang menyenangkan bersama gurunya, Alex memutuskan untuk berkeliling melihat-lihat gedung yang sudah lama ditinggalkannya sambil mencari Mia Clark. Lagi pula, ia belum pernah melihat-lihat divisi tari Juilliard. Dan siapa tahu ia bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya.


Gadis itu tidak ada di studio tari di lantai tiga. Tetapi salah seorang penari berwajah manis yang ditemui Alex di sana berkata, "Penari-penari senior sedang berlatih di teater untuk pertunjukan bulan depan. Mungkin orang yang kaucari ada di sana."


Alex tahu teater yang dimaksud. Setelah mengucapkan terima kasih, Alex berjalan ke sana. Teater luas dan megah dengan kapasitas 993 penonton itu biasanya digunakan untuk pertunjukan-pertunjukan para murid Juilliard. Alex sendiri pernah tampil di sini beberapa kali. Ia mendorong pintu dengan hati-hati dan alunan musik yang lembut langsung terdengar. Alex melongokkan kepala ke balik pintu dan teater itu nyaris kosong selain belasan penari pria dan wanita yang sedang berlatih di panggung di bawah sana. Alex menyelinap masuk dan berdiri di deretan kursi penonton paling belakang. Ia mencoba mencari gadis itu di antara para penari. Tetapi karena posisinya terlalu jauh, ia pun menuruni anak tangga dan berjalan lebih dekat ke arah panggung untuk melihat lebih jelas. Matanya menatap penari-penari itu satu per satu, tetapi gadis itu tidak terlihat. Alex mengembuskan napas kesal dan baru hendak berbalik pergi ketika alunan musik mendadak berhenti.


"Oke, istirahat sepuluh menit," seru seorang wanita yang memiliki suara menggelegar dari barisan pertama kursi penonton. Alex mendapati dirinya bertanya-tanya apakah semua instruktur tari memiliki suara sekeras itu.


Alex sudah berjalan menaiki tangga ketika wanita dengan suara menggelegar itu kembali berkata, "Dan aku ingin kalian berkenalan dengan Mia Clark."


Langkah Alex terhenti dan ia berbalik.

"Dia salah seorang penari terbaikku ketika masih di sini. Kulihat beberapa di antara kalian sudah pernah mendengar namanya."

Alex melihat sosok Mia Clark berdiri di damping wanita bersuara keras itu. Sepertinya Mia Clark sudah berganti pakaian dan mengenakan jaket tipis untuk menari berwarna hitam, yang hampir diduduki Alex di mobil tadi.

"Karena kebetulan dia datang berkunjung ke sini, aku berhasil membujuknya untuk menunjukan beberapa gerakan kepada kita," lanjut wanita itu lagi. " Kalian bisa belajar banyak belajar darinya. Jadi perhatikan dan pelajari."


Semua penari yang berada di panggung duduk bersila di tepi panggung dan mengamati Mia dngan tatapan kagum. Alex mendapati dirinya kembali menuruni tangga kederetan tengah kursi penonton dan duduk di sana. Ia penasaran. Sebenarnya rasa penasarannya sudah timbul sejak ia tahu Mia Clark lulusan Juilliard. Sekarang rasa penasarannya bertambah setelah mendengar pujian yang dilontarkan instruktur tari tadi.


Mia menyerahkan sesuatu kepada si instruktur, yang menyerahkan apa pun itu kepada seorang pria di sisi panggung. CD? Entahlah, Alex tidak bisa melihat dengan jelas. Lalu Mia naik ke atas panggung dengan kaki telanjang dan itulah pertama kalinya Alex melihat Mia Clark dalam pakaian menarinya. Jaket ketat lengan panjang dan celana pendek ketat seperti yang dikenakan kebanyakan penari lain.


Di atas panggung, beberapa orang penari melambaikan tangan dan nengatakan sesuatu kepada Mia. Mia membalas lambaian mereka dan balas mengatakan sesuatu sambil tertawa. Setelah itu ia mengambil posisi di tengah-tengah panggung. Dan musik pun mulai mengalun di seluruh penjuru teater.


Alex langsung mengenali lagu itu. Una Favola.


Begitu nada pertama terdengar, Mia Clark mulai bergerak mengikuti alunan lagu. Gerakannya halus, namun terkendali. Ayunan tangan dan kakinya anggun, namun juga kuat. Seluruh tubuhnya bergerak. Seluruh tubuhnya menari. Dari ujung jari tangan sampai ujung jari kakinya. Bahkan raut wajahnya berubah mengikuti emosi tariannya.


Teknik Mia Clark tanpa celah. Ia melompat tinggi seolah-olah melayang, ia berputar tanpa goyah sedikit pun. Singkatnya, itu tarian yang indah. Alex belum pernah melihat seseorang menari seperti itu. Ia bisa merasakan kisah yang ingin diceritakan Mia Clark melalui tarian itu. Ia bisa merasakan emosi gadis itu. Jiwanya. Hatinya.


Seperti semua orang yang ada di teater itu, Alex tidak bisa mengalihkan tatapannya dari gadis yang sedang menari di atas panggung. Gerakan gadis itu seolah-olah memiliki kekuatan yang menyihir semua orang yang melihatnya. Membuat semua orang terpaku.


Ketika alunan lagu berhenti dan geraka Mia Clark berhenti, selama beberapa detik tidak terdengar apa pun di teater itu. Segalanya hening. Lalu, seolah-olah baru tersadar dari mimpi, semua orang mulai bertepuk tangan dan bersorak.


Alex masih menatap sosok Mia di atas panggung, yang kini dikerumuni para penari lain. Mia terlihat agak terengah -engah, tetapi ia tersenyum lebar kepada kepada orang-orang yang mengelilinginya.

Lulusan Juilliard memang pasti bisa menari dengan indah. Dan Mia Clark menari dengan sempurna. Terlihat jelas sekali bahwa ia menari dengan seluruh jiwa dan raganya. Ia berhasil membuat Alex yakin bahwa ia memang penari yang sangat berbakat.


Namun ia juga membuat Alex bertanya-tanya. Seorang penari sehebat itu seharusnya bergabung dengan kelompok tari terkenal dan menari dalam pertunjukan-pertunjukan besar di seluruh dunia. Lalu kenapa Mia Clark memilih mengajar di studio tari kecil yang tidak terkenal?


Keterangan:1. arabesque penchée= posisi tubuh di mana penari berdiri dengan satu kaki dan kaki lain diangkat lurus kebelakang dengan sudut lebih dari 90° derajat sehingga tubuhnya condong ke depan untuk menyeimbangkan kaki belakang.2. grand jeté= lompatan panjang dan horizontal, diawali dengan satu kaki dan mendarat dengan kaki lain. Juga di kenal sebagai split di udara.3. piroutte= berputar dengan bertumpu pada satu kaki.

Bab 8

"OH, celaka!" Mia terkesiap kaget ketika mengeluarkan ponsel dari tasnya. Alex Hirano sudah mencoba menghubunginya berkali-kali, tetapi Mia tidak menyadarinya karena ponselnya berada di dalam tasnya yang ditinggalkan di kursi penonton. Ia bergegas mengenakan celana jins dan sepatu, lalu berpamitan kepada guru tarinya.


Laki-laki itu pasti marah besar, pikir Mia cemas dan cepat-cepat menelpon Alex Hirano. Mia berlari-lari kecil menyusuri koridor di antara deretan kursi penonton ke arah pintu keluar.


Pada deringan kedua, suara Alex Hirano pun terdengat di ujung sana. "Clark? Kenapa kau tidak menjawab teleponku?"


Mia mengernyit. "Maaf," katanya cepat. Aku tidak mendengar bunyi telepon."


"Apakah kau tahu sudah berapa lama aku menunggu?"


"Maaf," ulang Mia. "Kau ada di mana sekarang? Aku akan segeta ke sana."


"Berhenti," kata Alex Hirano tiba-tiba.


Mia otomatis berhenti melangkah walaupun ia tidak mengerti apa yang dimaksud laki-laki itu. "Apa?"


"Ya, berhenti seperti itu," kata Alex. "Sekarang berputar ke kiri."


Mia menuruti kata-kata Alex Hirano.


Dan mata Mia melebar kaget ketika melihat Alex Hirano duduk beberapa kursi jauhnya dari tempatnya berdiri. Laki-laki itu tersenyum kecil kepadanya sambil menurunkan ponsel dari telinga.


Mia mengerjap heran. Pertama, karena Alex Hirano tersenyum. Laki-laki itu belum pernah tersenyum kepadanya selama Mia mengenalnya. Alex memang sering tersenyum hambar dan sinis, tetapi itu tidak bisa dihitung sebagai "senyuman", bukan? Kedua, karena Alex Hirano ada di sana. Mia tidak tahu mana yang lebih mengherankan baginya.


"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Mia sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, seolah-olah mencari seseorang yang bisa menjelaskan kenapa Alex Hirano ada di sana, lalu kembali menatap laki-laki itu. "Sudah berapa lama kau di sini?"


Alex Hirano memasukkan ponselnya ke saku celana dan berkata ringan, "Omong-omong, kau sudah boleh menurunkan ponselmu."


Mia tersentak dan menyadari ponselnya masih ditempelkan ke telinga. Ia buru-buru memasukkannya kembali ke dalan tas. Ia baru ingin mengulangi pertanyaannya ketika Alex menyelanya.


"Jadi itu yang dinamakan tari kontemporer," gumam Alex sambil memandang ke arah panggung, tempat para penari sibuk berlatih.


Mia tidak tahu apakah Alex Hirano sedang membicarakannya atau para penari di panggung itu. Apakah laki-laki itu melihatnya menari tadi?


"Aku tidak menyangka kau mendengarkan lagu-lagu Italia," lanjut Alex sambil kembali menoleh ke arah Mia.


Oh ya, laki-laki itu sudah ada di sini ketika Mia menari tadi.


Mia mengangkat bahu dan membalas, "Aku bahkan tidak menyangka kau tahu lagu itu lagu Italia."


Alex Hirano menatap Mia dengan mata disipitkan, tetapi kali ini Mia tidak merasa ingin mundur teratur. Tatapan Alex kali ini bukan tatapan dingin dan bermusuhan. Dan omong-omong, Alex juga tidak marah-marah karena tidak bisa menghubungi Mia dan terpaksa harus menunggu. Mengherankan sekali.


"Aku ini musisi," sahut Alex dengan sebersit nada angkuh dalam suaranya. "Tentu saja aku tahu semua jenis lagu dan musik."


Mia ingin membalas bahwa bukan musisi saja yang perlu tahu tentang musik. Penari juga perlu. Tetapi saat itu Alex berdiri dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari deretan kursi penonton, jadi Mia mengurungkan niatnya dan menyingkir sedikit untuk memberi jalan.


Alex keluar dari teater dan Mia mengikutinya dari belakang. "Jadi kau sudah bertemu dengan gurumu?" tanya Mia berbasa-basi sambil mengenakan jaket luarnya.


Alex mengangguk. "Sudah."


"Gurumu masih ingat padamu?"


"Tentu saja," sahut Alex dengan nada tersinggung, seolah-olah semua orang di Juilliard pasti tahu siapa dirinya.


Mia tidak berkomentar.


Alex ragu sejenak, lalu akhirnya bertanya, "Yang tadi itu guru tarimu?"


Mia melirik Alex. Sungguh, laki-laki itu agak berbeda hari ini. Ia mengajaknya mengobrol, padahal biasanya ia hanya akan bicara dengan kalimat pendek dan seperlunya. Sepertinya suasana hati Alex Hirano sedang baik hari ini.


"Ya," sahut Mia singkat. "Salah satunya."


"Dia sangat memujimu tadi."


"Benarkah?" guman Mia sambil lalu. Alex menoleh menatapnya "Katanya kau salah satu penari terbaiknya."


"Oh ya?" Mia mengangkat bahu. "Banyak penari lain yang lebih baik dariku. Omong-omong, kau mau pergi ke mana sekarang? Pulang? Bagaimana kalau kau tunggu di pintu depan dan aku akan pergi mengambil mobil.. "

Alex menggeleng dan menyela, "Aku belum ingin pulang."

"Oh? Lalu kau mau pergi ke mana?" Alex berpikir sejenak. Lalu sekali lagi seulas senyum samar tersinggung di bibirnya dan ia berkata, "Toko musik."


*****

Mia mengenakan salah satu headphone yang tersedia dan mulai memilih lagu yang ingin didengarnya. Ini yang pertama kali dilakukannya setiap kali ia mengunjungi toko musik, memanfaatkan fasilitas mendengar lagu-lagu gratis sebelum memutuskan apa yang ingin dibelinya. Alex Hirano sudah pergi ke bagian musik klasik, jadi Mia bisa bersantai sendiri untuk sementara.


Sebenarnya suasana hati Alex Hirano yang sedang baik perlahan-lahan mencairkan ketegangan yang selalu Mia rasakan setiap kali berada di dekat laki-laki itu. Tidak, mereka belum bisa di sebut teman, tetapi setidaknya untuk saat ini Alex Hirano sepertinya tidak membenci Mia karena membuat tangannya cedera. Itu kemajuan yang berarti. Kalau mengobrol beberapa jam dengan guru pianonya bisa membuat Alex Hirano berubah sedikit lebih menyenangkan seperti ini, Mia bersedia mengantarnya menemui gurunya setiap hari.


Mia tidak tahu sudah berapa lama ia berdiri di sana dan mendengarkan lagu, tetapi ia sama sekali tidak menyadari Alex Hirano sudah berdiri di sampingnya sampai tanpa sengaja menoleh dan melihat laki- laki itu. Mia tersentak danmelepaskan headphone. "Kau sudah selesai?" tanyanya sambil melirik beberapa keping CD yang ada di tangan kanan laki-laki itu.


"Apa yang sedang kaudengarkan?" Alex balas bertanya. Ia memperhatikan CD yang terlihat berputar di dalam kotak kaca. "L'Aura?"


Mia mengangguk. "Irraggiungibile," katanya, menyebutkan judul lagu yang sedang didengarnya.


"Kalau kau suka lagu Italia..." Alex memperhatikan deretan CD yang tersedia untuk didengarkan. "Kau sudah pernah mendengar lagunya Elisa?"


"Dancing?" tanya Mia.


"Selain itu?" kata Alex.


Mia menggeleng.


"Kalau begitu, coba dengarkan yang ini," kata Alex sambil menekan tombol untuk menjalankan CD yang dipilihnya. "Kenakan headphone-mu."


"Lagu apa ini?" tanya Mia dan mengenakan headphone-nya kembali.


"Eppure Sentire."


Mia tidak tahu apa artinya, tetapi judul itu terdengar bagus ketika Alex menyebutkannya. Mia memejamkan mata danmendengarkan alunan musik ditelinganya, lalu perlahan-lahan seulas senyum tersinggung dibibirnya. Lagu itu sangat lembut dan sangat bagus. Lagu itu berhasil menyusup ke dalam jiwanya, membuat bulu kuduknya meremang dan membuat dirinya seolah-olah melayang. Gerakan-gerakan tari mulai terbentuk secara otomatis dalam kepala Mia. Oh, lagu ini bagus! Ia bisa menari dengan lagu ini.


Setelah lagu berhenti, Mia mendongak dan tersenyum senang pada Alex. "Aku harus mencari lagu ini," katanya dengan penuh semangat dan mata berkilat-kilat. "Lagu ini sangat bagus. Kau memang genius. Terima kasih banyak."


Dan ia tersenyum lebar kepada Alex.


Alex tertegun, sadar bahwa itu senyum pertama yang dilemparkan Mia Clark kepadanya. Ia merasa aneh. Gadis itu memang sering tersenyum. Kepada Ray, kepada Karl, kepada semua orang. Tetapi tidak pernah kepada Alex. Tentu saja Alex tahu, itu karena ia sendiri tidak pernah memberi Mia alasan untuk tersenyum padanya. Kenapa harus? Kenapa kau ingin malaikat kegelapanmu tersenyum padamu?


Tetapi sekarang setelah melihat bagaimana gadis itu tersenyum kepadanya, Alex harus mengakui bahwa ia tidak pernah tahu ada malaikat kegelapan yang bisa tersenyum seperti itu.


Mia menoleh ke kiri dan ke kanan. "Aku harus mencari... Oh, halo. " Ia mencegat salah seorang pegawai toko musik yang kebetulan berjalan melewatinya. "Kuharap kau tidak keberatan membantuku," kata Mia sambil tersenyum.


"Tentu saja tidak," sahut pemuda jangkung yang mengenakan kaus bertuliskan nama toko musik itu sambil tersenyum lebar.


"Aku ingin mencari CD ini," kata Mia sambil menunjuk CD Elisa di dalam kotak kaca. "Di mana aku bisa menemukannya?"

"Ah, Elisa? Di sebelah sini. Ayo kuantar.

"Terima kasih. Kau baik sekali."

Mereka berdua pergi sambil bercakap-cakap, meninggalkan Alex sendiri. Alex mendesah dan menggeleng-geleng. Iamengenakkan headphone yang dilepaskan Mia tadi dan mulai mendengarkan lagu sementara menunggu.


Lima belas menit berlalu dan gadis itu belum kembali. Alex melepaskan headphone dan pergi mencari gadis itu. Ia berhasil menemukan gadis itu, tetapi bukan ditempat mereka memajang album Elisa seperti yang diduganya. Ia mendapati gadis itu sedang mengobrol dengan pegawai tadi di bagian CD instrumental.


Mia melihat ketika Alex mendekat. Mata gadis itu berkilat-kilat senang ketika ia berkata, "Lihat apa yang ditemukan Dylan untukku."

Dylan? Alex melirik pin yang terpadang di bagian dada si pegawai toko. Namanya Dylan. Ia mengalihkan pehatiannya kembali kepada Mia yang mengancungkan sebuah CD. "Apa itu?" tanya Alex.


"Albummu," sahut Mia Clark sambil tersenyum lebar. "Aku bertanya pada Dylan apakah mereka punya albummu dan ternyata mereka punya. Aku akan membeli satu karena aku belum pernah mendengar lagumu."


Alex mendengus pelan. Ia ingin berkata bahwa ia bisa memberikan CD-nya secara gratis kalau gadis itu mau, tetapi mengurungkan niatnya. Sebaliknya ia bertanya, "Memangnya kau mendengarkan lagu instrumental juga?"


"Tentu saja."


Saat itu Dylan menatap Alex dan mengerjap. "Oh, jadi kau Alex Hirano?"

Alex menatapnya tanpa ekspresi. "Ya."

"Wow, keren! Aku juga punya albummu. Boleh minta tanda tangan?" tanya Dylan kagum. Lalu matanya beralih ke tangan Alex yang dibebat dan tergantung di depan dada. "Tapi tanganmu kenapa?"


Alex melirik Mia yang diam saja. Ia kembali menatap Dylan dan menjawab, "Kecelakaan." Rasanya tidak perlu menjelaskan panjang-lebar kepada si pegawai toko. "Kau bilang kau menginginkan tanda tanganku?"

"Ah, benar. Maaf, boleh tunggu sebentar? Aku akan mengambil CD-ku."

Sepeninggal Dylan, Mia memandang Alex sekilas dan bertanya ragu, "Jadi... apa yang kaubeli?"

Alex menunjukkan CD-CD yang dipegangnya. Kebanyakan CD musik klasik. Mia menunjuk salah satu CD yang memiliki tulisan bahasa Jepang.


"Lagu Jepang?" tanyanya.


"Pianis Jepang," sahut Alex. "Kurasa kau tidak mengenalnya."


Mita menggeleng. "Kau bisa membaca tulisan Jepang?"


"Tentu saja."


"Benar juga," guman Mia. "Ray pernah bilang dia diharuskan mempelajari bahasa Jepang sejak kecil, walaupun kalian berbicara dalam bahasa Inggris."


Alex mengangguk. "Apa bahasa ibumu?"


Mia ragu sejenak, yang membuat Alex heran, lalu berkata pendek, "Bahasa Inggris."


"Maksudku..."


"Aku tahu maksud pertanyaanmu," sela Mia. Lalu ia mengangkat bahu dan berkata, "Aku diadopsi dan aku tidak tahu dari mana asalku sebenarnya. Begitulah."


Alex terdiam.


Mia menyinggungkan senyumnya yang biasa. "Jadi bahasa ibuku bahasa Inggris."


Tepat pada saat itu Dylan kembali ddengan CD Alex dan spidol. Alex pun menandatangani buklet yang ada di dalam kotak CD dan dengan enggan menyetujui permintaan Dylan untuk foto bersama Mia yang diminta menjadi fotografer dadakan.


"Dia meminta berfoto denganku padahal keadaanku seperti ini," gerutu Alex ketika ia dan Mia keluar dari toko musik.

Mia tertawa. "Tenang saja. Aku sudah memastikan tanganmu tidak terlihat," katanya.

"Terima kasih," kata Alex, masih dengan nada menggerutu.

Alex berhenti di samping mobil di bagian penumpang dan mengamati Mia mengelilingi mobilke arah pintu pengenudi. "Omong-omong, Clark," katanya.

Mia membuka pintu dan mendongak. "Ya."


Alex ragu apakah ia perlu mengatakannya atau tidak, apakah ia akan terlihat aneh kalau mengatakannya, tetapi akhirnya ia berkata, "Kurasa kau mirip orang Jepang."


Awalnya Mia terlihat tidak mengerti, lalu perlahan-lahan senyumnya mengembang. "Sebenarnya aku tidak merasa seperti itu," katanya sambil memiringkan kepala sedikit, "tapi terima kasih."


Bab 9

Walaupun sikap Alex Hirano pada Mia membaik, tidak berarti ia mendadak berubah menjadi pangeran berkuda putih. Ketika mereka mampir di toko swalayan untuk membeli persediaan makanan, laki-laki itu tetap bersikap seolah-olah Mia adalah pesuruhnya.

"Clark, ambil trolinya."

"Clark, tidak bisa cepat sedikit?"

'Ambil itu."

"Bukan yang itu. Tapi yang itu."

"Apakah aku masih punya kopi di rumah?"

Dan akhirnya, "Clark bayar."

Bahkan Mia yang mengangkut semua barang belanjaan ke mobil. Alex Hirano tenang-tenang saja. Ia hanya beralasan, "Kau tentu tidak berharap aku bisa membantu dengan tangan seperti ini, bukan?"

Mia memasukkan barang-barang itu ke dalam mobil sambilenggerutu dalam hati. Lihat saja nanti. Mia akan membalas. Untuk makan malam nanti Mia akan menambahkan lada banyak-banyak di dalam sup. Atau Mia akan membuatkan makanan yang tidak bisa dimakan dengan satu tangan. Misalnya steak. Biar laki-laki itu tahu rasa. Atau...

Seolah-olah bisa membaca apa yang sedang dipikirkan Mia, Alex tiba-tiba berkata, "Aku ingin makan di luar malam ini."

Mia, yang sedang memasang sabuk pengamannya, menghentikan gerakan dan menatap Alex. "Apa?"

"Aku ingin makan di luar. Ada restoran yang sudah lama tidak kukunjungi," ulang Alex. "Di Upper West Side. Nanti kutunjukkan jalannya."

Jadi rencana sup lada itu pun batal. Mia mendesah pelan dan membelokkan mobilnya ke jalan raya.

Mengikuti arah yang ditunjukkan Alex, mereka akhirnya tiba di depan sebuah restoran Italia yang ramai dan belum pernah Mia kunjungi. Mia mencondongkan tubuhnya ke depan dan membaca papan nama restoran itu. Moratti's. "Di sini tempatnya?" tanyanya agak heran. Ia selalu menduga Alex Hirano bukan tipe orang yang suka makan di restoran yang penuh sesak.

"Ya, di sini tempatnya," sahut Alex sambil membuka pintu mobil dan turun.

"Tapi coba lihat itu," giman Mia sambil menatap orang-orang yang berdiri di sekitar pintu depan restoran, menunggu meja kosong. "Restorannya sudah penuh."

"Aku selalu mendapat meja di sini."

"Tapi..."

"Begini kau boleh menunggu di sini kalau mau," kata Alex tidak peduli. "Terserah kau saja."

Mia mengembuskan napas dengan kesal, lalu turun dari mobil dan bergegas menyusul Alex yang sudah berjalan dengan langkah lebar ke arah pintu restoran.Alex menyelinap melewati kerumunan orang yang menunggu, mengabaikan tatapan heran dan kesal yang dilemparkan ke arahnya. Mia menundukkan kepala karena malu, berusaha mengabaikan orang-orang di sekitar mereka, dan melangkah cepat mengikuti Alex. Sebenarnya apa yang diharapkan laki-laki itu dengan memaksa masuk ke dalam restoran? Memangnya ia berharap bisa mendapatkan meja kosong kalau ia memaksa masuk? Memangnya ia mengenal pemiliknya? Apakah pemiliknya bisa menyediakan meja untuknya pada jam sibuk seperti ini? Memangnya...

Tiba-tiba Alex berhenti melangkah dan kepala Mia yang masih tertunduk—membentur pnggungnya. "Aduh! kenapa tiba-tiba berhenti?"

"Alex!"

Mendengar seruan ramah itu, Mia mengangkat wajah dan mengintip dari balik punghung Alex. Seorang pria bertubuh tinggi besar dan berusia sekitar enam puluh tahun menatap Alex dengan wajah berseri-seri. Walaupun kumisnya yang lebat hampir menutupi bibirnya, Mia tahu pria itu sedang tersenyum lebar, karena mata hijaunya berkilat-kilat senang. 

"Paolo," Alex balas menyapa sambil tersenyum.Pria yang dipanggil Paolo itu dengan segera menghampiri Alex dengan kedua tangan terentang lebar, seolah-olah ingin memeluk Alex. Namun tiba-tiba ia berhenti ketika matanya terpaku pada tangan kiri Alex yang dibebat. "Astaga, Nak, apa yang terjadi padamu?" tanyanya dengan logat Italia yang kental.

"Hanya kecelakaan kecil," ahut Alex ringan. "Nanti saja kuceritakan."

Mia melirik Alex sekilas. Entah kenapa Mia bisa merasakan bahwa Alex tidak ingin pria bernama Paolo itu khawatir. Gagasan bahwa Alex lebih mementingkan perasaan orang lain daripada perasaannya sendiri agak asing bagi Mia.

Paolo mengangguk dan menepuk bahu Alex dengan sayang. "Baiklah, kita bicara nanti. Naiklah ke apartemen. Eleanor ada di sana. Aku akan menyusulmu setelah membereskan kekacauan di sini," katanya. Lalu saat itu ia baru meluhat Mia dan ia tersenyum ramah. "Oh, halo. Kau teman Alex? Silahkan naik saja. Silahkan. Aku akan menyusul kalian nanti."

Masih bingung. Mia membalas senyum Paolo sebelum bergegas mengikuti Alex yang sudah berjalan ke belakang restoran.

"Siapa pria tadi?" tanya Mia ketika Alex membuka pintu belakang yang mengarah ke tangga kayu kokoh yang menuju lantai atas. "Dan kita mau ke mana?"

"Paolo Moratti," jawab Alex dan mulai menaiki tangga. "Dia dan istrinya, Eleanor, adalah pemilik restoran terkenal ini."

Karena Alex tidak menjawab pertanyaan keduanya, Mia bertanya lagi, "Kita mau ke mana sekarang?"

"Menemui Eleanor," sahut Alex pendek.

"Kukira kau mau makan malam," guman Mia, masih agak heran.

"Memang."

Karena sepertinya Alex tidak ingin menjelaskan lebih jauh, Mia juga tidak bertanya lagi.

Hanya ada sebuah pintu kayu di puncak tangga. Alex menekan bel dan menunggu sebentar. Beberapa detik kemudian terdengar langkah kaki seseorang mendekati pintu, lalu pintu dibuka oleh seorang wanita bertubuh langsing, berambut gelap keriting, berusia setengah baya. Mia mengamati senyum wanita itu mengembang, seperti Paolo tadi, ketika ia mengenali siapa yang berdiri di depan pintu.

"Alex," sapanya dengan suara jernih. "Alex!"

"Halo, Eleanor," balss Alex ramah dan merangkul wanita itu dengan tangannya yang tidak dibebat. "Apa kabar?"

"Ada apa dengan tanganmu?" tanya Eleanor sambil menatap tangan kiri Alex. Kecemasan jelas-jelas terdengar dalam suaranya.

"Tidak apa-apa," kata Alex menenangkan. "Hanya cedera ringan."

"Tapi... oh, masuklah. Kenapa berdiri saja di sana? Masuklah," kata Eleanor cepat sambil menyingkir memberi jalan, lalu matanya yang berwarna colelat cerah beralih ke arah Mia.

Merasa Alex tidak akan memperkenalkan dirinya kepada Eleanor, Mia pun mengambil inisiatif srndiri dan nengulurkan tangan kepada wanita yang lebih tua itu. "Halo, Ma'am. Namaku Mia Clark. Senang berkenlan dengan anda."

"Eleanor Moratti," kata Eleanor sambil menjabat tangan Mia. "Panggil saja aku Eleanor. Teman Alex adalah teman kami juga. Masuklah."

Mia memutuskan untuk tidak menjelaskan kepada wanita baik itu bahwa ia bukan teman Alex Hirano. Ia melangkah memasuki apartemen yang didominasi warna kayu dan pastel itu dan mencium aroma yang sangat enak

."Pollo all'arrabbita?" tanya Mia.

Alex menatapnya dengan alis terangkat heran, sementara Eleanor tersenyum lebar. "Benar sekali. Kau punya hidungcyang sangat tajam, young lady," katanya dengan nada terkesan. "Ayo, kita ke dapur. Supaya kita bisa mengobrol semantara aku memasak. Kuharap kalian belum makan malam."

"Tentu saja belum," sahut Alex riang. "Itulah sebabnya kami datang ke sini."

Alex boleh-boleh saja berbicara seperti itu karena sepertinya ia memang sudah dekat dengan pasangan Moratti, tetapi Mia merasa seperti tamu tak diundang yang mendadak muncul di depan pintu dan menganggu acara keluarga. Karena itu ia cepat-cepat berkata, "Sebenarnya aku tidak tahu Alex berencana makan malam bersama Anda di sini. Maksudku, aku tidak ingin mengganggu...""

Kau sama sekali tidak mengganggu, Sayang," sela Eleanor ramah. "Aku suka menerima tamu di rumahku. Dan aku suka memberi makan tamu-tamuku. Lagi pula, aku senang mendapat tenan bicara sesama perempuan kalau Paolo dan Alex mulai membicarakan hal-hal yang menyenangkan bagi mereka namun membosankan bagiku."

Mia tersenyum ragu. "Tapi..."

Eleanor berkacak pinggang. "Young lady, apakah kau tidak mau mencoba pollo all'arrabbiata-ku?" tanyanya. Lalu ia menoleh ke arah Alex. "Alex, jangan diam saja di situ. Ayo, ajak temanmu makan bersama kita."

Alex mengangkat bahu dan menoleh ke arah Mia. "Kau akan menyesal kalau tidak mencicipi masakan Eleanor," katanya. Lalu ia tersenyum dan menambahkan, "Tapi tentu saja aku tidak akan memaksamu tinggal kalau kau memang tidak mau."

Mia menatap Alex dengan mata disipitkan, lalu ia menoleh kembali kepada Eleanor yang menatapnya dengan penuh harap. "Terima kasih atas undangannya," kata Mia tulus. "Dan tentu saja aku sangat ingin mencoba pollo all'arrabbiata Anda."

*****

Dalam waktu singkat, gadis itu sudah akrab dengan pasangan Moratti.

Mengherankan sekali, pikir Alex sambil mengamati Mia yang sedang menyusun meja makan. Srperinya gadis itu bisa cepat akrab dengan siapa pun ysng ditemuinya. Ia menawarkan diri membantu Eleanor di dapur, yang diterima Eleanor dengan senang hati, dan mereka berdua mengobrol dan tertawa seperi dua remaja yang sudah bersahabat sejak kecil.

"Jadi, Mia, apakah kau juga pianis?" tanya Paolo ketika mereka berempat sudah duduk berkumpul di meja makan. Paolo naik ke apartemen setelah Eleanor menelponnya untuk mengatakan bahwa makan malam sudah siap.

"Bukan," sahut Mia. "Aku tidak bisa bermain piano."

"Tapi dia penari," sela Eleanor. "Di Juilliard juga."

"Oh, begitu," guman Paolo sambil menggagguk-angguk. "Ternyata kalian teman satu sekolah."

Alex melirik Mia yang duduk di sebelahnya. Ia ingin tahu bagaimana Mia mengomentari pernyataan Paolo tadi. Tetapi Mia diam saja.

Ketika Alex menduga Mia benar-benar tidak akan berkomentar, gadis itu berkata, "Sebenarnya kami bukan teman satu sekolah. Maksudku, kami tidak berkenalan di sekolah."

"Oh, ya?" tanya Eleanor dengan nada yang mengisyaratkan agar Mia meneruskan ceritanya.

Mia melirik Alex sekilas, lalu kembali menatap Eleanor an Paolo. "Sebenarnya, suatu hari Alex datang ke studio tari tempatku mengajar. Hari itu benar-benar..." Mia tertawa kecil. "Banyak sekali hal yang terjadi hari itu. Singkatnya, aku terjatuh dari tangga, menubruk Alex, dan membuat tangannya jadi seperti sekarang ini."

"Oh." Paolo menoleh menatap Alex. "Jadi apa kata dokter tentang tanganmu?"

Alex tersenyum. "Akan sembuh total dalam dua bulan. Tidak masalah," katanya walaupun ia sebenarnya sama sekali tidak yakin pada ucapannya sendiri. Ia hanya tidak ingin Paolo dan Eleanor khawatir.

"Tapi itu pertemuan yang luar biasa, bukan?" kata Eleanor sambil menatap Mia dan Alex bergantian. "Itu yang dinamakan takdir."

Alex tidak mengerti apa maksud ucapan Eleanor. Dan sepeetinya Eleanor tidak bermaksud menjelaskan lebih jauh karena pertanyaannya yang berikut sama sekali tidak berhubungan dengan ucapannya sebelumnya. "Berarti, Mia, kau tidak mengenal Valentino?"

"Tidak," sela Alex cepat. "Dia tidak mengenal Valentino."

Mia melirik Alex sekilas, lalu kembali menatap Eleanor. "Siapa Valentino?"

"Valentino adalah putra bungsu kami," jawab Eleanor sambil tersenyum. "Dia dan Alex sama-sama belajar piano di Juilliard dan mereka bersahabat baik."

"Oh, begitu. Lalu di mana Valentino sekarang?" tanya Mia. Dan Alex memejamkan mata.

"Valentino sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu," sahut Eleanor. Alex bisa mendengar nada sedih yang masih menghiasi suara wanita itu setiap kali ia membicarakan putranya yang sudah tiada.

"Kecelakaan lalu lintas," tambah Paolo pendek.

"Aku turut prihatin," kata Mia. Alex mendengar ketulusan dan seberkas kekhawatiran dalam suaranya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuat kalian sedih."

Eleanor menggeleng tegas dan tersenyum lebar. "Tidak apa-apa. Kami baik-baik saja." Lalu ia menoleh ke arah suaminya. "Bukankah begitu, Sayang?"

Paolo menatap istrinya dan tersenyum kecil. "Tentu saja," katanya. Lalu ia menatap Mia. "Semuanya berkat Alex. Dia banyak membantu. Dia sering datang mengunjungi kami dan kami sudah menganggapnya anak kami sendiri."

Alex memaksakan seulas senyum. "Justru kalian yang banyak membantuku."

"Baiklah," kata Eleanor tiba-tiba. "Sebaiknya kita tidak membicarakan hal-hal sedih saat makan malam. Mari kita bicarakan hal lain."

Alex dengan senang hati membicarakan hal lain. Dan ia yakin Mia juga merasa begitu.

"Oh, ya, Mia," kata Eleanor," seorang keponakanku sangat suka menari dan dia sangat ingin masuk Juilliard. Tapi kurasa pasti sulit sekali diterima di sekolah itu kalau kau tidak punya latar belakang menari."

"Ya," sahut Mia, merasa agak lega karena mereka mengubah topik pembicaraan. "Kau sudah harus punya pengalaman menari beberapa tahun dan sudah harus menguasai teknik-teknik dasarnya agar bisa ikut audisi."

"Kurasa keponakanku itu akan kecewa sekali mendengarnya," guman Eleanor sambil menggeleng-geleng. Ia menoleh ke arah suaminya dan berkata, "Kau ingat Cecilia, Sayang? Anak itu sangat suka menari walaupun menurutku bentuk tubuhnya terlalu montok untuk menjadi penari." Lalu ia kembali menatap Mia. "Kau pasti sudah sangat sering ikut dalam pertunjukan tari."

"Hanya beberapa pertunjukan," kata Mia merendah.

Alex teringat tarian Mia di Juilliard tadi. Penari seperti Mia tidak mungkin hanya ikut dalam satu atau dua pertunjukan. Ia pasti disertakan dalam semua pertunjukan yang ada.

"Kau tidak bergabung dengan kelompok tari tertentu?" tanya Eleanor lagi.

Mia terdiam sejenak, lalu, "Tidak."

"Kenapa tidak?"Mia tidak langsung menjawab. Alex bisa merasakan ketegangan dan keengganan gadis yang duduk di sampingnya.Paolo menyentuh lengan istrinya.

"Sayangku, kurasa kau terlalu menginterogasi tamu kita," katanya ringan. "Ini kunjungan pertamanya ke rumah kita. Jangan membuatnya terkejut. Nanti dia tidak mau datang lagi."

"Oh, kau benar," kata Eleanor." Aku minta maaf aku terlalu banyak tanya dan terlihat ikut campur."

"Tidak, tidak. Tidak apa-apa," sela Mia sambil tertawa kecil. "Kenapa aku tidak bergabung dengan kelompok tari tertentu? Yah, sebenarnya sederhana saja. Karena aku lebih suka mengajar."

Alex menatap Mia yang sudah kembali menyantap ayamnya. Entah kenapa Alex merasa jawaban gadis itu tadi adalah jawaban standar yang selalu diberikannya kepada orang-orang yang bertanya kepadanya tentang kenapa ia lebih memilih menjadi guru daripada bergabung dengan kelompok tari terkenal tempat masa depannya akan terjamin.

Entah kenapa Alex merasa jawaban Mia tadi bukan jawaban jujur.

*****

"Dia anak baik."

Mia menatap Eleanor tidak mengerti. "Siapa?"

Saat itu mereka sudah selesai makan malam dan Mia membantu Eleanor membersikan meja makan sementara Alex dan Paolo pindah ke ruang duduk sambil membahas pertandingan olaraga.

"Alex," sahut Eleanor. "Dia anak baik. Kurasa selain aku dan Paolo, Alex adalah orang yang paling terpukul ketika Valentino meninggal."

"Kau bilang mereka bersahabat baik," kata Mia.

Eleanor tersenyum. "Benar. Walaupun aku dan Paolo tidak sempat tiba di rumah sakit sebelum Valentino mengembuskan napas terakhirnya, kami senang Alex ada di sana menemaninya."

"Alex ada di sana ketika Valentino...?"

"Ya. Alex menyaksikan kecelakaan yang dialami Valentino," kata Eleanor sambil menatap Mia. "Bisa kulihat kau terkejut mendengarnya. Tapi itu benar. Hari itu Alex, Valentino, dan beberapa orang teman mereka makan malam bersama. Ketika acara makan-makan itu selesai, Valentino menawarkan diri mengantar Alex pulang. Alex menolak. Katanya dia masih ingin mengobrol lebih lama dengan teman-teman yang lain dan menyuruh Valentino pulang duluan. Alex mengamati Valentino mengendarai mobilnya pergi. Tetapi saat itu tiba-tiba sebuah SUV melaju kencang dari arah berlawanan, oleng, dan langsung menabrak sedan yang dikemudikan Valentino. Semua terjadi begitu cepat dan di depan mata Alex."

"Ya Tuhan," guman Mia tanpa sadar.

"Ya," kata Eleanor muram. "Alex-lah yang menghubungi 911. Valentino memang masih bernapas ketika tiba di rumah sakit, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Ia sudah meninggal ketika aku dan Paolo tiba di sana."

Mia tidak berkata apa-apa. Ia hanya menggengam tangan Eleanor, berharap bisa memberikan sedikit hiburan, dukungan.

Mata Eleanor berkaca-kaca ketika ia melanjutkan, "Kami bertiga menangis bersama hari itu. Alex menangis, Paolo juga menangis. Dan aku menangis meraung-raung." Ia terdiam sejenak, lalu meremas tangan Mia yang menggengam tangannya ddan tersenyum. "Tapi sekarang kami baik-baik saja. Hidup terus berlanjut dan Valentino tidak akan suka kalau kami berkabung selamanya."

"Kau benar," kata Mia serak sambil tersenyum.

"Dan kami senang Valentino pernah memiliki Alex sebagai sahabat." Eleanor menghapus sebutir air mata yang jatuh bergulir di pipinya yang berkeriput halus. "Dia anak baik. Juga pianis yang hebat. Kau sudah pernah mendengar permainannya?"

"Belum," sahut Mia. "Tapi aku sudah membeli CD-nya."

"Kau harus mendengar permainannya secara langsung," kata Eleanor. Lalu seakan teringat kondisi tangan Alex saat itu, ia menambahkan , "Suatu hari nanti."

"Suatu hari nanti," kata Mia menegaskan.

"Baiklah, sekarang kita membuatkan kopi untuk pria-pria itu sebelum mereka bertanya apa yang kita gosipkan di dapur selama ini," kata Eleanor. Ia mengeluarkan cangkir-cangkir kopi dari dalam lemari dan meletakkannya di atas nampan. "Kau tahu, dia tidak pernah mengajak temannya ke sini sebelumnya," kata Eleanor dengan nada ringan. "Ini lertama kalinya."

Mia tertawa. Ia bisa menebak bahwa Eleanor memiliki jiwa yang romantis dan ia tahu apa yang sebenarnya dipikirkan wanita itu. Tetapi Eleanor salah besar apabila mengira ada sesuatu di antara Mia dan Alex. "Percayalah padaku, Eleanor," kata Mia masih tertawa kecil. "Tidak ada yang terjadi antara aku dan Alex. Aku jamin. Tidak ada."

Eleanor mengangkat bahu dan mengedipkan mata. "Kau tidak akan pernah tahu."

Mia hanya bisa tersenyum dan menggeleng-geleng.

*****

Alex dan Paolo masih sibuk membahas pertandingan olahraga kemarin ketika Mia masuk ke ruang duduk sambil membawa kopi untuk mereka.

"Oh, kau memang malaikat," kata Paolo sambil menerima cangkir kopi yang disodorkan Mia.

"Ya, aku tahu," balas Mia dan tertawa kecil.

Kata terakhir Paolo mengingatkan Alex pada julukan yang diberikannya kepada Mia. Malaikat kegelapan. Dulu Mia Clark memang malaikat kegelapannya. Alex selalu takut gadis itu akan membuatnya lebih celaka. Tetapi sekarang...

Alex mengamati Mia yang sedang menuangkan kopi ke cangkir Paolo. Sekarang gadis itu memang tidak terlihat seperti malaikat kegelapan. Yah, mungkin kalau kau sudah terlalu sering melihat malaikat kegelapan, kau pun akan terbiasa dengan kehadirannya.

Alex masih mengamati Mia ketika gadis itu tiba-tiba menoleh dan menatap lurus ke arahnya. Alex tersentak dan cepat-cepat melihat ke arah lain.

"Kopi?" Ia mendengar Mia bertanya.

Alex berdeham pelan. "Terima kasih."

Paolo baru saja membuka mulut untuk melanjutkan pembicaraannya dengan Alex ketika istrinya memanggilnya dari dapur.

"Paolo, pintu lemari ini lagi-lagi tidak bisa dibuka. Aku ingin mengeluarkan stoples besarku."

Paolo bangkit dari kursi dan tersenyum kepada Mia dan Alex. "Aku akan segera kembali," katanya meninggalkan Mia dan Alex di ruang duduk.

Alex menyesap kopinya dan tertegun. "Kopi ini," katanya sambil menatap Mia, "kau yang membuatnya?"

Mia menempati sofa yang berhadapan dengan Alex. "Ya. Kenapa? Rasanya aneh?"

Alex menggeleng. "Tidak," gumannya, lalu menyesap kopinya lagi. Alex tahu Mia yang membuat kopi ini karena rasanya sama seperti kopi yang dibuat gadis itu untuknya setiap pagi. Rasa kopi yang tidak asing itu membuatnya merasa nyaman. Bagaimanapun, sesuatu yang sudah tidak asing lagi pasti membuatnya merasa nyaman. Bukankah begitu?

"Kau tahu?" kata Mia tiba-tiba.

"Tahu apa?" balas Alex sambil menatap Mia.

Mia memiringkan kepala sedikit. "Sebenarnya, awalnya aku tidak mengerti kenapa Eleanor menganggapmu anak baik."

Alex mendengus dan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Terima kasih banyak."

Mia terkekeh. "Tapi kurasa itu karena aku tidak melihat apa yang sudah dilihatnya," katanya ringan.

"Memangnya apa yang sudah dilihatnya?" tanya Alex.

"Dirimu yang sebenarnya, kurasa," sahut Mia sambil mengangkat bahu. Lalu ia menatap Alex lurus-lurus dan melanjutkan, "Setelah melihat bagaaimana sikapmu kepada Paolo dan Eleanor hari ini, setelah mendengar cerita Eleanor..."

Alex mengangkat alis. "Apa yang dikatakan Eleanor padamu?"

Mia mengabaikan pertanyaan Alex dan melanjutkan kata-katanya, "Kurasa di balik semua sikap kasar, dingin, suka memerintah..."

Alex mengangkat tangan kanannya yang tidak dibebat. "Wow, wow, tunggu sebentar."

"... yang kulihat selama ini, masih ada sesuatu yang baik dalam dirimu."

Alis Alex terangkat.

"Walaupun hanya sedikit, " kata Mia sambil mengancungkan tangan untuk menunjukkan seberapa sedikitnya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Lalu ia tersenyum lebar.

Siapa pun pasti akan terbiasa dengan keberadaan malaikat kegelapan kalau malaikat kegelapannya tersenyum seperti itu, pikir Alex tanda sadar.

"Oh." Tiba-tiba Mia tersentak kaget, lalu cepat-cepat mengeluarkan ponsel yang bergetar tanpa suara dari aku celana jinsnya. Ia melirik layar ponsel sebelum menempelkannya le telinga. "Hai, Ray," katanya.

Alex menyipitkan mata.

Mia melirik Alex sekilas, senyum lebar yang sama masih tersungging di bibirnya, lalu ia kembali berbicara di ponsel, "Ya, aku masig bersama kakakmu. Kami baru selesai makan malam... Ya, semuanya baik-baik saja di sini... Bagaimana festivalmu?"

Sementara Mia tetus berbicara dengan Ray sambil tersenyum dan kadang-kadang tersrnyum kecil, Alex tiba-tiba teringat pada apa yang pernah dikatakan Ray kepadanya dulu, ketika Alex bertanyakepada Ray apakah Mia juga menyukainya. Nah, apa yang dikatakan Ray waktu itu?

Kadang-kadang kupikir dia menyukaiku. Kau tahu, ada saatnya ketika dia menatapku, tersenyum kepadaku, atau ketika dia berbicara kepadaku, kupikir dia menyukaiku. Tapi kemudian aku sadar bahwa dia juga menatap, tersenyum, dan berbicara lepada orang lain seperti itu.

Itulah yang dikatakan Ray. Dan Ray memang benar.

Cara Mia menatap Alex tadi, caranya tersenyum dan berbicara kepada Alex tadi, sama seperti caranya menatap, tersenyum, dan berbicara kepada Ray. Juga sama seperti caranya menatap, tersenyum, dan berbicara kepada Karl, teman-teman yang sering menelponnya, teman-temannya di Juilliard tadi, dan bahkan kepada Dylan, si pegawai toko musik.

Alex merasa agak aneh.

Mungkin karena ia tidak ingin adiknya merasa kecewa karena hal inu sedikit-banyak membuktikan bahwa Mia Clark tidak memiliki perasaan khusus kepada Ray.

Ya, pasti itu alasannya.

----tbc----

1 komentar:

 

Berbagi Pengalaman Template by Ipietoon Cute Blog Design